4. Manusia Gelembung

1308 Kata
Juni 2028 San Jose, California, USA Hal pertama yang menarik perhatian Leo dari pria itu adalah pakaian yang dikenakannya. Restoran yang dikunjunginya malam itu bukan diner biasa yang sering didatanginya bersama keluarganya untuk makan malam, tapi tempat yang cukup berkelas. Terlihat dari para pelayan berseragam licin yang mondar-mandir mencatat pesanan dan mengantar makanan dengan gerakan penuh elegan. Bahkan anak berumur 7 tahun pun tahu pria itu tidak seharusnya berada di situ. Karenanya ketika Leo menatap ke arah pria yang duduk sendirian di dekat jendela, mau tidak mau ia mengamatinya. Berpakaian terusan jumpsuit panjang berwarna abu-abu yang mirip dengan petugas kebersihan di sekolahan, pria itu duduk seorang diri di mejanya. Kepalanya yang tertutup kerudung menunduk menatap piring kosong yang ada di hadapannya sementara kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya. Leo berusaha mengamati wajah pria itu yang tidak terlihat dari tempatnya duduk. Merasa penasaran, ia mendekat ke wajah ayahnya dan berbisik, “Dad, mengapa mereka membiarkan seorang petugas kebersihan masuk ke tempat semewah ini?” Ken mengerutkan keningnya kemudian menoleh ke arah tatapan Leo. Begitu menemukan sosok yang sedang diamati oleh Leo, Ken langsung menghardik. “Hush! Tidak baik mengatai orang lain, Leo. Pria itu memiliki hak yang sama dengan siapapun. Selama ia membayar makanannya, tidak peduli jenis pakaian apa yang di gunakannya, ia berhak untuk berada di tempat ini.” Leo mengerutkan bibirnya mendengar ucapan ayahnya. Sesuatu tidak pada tempatnya, pikir anak itu. Dan ia tidak menyukai hal yang tidak pada tempatnya. Tentu saja ia tahu bahwa semua orang berhak untuk berada di tempat itu, tapi setidaknya cobalah untuk membaur agar tidak terlalu menonjol, pikirnya kala itu. Bahkan hingga bertahun-tahun kemudian, Leo masih bisa mengingat kejadian malam itu secara detil. Mulai dari makanan yang di pesan keluarganya, yaitu salmon panggang untuk ibunya, steak untuk ayahnya, dan spagheti untuknya, hingga ke warna kaos kaki yang di pakai oleh pria berjumpsuit yang duduk di dekat jendela. Oranye. Ia bahkan masih ingat wajah ayahnya ketika ponsel pria itu berbunyi. Bagaimana ayahnya melirik ke layar ponselnya sebelum membaca nama yang tertera dengan dahi yang berkerut. Leo ingat bagaimana kerutan di wajah ayahnya mengingatkannya pada lipatan di tas kulit ibunya kala itu, yang bahkan sempat membuatnya tertawa ketika itu. “Hm… Dr Susan? Sudah lama sekali ia tidak ada kabarnya. Mengapa ia mendadak meneleponku?” gumam Ken. “Apakah kau tidak akan mengangkatnya, Dear?” tanya Barbara sambil menyuapkan sepotong ikan ke dalam mulutnya. “Kau tidak keberatan?” tanya Ken. Dirinya memang tidak membiasakan diri untuk menerima telepon ketika sedang bersama keluarganya. Terutama jika telepon itu membahas pekerjaan. Tapi kali ini, ia sejujurnya penasaran mengapa mendadak wanita yang barusaja dibicarakannya meneleponnya. Terlebih ketika mereka sudah lama sekali tidak berhubungan. “Tentu saja tidak. Angkatlah, mungkin penting. Bukankah kau bilang sudah lama tidak mendengar darinya?” timpal Barbara sambil tersenyum. “Oh… Baiklah, Dear.” Ken memencet layar di ponselnya dan merapatkan benda itu ke sisi wajahnya. “Susan,” sapanya. “Apa kabar—” Sepi, sementara Ken mendengar balasan dari ujung sambungan. Leo mengunyah makanannya sambil mengamati wajah ayahnya. Dahi Ken kini kembali berkerut mirip dengan tas kulit Barbara. “A… aku tidak paham. File apa? Mengapa kau memintaku untuk menyebarkannya ke media masa?” Sepi lagi, kini mulut ayahnya membuka seolah hendak menyela sebelum menutupnya kembali dan terdiam. “Okay…” Kepalanya kini mengangguk-angguk. “Tidak… tidak…. Aku sedang diluar.” Ken menggeleng. Tangannya mengelus dahinya sendiri yang mulai terlihat mengkilat di mata Leo. Mungkin karena keringat? Tebak bocah itu. “Baiklah… baiklah… Aku mengerti,” ucap Ken sebelum menutup sambungan telepon dan menyelipkannya kembali ke dalam saku celananya. “Kau baik-baik saja, Dear? Apa yang terjadi? Wajahmu pucat pasi seperti habis melihat hantu,” timpal Barbara sambil meremas lengan Ken dengan wajah kebingungan. Leo ikut menatap ke arah wajah ayahnya. Peluh kecil mulai terlihat di dahinya yang tinggi. Saat itu lah, pria berpakaian jumpsuit yang dari tadi diamati oleh Leo mendadak berdiri. Gerakannya yang tiba-tiba mendorong kursi yang di dudukinya hingga terguling ke belakang dengan suara “BRAK” yang cukup keras. Beberapa orang mulai mengalihkan pandangan ke arah pria itu dengan mata terbelalak karena kaget. Pria itu menarik tangannya keluar dari saku bajunya, dan hal pertama yang membuat Leo terpaku adalah pergelangan tangan pria itu. Menyembul dari ujung lengan jumpsuit berwarna abu-abunya, kulit di pergelangan tangan pria itu penuh dengan gelembung-gelembung sebesar kelereng berwarna kuning yang terlihat berisi cairan. Gelembung itu bahkan terlihat berdenyut, mengikuti nafas dari pria itu, mengingatkan Leo akan leher katak yang sering di jumpainya di sungai.  Sangat menjijikkan, pikir bocah itu. Pria itu menarik kerudungnya turun dan rupanya seluruh wajah dan kepalanya yang botak pun tertutup oleh gelembung-gelembung yang sama, merata di seluruh permukaan kulitnya. Tidak berhenti di situ, ia mulai menarik resleting jumpsuit yang dikenakannya turun dan membukanya, menyisakan hanya sebuah celana pendek menutupi bagian bawah tubuhnya. Kini bisa dipastikan hampir seluruh mata memandang ke arah pria bergelembung itu. Tangan menutupi mulut mereka sementara beberapa orang mulai terdengar berbisik-bisik sambil menunjuk. Apalagi ketika kini mereka bisa melihat dengan jelas bahwa bukan hanya wajah dan tangan saja, tapi seluruh tubuh pria itu rupanya tertutup oleh gelembung kuning berdenyut yang sama. Seorang pelayan mulai berjalan mendekati pria itu, mungkin hendak mengusirnya. Namun, belum sempat pelayan itu membuka mulutnya, pria bergelembung itu  mendadak mengangkat kedua tangannya ke atas dan berteriak sekuat tenaga. “AAAAAAAAARRRRGGGGGGGGGG!!!” Raungan yang keluar dari mulut pria itu bukan hanya satu-satu nya hal yang membuat Leo dan semua orang di dalam restoran itu membelalak. Gelembung berwarna kuning yang menutupi sekujur tubuh pria itu mulai mengembang membesar, sebelum kemudian meletus satu- persatu. Persis seperti gelembung sabun ketika kau meniupnya terlalu keras. Gas berwarna kuning meresap keluar dari tiap gelembung-gelembung yang pecah, menghantarkan asapnya ke seluruh penjuru ruangan. Leo bisa merasakan cengkeraman tangan ayah dan ibunya di kedua pergelangan tangannya, hendak menariknya keluar, sebelum mendadak ia bisa merasakan tubuh ibunya terjatuh menindih keatas tubuhnya sendiri. Leo membuka mulutnya berusaha untuk berteriak, sebelum kemudian sadar bahwa tidak ada satupun dari otot wajahnya yang mampu di gerakkannya. Dengan kebingungan, Leo berusaha untuk menggerakkan tubuhnya. Sama. Tidak ada satu pun anggota tubuhnya yang mau diajak bekerja sama. Seolah perintah dari otaknya tidak tersampaikan ke tubuhnya. Apa yang terjadi? Pikirnya mulai panik. Matanya menatap kearah ibunya dengan mata membelalak. Satu-satunya bagian tubuhnya yang bisa digerakkannya. Matanya.  Satu tangan wanita itu tergeletak di samping kepala Leo sementara sisa tubuhnya menindih tubuh anaknya, mulai dari leher hingga keujung kakinya. Wajah wanita itu menghadap ke arah Leo. Bocah kecil itu bisa merasakan kepanikan yang melintas di mata ibunya. Berjarak hanya beberapa senti dari wajahnya sendiri, Leo bahkan bisa melihat manik mata ibunya yang membesar dan mengecil sementara wanita itu menggerakkan bola matanya ke sekeliling ruangan. Leo berusaha melirik ke arah ayahnya, Ken. Tapi tubuh pria itu terjatuh di balik punggung Barbara, sehingga Leo tidak bisa melihat sosok Ken dengan jelas tertutup oleh tubuh ibunya. Leo menjerit di dalam kepalanya, memanggil kedua orang tuanya. Berusaha sekuat tenaga memerintahkan mulutnya utuk ikut bergerak dan berteriak. Tapi yang bisa dilakukannya, tidak jauh berbeda dengan yang bisa dilakukan oleh ibunya. Selain bola matanya, tidak ada yang bisa digerakkan olehnya. Leo bisa mendengar suara-suara tubuh yang berjatuhan di sekelilingnya diikuti suara cairan yang diguyurkan ke sekeliling ruangan. Baunya yang khas langsung menyadarkan Leo cairan apa yang sedang dituangkan oleh pria bergelembung itu. Bau menusuk yang sering diciumnya ketika ayahnya mengisi bahan bakar kendaraannya. Bensin. Sebelum pria itu menyalakan korek api yang ditemukannya disalah satu kantong pengunjung, sebelum kemudian sesuatu yang panas terasa mengelilinginya, Leo masih teringat ucapan terakhir yang di dengarnya keluar dari pita suara pria itu. Suaranya yang serak tercetak di dalam kepala Leo sepanjang hidupnya, yang kadang masih sering muncul di dalam mimpinya. Suara kasar dan tanpa emosi yang berucap, “Target ditemukan. Menyelesaikan misi.” ===== Note: Sejauh ini masih bersama Logan dan Leo?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN