Catatan No. IX : “Delegasi”

1092 Kata
Kota ini bernama Palembang, terletak cukup jauh dari St. Mary. Perjalanan ke sana bahkan membutuhkan waktu sekitar dua jam. Celine sempat mengomentari akan tidak praktisnya area bernama Bandara. Utamanya tentang pesawat terbang dengan sayap membentang luas. Menurutnya, beberapa bidang di dunia ini masih terasa inferior dibanding dengan kemajuan teknologi dari Exiastgardsun. Pesawat Excaliber bahkan sanggup mengambang di udara tanpa bantuan baling-baling. Tidak seperti benda bernama helikopter itu. Sudah bising, gerak rotornya juga menyemburkan udara yang amat mengganggu. Nida, Yuki, dan Celine berganti pakaian, menyesuaikan dengan budaya dunia bernama Bumi ini. Kembali Celine mencibir akan bahan katun yang menurutnya tak sebagus produk buatan Exiastgardsun. “Aku mengerti pakaian berwarna hitam-hitam yang kau sebut jas ini bertujuan agar kita tak terlihat mencolok,” gerutu Celine. “Tapi bukankah kita ditugaskan untuk menyamar sebagai warga sipil?” Ia merasa kurang nyaman mengenakan celana panjang. Selama ini Celine tak pernah lepas dari tema Gotik Lolita sebagai penyihir putih kerajaan. “Kau lebih ahli menggunakan sihir berjenis perisai,” ucap Nida. “Warga sipil, atau orang yang disebut wartawan tak bisa terus menerus berada dalam jarak dekat dengan Maria. Apabila terjadi sesuatu, kau adalah lapisan pertahanan pertama yang krusial dalam melindungi Maria. Sisanya, urusanku dan Yuki. —dan Hey,” Telunjuk Nida mengarah kepada Tyan. “Apa kau tidak terlalu berlebihan dalam mengatur pengamanan ini?” “Tim penembak runduk sudah ditempatkan di beberapa posisi, perimeter paling luar seharusnya aman tak tertembus. Komunikasi nirkabel juga selesai di’jamming di seluruh frekuensi yang ada.” Tyan menjelaskan secara rinci. Pandangannya senantiasa waspada, menyapu sekeliling, “Ini adalah protokol keamanan standar, tolong jangan disamakan dengan kelaziman pengamanan ‘tingkat tinggi’ di duniamu, yang mulia.” Agak tersinggung Nida mendengarnya. Tak pernah bosan sepertinya Tyan melempar sarkasme tiap kali bertukar kata dengan Nida. “Aku bukan siapa-siapa di sini,” tukas Nida, berusaha mengelak. Nida dibuat sedikit terkejut tatkala memergoki tepian bibir Tyan sedikit tertarik, mengukir senyum kecil. “Ya, kau bukan siapa-siapa, jadi dengarkan saranku ini dan resapi dalam-dalam.” Nida tak mengerti. Sejenak pandangan Tyan menoleh ke samping, menatap lekat Nida di sampingnya, “Tolong jangan berharap apa pun terhadap Maria. Kau akan menyesal.” Sorot mata itu kemudian kembali menjadi pada mode ajudan, senantiasa awas, menyisir seluruh sudut ruangan demi mencari potensi ancaman. Entah apa masalahnya, tapi alih-alih menerimanya sebagai ancaman, Nida merasa intonasi Tyan itu lebih kepada keakraban yang sulit untuk dijelaskan oleh kata-kata. Seakan ucapan Tyan itu sungguh datang dari seorang sahabat yang sudah lama saling mengenal dekat. Lamunan Nida terhenti. Situasi menjadi sibuk tatkala Maria muncul ke hadapan publik. Di sampingnya, terdapat seorang pria paruh baya bermata sipit. Infonya, sosok itu adalah presiden dari Negeri bernama Tiongkok. Buru-buru Nida mengangkat kameranya, berpura-pura mengambil foto seperti orang lain yang berdekatan dengannya. Dua presiden itu duduk di sebuah kursi dengan posisi menyerong menghadap publik. Celine bersiaga sekitar lima meter di sisi terluar, terhindar dari sorot kamera dan fotografi. Yuki bergabung dengan tim penembak runduk di luar perimeter. Ruangan ini juga dijaga ketat. Ada dua penyihir kawakan di sini—meski salah satunya adalah potensi target—jadi apa yang bisa berjalan tak sesuai rencana? Seakan menantang takdir, pikiran Nida seketika dijawab oleh hukum Murphy. ‘Anything that can go wrong, will go wrong’. Denting bunyi logam terdengar nyaring di tengah-tengah suara jepretan kamera. Sedetik kemudian, terjadi ledakan cahaya disertai suara memekakkan telinga. Nida hilang keseimbangan. Berulang kali ia mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan