"Anak ini adalah hadiah dari neraka," ucap Elmira sinis.
"Aku tidak tahu siapa ayahnya, dan aku tidak peduli. Aku ingin menggugurkannya, tapi tidak punya uang. Aku mencoba bunuh diri beberapa kali, tapi selalu gagal. Dan lihatlah, bahkan saat kecelakaan, aku tetap hidup." Ia menoleh pada Tristan dengan sorot mata kosong. "Seharusnya kamu membiarkanku mati."
Tristan menelan ludah, tidak tahu harus berkata apa. Elmira bukan hanya korban dari kecelakaan yang ia sebabkan, tetapi juga korban dari dunia yang kejam. Wanita ini telah melalui neraka, dan tetap bertahan meskipun ia tidak menginginkannya.
"Tapi aku yang menabrakmu," Tristan bersikeras.
"Dan aku memang ingin mati," Elmira membalas cepat. "Jadi anggap saja kamu memberiku kesempatan terakhir untuk mengucapkan selamat tinggal pada dunia."
Tristan terdiam, tetapi dalam hatinya, ia tahu—ia tidak akan membiarkan Elmira pergi begitu saja. Wanita ini telah kehilangan segalanya, tetapi mungkin … hanya mungkin, ia masih bisa diselamatkan.
Sesaat, keheningan tercipta di antara keduanya. Sebelum akhirnya Tristan bertanya, "siapa namamu? Ke mana aku harus mengantarmu pulang?"
"Elmira," jawabnya singkat. "Tidak perlu mengantarku, karena aku tidak punya tujuan untuk pulang."
"Ikut aku!" ujar Tristan yang lebih mirip dengan sebuah perintah. "Aku Tristan."
Setelah merasa lebih baik dan sudah bersih, Tristan menyelesaikan seluruh administrasi rumah sakit. Elmira melangkah perlahan, nyaris tanpa perasaan. Tubuhnya masih terasa lemah, tetapi Tristan bersikeras membawanya pergi dari rumah sakit. Ia tidak menolak, karena memang tidak ada tempat lain untuknya kembali.
Di dalam mobil, keduanya terdiam. Tristan tidak lagi mencoba berbicara, sementara Elmira hanya menatap ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang berpendar di balik kaca.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah mewah. Elmira mendongak, menatap bangunan megah dengan pilar tinggi dan lampu temaram yang memberikan kesan hangat.
"Turunlah!" titah Tristan singkat.
Elmira menghela napas dan membuka pintu. Kakinya melangkah pelan ke dalam rumah yang terlalu besar dan terlalu indah dibandingkan dengan kehidupannya yang kelam. Baru satu langkah kakinya melewati ambang pintu, suara tangisan bayi menggema di seluruh ruangan.
Elmira langsung berhenti. Tubuhnya menegang. Suara itu ....
Tristan yang berjalan di depannya pun ikut berhenti, lalu menoleh sekilas sebelum melanjutkan langkahnya tanpa berkata apa-apa.
"Tuan Tristan ...."
Seorang wanita paruh baya dengan setelan seragam rapi muncul dari arah ruang tengah, menggendong seorang bayi yang menangis keras.
"Maaf, Tuan. Nona Elea terus menangis sejak tadi. Sepertinya dia lapar," kata wanita itu.
Tristan mengangguk, kemudian menoleh ke arah Elmira yang masih berdiri kaku di ambang pintu. Wajahnya tampak kosong, tetapi jari-jari tangannya saling meremas.
"Bawa Elea ke kamar bayi, dan berikan dia s**u," perintah Tristan pada pelayanan itu, lalu berbalik ke Elmira. "Masuk dan duduklah. Aku akan bicara setelah ini."
Elmira tidak bergerak, pandangannya masih terus mengikuti bayi itu hingga menghilang di balik pintu yang tertutup. Tristan menyadarinya, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa.
"Jangan berdiri di sana terus. Aku akan menyuruh seseorang menyiapkan kamar untukmu," ucap Tristan yang membuyarkan lamunan Elmira.
Elmira akhirnya melangkah masuk, tetapi pikirannya masih terguncang oleh suara bayi tadi. Ada sesuatu dalam tangisan itu yang menusuk ke dalam hatinya, mengingatkannya pada sesuatu yang seharusnya tidak ia rasakan lagi.
"Bayi siapa itu?" tanyanya pelan.
Tristan menatapnya tajam, seolah mempertimbangkan apakah ia harus menjawab atau tidak. Lalu, setelah beberapa detik, ia akhirnya berkata, "Anakku."
Elmira menoleh cepat. Matanya membulat, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Ka-kamu punya anak?" suaranya bergetar.
Tristan menghela napas, lalu berjalan menuju bar dan menuangkan segelas minuman untuk dirinya sendiri. "Ya," jawabnya datar. "Dan ibunya sudah meninggal."
Elmira tidak tahu kenapa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia seharusnya tidak peduli. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya, sesuatu yang tidak ia mengerti.
Oweee ....
Elmira menoleh, mendengar suara tangisan bayi itu yang sedikit pun tak terhenti. Dia menggigit bibirnya, menekan dadanya yang terasa sesak. Tubuhnya tegang, jemarinya mencengkeram lengan sofa seakan mencoba menahan diri. Namun, semakin ia berusaha mengabaikannya, semakin kuat suara itu menjeratnya.
"Elea ...."
Tanpa pikir panjang, Elmira bangkit. Ia melangkah cepat, hampir berlari ke arah suara itu berasal. Ia tidak peduli pada Tristan yang menatapnya dengan alis bertaut. Ia tidak peduli bahwa ia tidak punya hak untuk melakukan ini. Yang ia tahu hanyalah—bayi itu menangis, dan ia tidak bisa diam saja.
Ketika Elmira mendorong pintu kamar bayi, wanita paruh baya yang tadi menggendong Elea menoleh dengan terkejut.
"Nona ... ada apa?" tanyanya.
Elmira tidak menjawab. Napasnya memburu. Matanya hanya terfokus pada bayi mungil di dalam dekapan wanita itu. Elea menangis lebih keras, wajahnya memerah, dengan kedua tangan yang mengepal.
“Berikan dia padaku,” suara Elmira bergetar, tetapi ada ketegasan yang tidak bisa dibantah.
Wanita itu ragu, menatap Elmira dengan bingung. “Tapi, Nona—”
Elmira tidak menunggu lebih lama. Dengan langkah cepat, ia meraih Elea, mendekapnya ke dalam pelukan. Tubuh bayi itu begitu kecil, dengan jari-jari tangan yang begitu kecil, dan bibir merah yang mungil.
Lalu, nalurinya mengambil alih.
Tanpa berpikir panjang, Elmira membuka kancing baju bagian atasnya. d**a dan lengannya gemetar ketika ia mendekapkan Elea ke tubuhnya. Ia tidak tahu apa yang ia lakukan, tidak tahu kenapa ia melakukan ini.
Namun, begitu kulit bayi itu menyentuh kulitnya, sesuatu di dalam dirinya runtuh.
Tangis Elea mereda perlahan. Bayi itu masih tersedu-sedu, tetapi tubuhnya mulai rileks dalam kehangatan pelukan yang Elmira berikan.
"Nona, tapi —" Wanita itu segera menghentikan ucapannya saat melihat Tristan memberi kode untuk berhenti dari ambang pintu kamar.
Elmira merapatkan dekapannya, menundukkan wajahnya ke kepala Elea, menghirup aroma lembut khas bayi yang begitu asing. Matanya memanas, seolah ada sesuatu yang pecah dalam dirinya.
"Diamlah, Nak. Minumlah yang banyak," lirihnya.
Wanita paruh baya itu menatap mereka dengan mata terbelalak, tetapi ia tidak berani berkata apa-apa. Tristan sendiri masih berdiri terpaku. Matanya tidak lepas dari pemandangan di depannya—Elmira, yang ia lihat tampak kosong dan hancur, kini mendekap Elea seolah bayi itu adalah seluruh dunianya.
Dengan langkah perlahan, Tristan mulai mendekat. Kini, dirinya telah berdiri tepat di belakang tubuh Elmira yang masih mendekap Elea erat. Suara napasnya terdengar pelan, tetapi cukup untuk membuat Elmira menyadari kehadirannya.
Elmira tak berani menoleh, ia tau jika yang dilakukannya itu adalah sebuah kesalahan. "Maafkan aku—"
"Jadilah ibu s**u untuk anakku," potong Tristan.
Elmira terkejut. Jantungnya seakan berhenti berdetak sejenak. Ia menoleh perlahan, menatap Tristan dengan mata membesar.
"Apa?" tanyanya pelan.