Pertemuan Mereka

1149 Kata
"Dek..." Dhevi menoleh ke arah suara yang baru saja memanggil nama kecilnya. Kaget? Jelas! Dhevi tidak bisa mendeskripsikan bagaimana canggungnya suasana ketika mendengar suara seseorang dari masa lalu yang memanggilnya setelah hampir delapan tahun tidak bertemu, apalagi mata itu menatapnya masih seperti dulu. Dhevi jelas saja kaget karena di depannya ada seorang pria muda dengan seragam polisi. Ia tampak berbeda dan lebih tampan di usianya yang dewasa. Apakah benar dia...? "...yang terhormat Bapak Iptu Rangga Damar Utomo, terima kasih sudah hadir dalam acara ini." Pertanyaan Dhevi dijawab oleh pembawa acara yang menyambut Rangga, pria dari masa lalunya. Dhevi tidak sempat menjawab panggilan Rangga tadi karena acara sudah dimulai. Mereka hanya sempat saling menatap beberapa detik saja. Rangga, pria yang dulu pernah mendapat peringatan dari Papa Azki untuk menjauh darinya karena reputasi negatifnya, pria yang membuat Dhevi harus pindah sekolah ke Melbourne, dia juga pria yang menjadi cinta pertama dan mungkin saja yang membuat Dhevi susah move on sampai sekarang. Dan yang jelas, dia pria yang dulu dikatakan papanya tidak punya masa depan. Sekarang, pria tersebut berdiri sejajar dengan papanya dan menjadi salah satu tamu kehormatan dalam acara sosial tahunan yang bekerja sama dengan Departemen Kesehatan, kepolisian, dan juga pemerintah daerah yang akan dilakukan di Rumah Sakit Royal milik keluarganya. Takdir apa ini? "Saya tidak akan membiarkan anak saya dekat dengan pria tukang buat onar dan tidak punya masa depan seperti kamu!" Suara Papa Dhevi menggelegar, dan ucapan itu seperti berputar kembali di kepala Dhevi. Kejadian di ruang tamu Popa tidak akan pernah bisa dia lupakan seumur hidupnya. "Tapi saya sayang Adek, Om ... kami pacaran sehat, saya janji akan melindungi Adek." Rangga masih berani menyahuti ucapan papanya Dhevi. "Melindungi anak saya dari apa dan siapa, maksudnya? Saya justru mau melindungi anak saya dari orang-orang seperti kamu ini! Sudah pernah saya ingatkan anak saya untuk menjauhi kamu, tapi sepertinya dia tidak mau mendengarkan larangan saya lagi, kalian malah kencan diam - diam. Sekarang sudah tidak ada kesempatan lagi, saya rasa saya sudah cukup sabar." Papa Azki melirik ke Dhevi. "Setelah ini Papa akan urus kepindahan Adek ke luar negeri, papa nggak bisa membiarkan Adek begini. Masa depan Adek lebih penting daripada membuat cerita romansa dengan orang yang nggak jelas seperti dia ini!" Papa Azki dengan suara meninggi sambil menunjuk Rangga. Papa Azki tahu namanya Rangga, tapi menyebut namanya saja tidak mau. Dhevi, yang hampir tidak pernah menangis itu, sekarang air matanya mulai jatuh. Mamanya hanya bisa diam karena tidak berani ikut campur saat papanya sedang marah. Papa Azki itu orangnya sangat suka bercanda, tapi saatnya harus tegas, ya dia tegas dan sangat sulit dibantah. Dan saat ini dia kelihatan benar - benar sedang marah. Dunia terasa seperti kiamat kecil bagi Dhevi saat itu. Ngobrol sambil tertawa ngakak, naik motor berdua dengan Rangga, nongkrong di kafe, dan sleep call yang sudah menjadi kebiasaan pacaran mereka selama beberapa bulan ini, harus segera disudahi. Celakanya, bukan hanya disudahi, mereka harus dipisahkan dengan jarak yang jauh, tentu saja keduanya merasa sangat hancur waktu itu. Sekarang, tatapan Dhevi melihat ke depan. Papanya sedang memberikan sambutan di panggung, sementara Rangga yang duduk satu deret di depan Dhevi, tampak tersenyum ketika namanya juga disebut oleh dr. Azki Mahendra, SpA, Papa Dhevi. Dhevi duduk di barisan kedua bersama kakak-kakaknya dan juga sepupunya. Dhevi menyadari ternyata, baik papa dan mamanya tidak ada yang mengenali Rangga yang sekarang. Semua tampak memberi hormat kepadanya, tidak ada caci maki lagi seperti dulu. Sementara Popa yang posisinya agak jauh dari Rangga, tentu saja tidak bisa melihat dengan jelas keberadaan Rangga, tidak jelas apakah Popa masih bisa mengenali Rangga atau tidak, apalagi dia sibuk ngobrol dengan eyang Nino, dan Aki Owie dan Juga Nini Priska. Acara belum selesai, tapi Dhevi sudah buru - buru meninggalkan lokasi dengan alasan ada janji zoom meeting dengan pihak panitia penyelenggara pameran busana perancang muda di New York, yang akan diikutinya awal tahun depan. Tidak ada yang sempat berpikir, sekarang jam sebelas malam di Amerika sana, panitia mana sih yang mau mengajaknya meeting? Tapi Dhevi hanya berusaha lari dari tempat acara itu, dia tidak siap bertemu Rangga sekarang. Rangga yang berseragam polisi itu tampak bersahaja dan berwibawa. Sementara dirinya? Rambut burgundy diikat tinggi dan setelan oversize warna khaki yang dipakainya membuat mereka terasa sangat berjarak. Tidak main-main, jaraknya seperti antara bumi dan bulan. Perlu pesawat ulang-alik untuk mencapainya. Padahal itu baru penampilan, bagaimana dengan isi kepala? Dhevi tidak yakin mereka bisa berada di frekuensi yang sama seperti dulu. *** Rangga memanjangkan lehernya mencari sosok unik yang sempat disapanya tadi. Rasanya hanya sekejap mata, Rangga sudah kehilangannya lagi. "Kemana sih dia?" gumam Rangga kesal. Seharusnya mudah mencari Dhevi di sini. Di antara seratus orang yang hadir dalam acara ini, rambut berwarna Dhevi akan lebih mudah terlihat, tapi tetap saja Rangga tidak menemukannya. "Mas Rangga, apa kabar?" Rangga menoleh. Ternyata Mauren, teman Bastian di dunia modeling. Bastian, adik Rangga satu-satunya, memang seorang fotografer, dan Mauren adalah salah satu model yang sering bekerja sama dengan Bastian. Rangga mengenal Mauren saat dia mengantarkan Bastian ke studio ketika dia ada waktu senggang dulu. Selain Mauren, dia mengenal beberapa model lainnya. "Kabar baik," jawab Rangga sambil menolehkan wajahnya ke tempat lain. "Mas Rangga lagi nyari seseorang?" "Hmm iya, maaf saya tinggal dulu ya," pamit Rangga seperti terburu - buru. Mauren yang tadinya ingin mengajaknya ngobrol, terpaksa kecewa dengan tanggapan Rangga. Rangga mencari toilet, siapa tahu dia bisa menemukan Dhevi di area sana, tapi tetap saja tidak ada. Rangga, yang kecewa karena tidak melihat Dhevi lagi, hanya bisa melangkah gontai menahan perasaannya. Ke mana dia bisa mencari Dhevi? Apakah dia menginap di Bandung, atau langsung kembali ke rumah Popanya di Jakarta? Apakah dia sekarang masih tinggal di sana? Kapan dia pulang dari Melbourne? Berita yang sempat beredar dan pernah Rangga dengar, konon katanya Dhevi pindah ke Melbourne, dan nomor ponselnya juga sudah tidak pernah aktif lagi sejak mereka berpisah malam itu, Dhevi langsung dibawa ke Bandung dan beberapa minggu kemudian terbang ke Melbourne. Sebenarnya cerita mereka tidak pernah dianggap benar-benar berakhir oleh Rangga. Hampir delapan tahun berlalu, tidak pernah ada kabar, tidak pernah berjumpa, bahkan dalam mimpi. Hanya ada foto - foto mereka berdua yang menjadi hiburan Rangga selama ini. Tapi saat tadi melihat mata itu lagi dan ketika Rangga menyebutkan namanya, hati Rangga masih bergetar, sama seperti dulu. Tapi kenapa Dhevi malah menghilang? Apakah dia tidak mengenalnya lagi? Padahal Rangga tidak merasa banyak berubah. Secara fisik, ya sedikit... usianya kan juga bertambah. Tapi hati? Tidak akan, dia masih Rangga yang dulu. "Kembali ke kantor, Dan?" tanya Sutrisno, anak buahnya yang hari ini mengemudikan mobilnya. "Ya," jawab Rangga yang matanya terus mencari gadis berambut burgundy itu ketika mobilnya perlahan meninggalkan halaman parkir Rumah Sakit Royal, Bandung. Rangga menghela napas kecewa. "Kamu kemana sih, Dek?" tanyanya dalam hati. Pandangan Rangga jauh ke depan, tapi pikirannya hanya tertuju kepada si rambut burgundy yang masih menduduki tahta tertinggi di hatinya dan tidak pernah ada yang bisa menggantikannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN