Bab 9 | Ciuman Kedua?

1442 Kata
“Mama, ada apa malam-malam, hujan, datang kemari?” Mahesa tersenyum membuka pintunya, memeluk Nadia dan mencium pipinya lalu mengajaknya masuk. “Ingin memastikan apa kamu masih hidup atau mati.” Ucap Nadia sarkatis, karena Mahesa sangat jarang pulang walau masih di Jakarta. Mendengar itu Mahesa hanya tertawa dan merangkul Nadia untuk duduk. Namun Nadia menghentikan langkahnya saat hidungnya mencium wangi yang begitu nikmat. “Kau memasak? Harum sekali wanginya.” Nadia menuju dapur, membuat Mahesa menarik napas panjang. Nadia sudah duduk di kursi pantry, tempat di mana Mahesa duduk sebelumnya, ada mie buatan Kana yang belum disentuhnya, dan Nadia tau-tau sudah menyeruput kuah mie itu dengan bunyi yang begitu puas. “Enak sekali. Kau membuat resep baru? Ini sangat sehat. Pasti Oma juga menyukainya.” Nadia kembali melanjutkan menikmati mie buatan Kana itu, Mahesa duduk di depannya, tempat di mana Kana duduk sebelumnya dengan mie yang tersisa setengahnya. “Kenapa membuat dua mangku? Ada seseorang yang akan datang?” Tanya Nadia menatap dengan curiga, Mahesa mengangguk tenang. “Aku ingin memakan dua porsi. Tapi tidak apa-apa untuk Mama saja.” Ucap Mahesa membuat Nadia mengangguk-angukk dan tetap menghabiskan mienya. “Kenapa tidak di makan? Kau pasti masih kelaparan kan? Itu baru setengahnya, dan yang satu lagi Mama makan. Ini sangat nikmat, Sa, dan bahan-bahan yang digunakan terasa alami, tanpa ada rasa MSG dan pengawet lainnya.” Nadia kembali berbicara, makannya begitu lahap, keluarganya memang sangat consent dengan makanan sehat dan sangat jarang mengonsumsi junkfood atau makanan dari luar, baik Mama dan Omanya, mereka lebih suka memasak sehat. “Sudah kenyang melihat Mama makan.” Ucap Mahesa, tidak mungkin dia memakan bekas Kana. Walau memang mienya terlihat menggoda. “Sa, makan!” Nadia menatapnya tajam, membuat Mahesa menggeleng dan akan beranjak untuk membawa mie itu ke wastafel, tapi Nadia sekali lagi mencegah. “Kenapa? Kau jadi tidak berselera setelah Mama memakan mie kamu?” Tanya Nadia membuat Mahesa menggeleng. Kana mengintip dari celah pintu, dari kamar tempatnya bersembunyi kini, dirinya bisa melihat ke arah dapur karena konsep rumah Mahesa yang open space. Dia melihat seorang wanita paruh baya yang masih terlihat bugar dan cantik. Kana berpikir, tidak mungkin kan selera Mahesa adalah wanita paruh baya yang usianya mugkin dua kali usia pria itu? Tapi itu bisa saja mungkin dan itu yang mendasari pemuda itu menyembunyikan kekasih hatinya kini. Kana berusaha mencuri dengar, walau dia tidak bisa mendengarkan sepenuhnya percakapan mereka. Melihat sang wanita yang memakan mie buatannya dengan lahap dan terlihat sangat menikmatinya membuat Kana tersenyum bangga. “Mama….” Hanya itu kata yang Kana dengar dari obrolan Mahesa, namun satu kata itu sudah menjawab penasarannya tentang wanita yang menjadi tamu Mahesa. “Ah, jadi Mamanya…” Kana menggumam sambil terus memperhatikan mereka. Melihat interaksi mereka, Kana bisa menilai jika karakrter Mama Mahesa sangat berbanding terbalik dengan Mahesa, beliau sosok yang ramah, suka berbicara dan selalu