informasi dari situasi sekitar. Akan tetapi seluruh indera di tubuhnya seakan lumpuh detik itu juga. Letupan cahaya membutakan mata hingga gagal merespons selama beberapa saat. Berapa kali ia mengerjapkan mata, pandangannya hanya menyampaikan imaji terakhir yang ia lihat sebelum benda aneh itu meletup. Seperti sebuah video yang memiliki satu frame terjebak macet hingga tampil terus menerus dalam bentuk statis. Telinga Nida juga masih mendengung kencang, tak sanggup menangkap riuhnya suasana. Bom? Tidak. Ini bukan senjata mematikan. Tubuh Nida masih sehat. Tak ada rasa sakit, maupun ngilu yang ia rasakan. Senjata tadi hanya bersifat melumpuhkan. Celaka! Detik itu ia langsung teringat Maria. Di samping dia, muncul tiga orang misterius mengenakan jubah hitam hingga tudungnya menutupi wajah. Jubah hitam itu terasa cukup familier. Persis seperti keberadaan sekte Vulcany di Exiastgardsun dulu. Degup jantung Nida meningkat drastis, memompa lebih banyak darah untuk menyuplai oksigen menuju kepala. Indera di tubuhnya kembali normal seperti sediakala, malah jauh lebih sensitif dari sebelumnya. Otak pria itu seakan dipaksa menuju mode overclock. Seluruh informasi itu—pendengaran, penglihatan, pengecapan—dicerna cepat hingga segala sesuatu kini terlihat bergerak semakin lambat. Ini yang dinamakan adrenalin rush. Insting untuk lari atau bertarung. Sebagai seorang raja yang terbiasa ada dalam situasi hidup dan mati, tentu respons alamiah yang ia rasakan adalah Hasrat untuk membunuh. Batin Nida masih denial terhadap situasi Maria. Baginya, saat ini yang ia lihat adalah Fia, kekasih hatinya. Gadis itu sedang berada dalam bahaya. Tyan di sampingnya terlihat belum sepenuhnya menguasai diri. Pria itu merogoh isi tasnya demi mengeluarkan sepucuk pistol. Di lain pihak, Celine melakukan Teknik pemanggilan instan untuk melempar tombak terbuat dari es. Proyektil tajam itu melesat cepat menembus tubuh salah satu penyerang. Sepatu Nida menjejak keras pada lantai. Otot di paha berkontraksi keras untuk mendorong lebih kuat, berakselerasi kencang menuju posisi Maria. Lengan raja Exiastgardsun itu terayun secara horizontal, seakan hendak menghantamkan sesuatu. Lalu dalam sepersekian detik jeda di udara, sebuah pedang sepanjang 80cm tercipta dari kehampaan, termaterialisasi ke dalam bentuk solid. Ujung tajamnya menghantam keras pada satu penyerang lain. Selayaknya gunting mengoyak kertas, bilahnya sukses membelah tubuh sang lawan menjadi dua bagian. Sialnya, sisa satu penyerang berada terlalu dekat dengan Maria. Celine gagal mencelakai yang satu itu, karena sudut menembaknya terhalang oleh Maria itu sendiri. Tapi apakah Maria selemah itu? Tentu tidak. Karena yang Ninda lihat, ia sanggup menangkis pisau yang melesat tepat menuju lehernya. Luwesnya pergerakan gadis itu mengingatkan Nida pada gaya bela diri tangan kosong yang sering digunakan oleh Orchid. Lalu kenapa sekarang sorot mata Maria malah terbelalak kaget? Pandangan itu ditunjukkan menuju lantai di samping Nida, tepat kepada salah satu penyerang misterius yang terkapar dengan kondisi pinggang ke bawah terpotong rapi oleh pedang Ninda. “Bom!” pekik gadis itu. Eh? Rompi berisi benda-benda seperti tabung berwarna merah cerah dililit kabel ini bom? Nida terlambat menyadari. Maria menjejak udara kosong, melentingkan dirinya dalam sekejap demi berada di hadapan presiden negeri Tiongkok. Sementara itu Celine bergerak cepat tanpa Nida sadari. Lengan gadis itu terangkat demi mencipta perisai tak kasat mata. Ia lebih memilih menyelamatkan rajanya, ketimbang mengemban misi yang diberikan untuk melindungi Maria. Tyan berusaha mencegah di saat-saat terakhir. Jemarinya menekan pelatuk pistol, mengirim proyektil timah panas menuju kepala si pengebom dengan detonator di tangan. Namun terlambat. Meski otak di kepalanya berhamburan keluar dan tubuhnya berubah kaku, detonator itu tetap tertekan ketika jatuh menubruk lantai. ..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN