Bab 1. Kecelakaan
Tiiinnnnn!
Suara klakson meraung keras, mengiris malam yang penuh derasnya hujan. Tubuh Elmira terlempar beberapa meter dari titik benturan.
Perutnya terasa seperti ditusuk ribuan pisau, sakit yang luar biasa menjalar hingga ke seluruh tubuhnya. Elmira terbatuk, dan cairan hangat mengalir dari sudut bibirnya. Dalam kesadaran yang mulai memudar, ia samar-samar melihat seorang pria keluar dari mobil dengan wajah panik. Langkah kakinya tergesa-gesa, menerjang hujan yang mengguyur tanpa ampun.
“Hey! Bertahanlah!” suara pria itu terdengar serak, hanya samar di telinga Elmira.
Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi mulutnya tidak bisa bergerak. Pandangannya mulai mengabur, dan dalam hitungan detik, kegelapan menyelimutinya. Hujan turun deras, membasahi tubuh Elmira yang saat ini terkulai dalam dekapan sang pria.
"Sial!"
Tristan menggertakkan giginya, jantungnya masih berdetak cepat akibat kejadian barusan. Tangannya gemetar saat mengangkat tubuh perempuan yang terkapar di tengah jalan itu, membawanya masuk ke dalam mobilnya.
"Hei, Nona. Bangunlah!" Tristan mencoba untuk menggoyangkan tubuh Elmira.
Wajahnya pucat. Cairan merah kental mulai merembes di gaun perempuan itu, dan Tristan tahu ia tidak punya banyak waktu.
"Dengar," katanya, mencoba membuat suaranya tetap stabil. "Aku tidak tahu siapa kamu, tetapi kumohon ... bertahanlah. Kita hampir sampai."
Tanpa pikir panjang, ia menginjak pedal gas, melajukan mobilnya menembus malam yang dingin menuju rumah sakit. Dalam hatinya, Tristan hanya berharap—perempuan ini tidak mati di tangannya.
--
“Apakah Anda yang membawanya?” tanya dokter yang baru saja keluar dari ruang ICU.
Tristan segera berdiri. “Ya, bagaimana keadaannya, Dok?”
Dokter itu menghela napas pendek. “Ia mengalami luka dalam akibat benturan, tetapi yang paling parah adalah—” Dokter itu ragu sejenak. “Dia mengalami keguguran.”
Jantung Tristan seolah berhenti berdetak sejenak. “Keguguran?” bisiknya, hampir tak percaya.
Dokter mengangguk. “Kehamilannya sudah memasuki usia delapan bulan, tetapi dampak dari kecelakaan tadi cukup parah. Untungnya, nyawanya masih bisa diselamatkan. Hanya saja ... bayinya sudah ...."
Tristan menelan ludah, rasa bersalah di hatinya semakin berat. Ia baru mengetahui jika perempuan itu sedang mengandung. Namun sekarang, karena dirinya ... ia harus kehilangan anaknya.
“Bolehkah saya menemuinya, Dok?” tanya Tristan dengan suara serak.
Dokter mengangguk. “Silakan, tapi jangan terlalu lama. Dia masih lemah.”
Tanpa menunggu lebih lama, Tristan melangkah masuk ke dalam ruangan. Ruangan itu terasa sepi, hanya terdengar suara alat medis yang berdetak pelan.
Di atas ranjang, Elmira terbaring dengan wajah pucat. Matanya tertutup, tetapi Tristan bisa melihat napasnya yang masih teratur. Luka-luka kecil terlihat di pelipis dan tangannya, membuat Tristan semakin merasa bersalah.
Perlahan, Elmira membuka matanya. Pandangannya masih samar, tetapi ia bisa melihat sosok pria tinggi yang berdiri di samping ranjangnya. Tristan menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan—campuran antara rasa bersalah dan juga kepanikan.
"Kamu sudah bangun?" Tristan menarik napas dalam, lalu berkata dengan suara lirih, “Aku … aku minta maaf.”
Elmira menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum lemah. “Untuk apa?”
Tristan mengerutkan kening. “Akulah yang menabrakmu. Dan … maaf karena kamu harus kehilangan bayimu karena aku.”
Elmira menghela napas perlahan, matanya menerawang ke langit-langit. Hening sejenak sebelum akhirnya ia berbisik, “Tidak apa-apa.”
Tubuh Tristan menegang. Ia tidak menyangka jika jawaban itulah yang akan keluar dari mulut wanita yang baru saja kehilangan bayinya.
Sesaat kemudian, Elmira menoleh ke arahnya, senyum tipis masih terpatri di wajahnya. “Terima kasih.”
Tristan semakin bingung. “Terima kasih? Untuk apa?”
Elmira menatapnya lama sebelum menjawab, “Karena setidaknya … sekarang aku bebas.”
Tristan tidak mengerti. Tetapi dari cara Elmira mengucapkannya, dari tatapan kosong di matanya, Tristan tahu bahwa perempuan ini menyimpan luka yang lebih dalam dari yang dapat ia bayangkan.
Untuk pertama kalinya, Tristan ingin tahu, siapa sebenarnya Elmira? Dan mengapa kata ‘bebas’ terdengar begitu menyakitkan dari bibirnya?
Tristan menarik kursi dan duduk di samping tempat tidur. “Bebas?” ulangnya pelan. “Maksudmu?”
Elmira menatap ke langit-langit kamar rumah sakit, lalu mengalihkan pandangannya ke jendela yang basah oleh sisa hujan. “Aku seharusnya tidak mengandung bayi itu sejak awal.”
Kata-katanya menusuk tajam ke dalam hati Tristan. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat d**a pria itu terasa sesak.
Elmira menarik napas dalam, lalu melanjutkan, “Aku tidak pernah menginginkan bayi itu.”
Tristan terdiam. Otaknya mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Elmira. Ada rasa ingin mengutuk wanita itu. "Bagaimana bisa? Dia adalah anakmu."
Elmira kembali mengalihkan pandangannya, menatap kosong ke arah jendela. Hujan sudah berhenti, tetapi jejak air masih tertinggal di kaca, seperti bekas air mata yang tak kunjung mengering. "Seharusnya aku juga mati," bisiknya.
Jantung Tristan mencelos. "Apa yang kamu katakan?"
Elmira menarik napas dalam, seolah mengumpulkan keberanian untuk mengeluarkan sesuatu yang telah lama ia pendam. "Seharusnya kamu tidak menyelamatkanku."
Tristan menggeleng, hatinya bergejolak. "Jangan bicara seperti itu. Aku mungkin telah menyebabkan kecelakaan ini, tetapi aku tidak bisa membiarkanmu mati begitu saja!"
Elmira tertawa kecil, getir. "Tentu saja, seorang pria kaya seperti kamu pasti tidak akan mengerti." Ia menoleh, menatap Tristan dengan mata yang penuh kepedihan. "Kamu pikir aku ingin hidup setelah semua yang terjadi padaku?"
Tristan menggenggam tangan di pangkuannya, menahan diri agar tidak mengatakan sesuatu yang akan memperburuk keadaan. "Ceritakan padaku," katanya pelan. "Apa yang membuatmu ingin mati?"
Elmira terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. "Aku diperkosa," ucapnya akhirnya.
Tristan tertegun. Kata itu begitu berat, begitu menyesakkan, seolah udara di dalam ruangan tiba-tiba menghilang.
"Aku tidak tahu siapa mereka. Aku hanya ingat ada lebih dari satu pria," suara Elmira hampir tak terdengar. "Aku baru pulang kerja malam itu. Jalanan sepi, dan tiba-tiba mereka menarikku ke dalam mobil. Mereka tidak memberiku kesempatan untuk berteriak. Mereka … mereka melakukan semuanya dengan brutal. Aku bahkan tidak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri."
Elmira mengepalkan tangannya di atas selimut. "Saat aku bangun, aku sudah tergeletak di pinggir jalan, tubuhku penuh luka dan bajuku berantakan. Aku mencoba melapor ke polisi, tapi mereka hanya menganggap aku w************n yang mencari perhatian. Bahkan keluargaku sendiri …," suaranya tercekat.
Tristan menahan napas, menunggu Elmira melanjutkan ceritanya.
"Ayahku mengusirku dari rumah," lanjutnya dengan suara gemetar. "Sementara Ibu hanya bisa menangis, tapi tidak mampu melakukan apa pun. Mereka bilang jika aku telah membawa malu untuk keluarga. Sejak saat itu, aku hidup sendiri, bekerja serabutan, dan bertahan sebisaku."
Tristan merasa ada sesuatu yang berat mengganjal di dadanya. Begitu beratnya apa yang dialami oleh Elmira. "Dan kehamilan itu?" tanyanya hati-hati.
Elmira tertawa pahit. "Anak ini adalah hadiah dari neraka."