tersenyum. Adegan selanjutnya membuat Kana menutup mulutnya tidak percaya, saat Mahesa memakan mie sisa miliknya. Itu mie nya, sudah sisa! Sialan! Bagaimana bisa pria itu tetap memakannya?! Kana meringis namun juga tertawa. Ternyata Mama Mahesa satu-satunya yang bisa menaklukan pria itu. Ah, Kana jadi merasa bersalah tapi juga ingin tertawa. Dia yakin itu pertama kalinya Mahesa makan, makanan sisa seumur hidup pria itu. “Mama mau menginap di sini saja. Hujan masih deras. Mama takut berkendara saat hujan. Tenang, Mama tidak akan merepotkanmu.” Nadia lalu beranjak dan keluar dari ruang makan yang diikuti Mahesa. “Papa akan mencari Mama. Jangan bercanda, Ma. Papa tidak akan tidur jika Mama tidak pulang.” Mahesa berusaha mencegah, apalagi saat melihat Nadia berjalan menuju kamar tamu tempat di mana Kana bersembunyi. Kenapa timingnya pas seperti ini? Dia tadi asal memilih kamar untuk menyembunyikan Kana. “Nanti Mama akan meminta Papa ke sini saja. Lagipula kita sudah lama tidak sarapan bersama, besok Mama ingin sarapan denganmu dan Papa juga.” Nadia seolah tidak mau tau. “Ma, besok aku akan pulang ke rumah. Kasian Oma juga, Oma di rumah sendirian, pasti mencari Mama.” Mahesa masih berusaha mencegah saat Nadia semakin dekat menuju kamar di mana Kana berada. Kana sendiri langsung panik, dia berlari, mencoba berpikir di mana dia bersembunyi di kamar yang begitu besar. Tidak mungkin di kamar mandi! Pasti Mama Mahesa akan menggunakan kamar mandi. Di walk in closet? Tidak mungkin juga, besar kemungkinan Mama Mahesa juga akan masuk ke walk in closet. Di mana? Di mana? Kana menggumam dan terus berpikir. Handle pintu sudah ditekan, dia bisa mendengar suara Mahesa yang berteriak. Kana langsung berlari menuju walk in closet dengan harapan bisa bersembunyi di salah satu lemari walau dia memiliki ketakutan pada tempat sempit dan gelap. “Ma, jangan di sini, air krannya sedang rusak, gunakan kamar lain saja.” Kana bisa mendengar itu sebelum dirinya benar-benar menutup pintu walk in closet. “Kenapa kau terlihat mencurigakan sekali, Mahesa? Kau tidak sedang menyembunyikan wanita kan?” Tanya Nadia dengan tatapan curiga dan penuh interogasi. “Mama... Apa yang Mama pikirkan, kapan Mama melihatku bermain wanita?” Mahesa jadi frustasi sendiri. “Itulah yang jadi pertanyaan Mama, kau normal atau gay. Ck.” Nadia mendecak dan masuk ke kamar mandi untuk membuktikan ucapan Mahesa, sedang Mahesa sudah mengacak rambutnya frustasi. “Kan … Kau berbohong … Airnya semua normal, tidak ada kerusakan. Mama yakin kau menyembunyikan sesuatu di sini. Kau tidak menyembunyikan pria kan?” Kini pertanyaan Nadia berubah, membuat Mahesa semakin mendesis, sangat sulit menghadapi Mamanya. Dia juga sebenarnya bertanya-tanya di mana Kana bersembunyi. Namun detik berikutnya matanya melotot, walk in closet, wanita itu pasti di sana! Bertepatan dengan Nadia yang berjalan menuju walk in closet! Tamat riwayatnya jika sampai Kana ketahuan! “Arghh….Sialan…” Mahesa menggumam frustasi dan menyusul Nadia menuju walk in closet. Mata Mahesa meneliti dengan tajam, berusaha mencari keberadaan Kana. “Mama, tidak ada apapun di sini. Ya Tuhan. Apa yang sebenarnya Mama lakukan? Aku akan menelpon Papa ya untuk menjemput Mama di sini.” Mahesa sudah mengeluarkan ponselnya dan mendial nomor Papanya. Kana yang bersembunyi di salah satu lemari hanya bisa menekan dadanya yang berdetak cepat dan mengatur napasnya, jangan sampai asmanya kambuh. Inhale exhale, dia melakukannya berulang kali dengan mata yang terpejam, bibirnya meringis ngeri saat mendengar pintu lemari demi lemari yang dibuka dan ditutup. Dan Kana merasa lemari tempatnya bersembunyi semakin dekat dengan langkah kaki, hingga dia bisa mendengar pintu yang dibuka dan membuatnya semakin menyusut ke pojok lemari. “Ma, Ya Tuhan. Mahesa benar-benar tidak habis pikir. Tidak ada apapun di sini. Ayo keluar.” Itu suara Mahesa yang langsung menuntun Nadia untuk keluar, membuat Kana bisa menarik napasnya lega untuk sesaat dan semakin lega saat dia mendengar pintu yang dibuka dan ditutup kembali. Dia lalu membuka pintu lemari itu dan menarik napas sebanyak-banyaknya. Kini menatap ke bawah dan berpikir bagaimana caranya dia turun. Kenapa dia tadi bisa naik dengan selamat sampai ke atas? Ah, dia membutuhkan Mahesa untuk turun. Dia menggigit kukunya dan berpikir caranya untuk turun, tapi terlihat sangat menakutkan jika dia langsung loncat dan jatuh ke lantai. Membayangkannya saja membuatnya meringis ngilu. Sekitar sepuluh menit berlalu dan tidak ada yang Kana lakukan selain menatap lantai dari ketinggiannya kini. Hingga pintu terbuka dan Kana langsung mendongak, melambaikan tangannya pada Mahesa. “Dokter Mahesa, bantu aku turun.” Ucap Kana dengan senyum penuh harapannya. “Ya Tuhan! Bagaimana kau bisa sampai di atas situ? Bagaimana kau naik?” Tanya Mahesa tidak habis pikir. “Tidak tau. Tadi aku hanya melompat dan berhasil meraih ini lalu naik ke sini.” Mahesa lalu mengambil kursi dan naik. “Ayo turun.” Mahesa menunjuk kursi dengan dagungnya, meminta Kana turun dan loncat ke kursi itu, namun Kana menggeleng keras, rasanya jarak kursi dan tempatnya masih terlalu tinggi. Mahesa menghela napasnya, menggeser single chair itu dan kini menarik sofa panjang yang ada di sana. “Kau bisa lompat dan tidak akan sakit. Kau akan jatuh ke sofa ini. Ayo turun.” Mahesa kembali memberikan solusi. “Bisakah kau naik dan meraih tanganku?” Pinta Kana dengan tatapan penuh harap, membuat Mahesa menghela napas lelah entah untuk yang ke berapa malam ini karena dua wanita. “Oke. Sekarang ulurkan tanganmu.” Mahesa sudah naik ke sofa, mengulurkan tangannya pada Kana, yang disambut oleh Kana dengan senyuman dan uluran tangan. “Hap.” Ucap Kana dan langsung menubruk tubuh Mahesa hingga Mahesa kehilangan keseimbangannya dan keduanya jatuh dengan posisi saling menindihdan bibir yang tidak sengaja bersentuhan. Hal itu membuat Mahesa membelalakkan matanya saat merasakan benda kenyal di bibirnya, pun dengan Kana yang tidak kalah terkejut. Dia menatap Mahesa yang tepat berada di bawahnya, mereka tidak berjarak, dengan Mahesa yang memeluk pinggang Kana dan mereka berciuman secara tidak sengaja. Oh, Tuhan! Sepertinya mereka benar-benar ditakdirkan!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN