Haikal tanpa sadar terus melirik jam besar yang terletak di atas mimbar. Jarum jam terasa bergerak lambat bagi Haikal, yang terus melihat setiap dua menit sekali.
Tidak ada janji atau sesuatu yang Haikal tunggu, alasan ia terus melihat ke arah jam, lagi-lagi karena tubuhnya terasa tidak enak. Haikal ingin cepat-cepat beristirahat.
“Ustadz ....”
“Iya?” Haikal refleks mengalihkan pandangnya. Haikal terlalu fokus pada jam hingga tidak menyadari santri putra, bahkan ada juga beberapa santri putri juga—mengerumuni Haikal membentuk seperti lingkaran.
“Eh, kalian kenapa pada maju semua?” bingung Haikal.
“Ststtsstts...” kata mereka serempak, meletakkan satu jari di depan bibir mereka.
“Ada apa?” bingung Haikal yang refleks mengecilkan suaranya.
“Itu ustadz,” kata mereka serempak, mengarahkan kepala Haikal untuk menyoroti arah yang mereka tunjukan dengan tangan mungil mereka.
Mereka menunjuk Fatiah yang nampak mengusap pelan matanya.
“Iya terus kenapa? “ Haikal masih bingung akan kondisi yang ada.
“Ustadzah Fatiah nangis,” kata mereka berbisik.
Haikal refleks kembali menoleh. Namun aksinya kali ini tidak berjalan dengan mulus. Haikal tertangkap basah, Fatiah juga menoleh. Tatapan mereka bertemu tanpa sengaja, Haikal baru menyadari mata Fatiah sedikit merah, khas orang yang habis menangis, dan ya, jangan lupakan riak yang masih tertinggal di sudut mata gadis itu.
Fatiah berkedip kaget—selain ia tidak pernah bertatapan dengan pria, mungkin juga karena dia juga merasa tertangkap basah tengah menangis. Haikal buru-buru membuang wajah, hal serupa juga Fatiah lakukan. Rasa canggung mengudara di antar keduanya, meski hanya persekian detik.
Diam-diam, dengan gerakan cepat Fatiah langsung mengusap air matanya. Sedangkan Haikal terus mencoba untuk terlihat biasa-biasa saja, meski di hatinya terasa tidak nyaman.
Ya Allah, gak maksud mau mandang tadi cuman gak sengaja. Ampunin mata hamba ya Allah—batin Haikal.
Dan tanpa mereka sadari, hal serupa juga Fatiah lirihkan dalam hatinya.
“Kenapa pake acara nangis sih? Mana ketahuan nangis lagi,” gumam Fatiah, merasa malu akan kejadian yang terjadi sangat cepat itu. Ya Rabb, boleh gak sih doain orang amnesi ? Lupa yang bagi ngiliat itu aja. Serius ya Allah, hamba malu.
“Ustadz kenapa Ustadzah Fatiah nangis?” Tangan mungil menarik ujung baju koko Haikal, membuat Haikal menoleh dengan wajah bingung.
“Tadi ustadzah lagi ngajar aku ngaji, tiba-tiba Ustadzah nangis. Apa ustadzah nangis karena aku gak lancar ngaji? Apa besok ustadzah gak mau ngajari aku lagi Ustadz?“ tanya gadis kecil itu, sudut bibirnya mengerucut sedih.
Haika menggeleng pelan, menampilkan senyum terbaiknya. “Ustadzah mungkin tadi kelilipan aja. Jangan sedih ya, sekarang balik ke tempat duduknya masing-masing.”
Sebenarnya dibenak Haikal masih tersengal pertanyaan, kenapa dia menangis? Pertanyaan itu seperti menuntut Haikal untuk mencari tahu. Haikal jelas penasaran dan refleks kepala Haikal menoleh ke arah tempat biasanya Fatiah duduk. Dan bertepatan dengan itu, Fatiah bangkit.
Fatiah berjalan dengan cepat menuju arena wudu wanita, pandangan matanya konsisten menatap ubin, bahunya sedikit bergetar dan tangannya sibuk terus menyekat sesuatu di sudut matanya.
Fatiah menangis lagi.
Sebagai, ya, bisa dibilang rekan kerja, apa yang mesti Haikal lakukan? Bertanya mengenai kenapa Fatiah menangis? Atau lebih baik dia pura-pura tidak tahu?
Haikal memilih opsi kedua. Fatiah sudah berusaha keras menyembunyikan air matanya. Haikal harus menghargai itu. Haikal tidak bisa melakukan apa pun untuk meredam tangisnya, setidaknya Haikal bisa tidak menjadi alasan tangisnya makin menjadi karena malu.
Terkadang bungkam memang diperlukan, karena tidak selamanya kata-kata bisa menenangkan. Ada kalanya diam tanpa kata-kata, cara terbaik untuk menenangkan hati yang bersedih.
“Bu mustahil, kan, ada orang nangis tiba-tiba ?”
“Iya. Memangnya kenapa? “
“Tadi Haikal liat cewek di halte bus way, dia awalnya senyum-senyum main ponsel, tapi pas di menit berikutnya dia tiba-tiba nangis. Aneh banget, kan, Bu.”
Ita tersenyum simpul. “Itu gak aneh. Kamu aja gak ngerti gimana perasaan dan hati cewek. Hati cewek itu unik. Bisa selembut sutra, tapi bisa juga setangguh besi. Jadi jangan heran kalo ada cewek tiba-tiba nangis, mungkin saja hatinya memang sedang bersedih, namun ia terlalu kuat untuk terlihat lemah.”
Tidak lama Fatiah kembali. Terlihat wajahnya basah.
Haikal berdeham pelan. Dia tidak tahu Fatiah menangis karena apa, tapi Haikal tahu, meskipun ia bertanya dia tidak akan memahami luka apa yang Fatiah rasakan.
**
“Iah, baru pulang? “sapa Gina saat Fatiah baru saja pulang mengajar.
Fatiah mengangguk sembari tersenyum tipis.
“Ih, Lo masih marah ya sama gue. Gara-gara bajak hp Lo. Maaf ya.”
“Eh, gak kok. Masalah kemarin, gak pa-pa kok.” Fatiah kembali berusaha tersenyum. “Gin, aku duluan ya, mau ke kamar.”
“Eh, Iah, nanti bilangi anak kamar kamu ya, di suruh siap-siap. Biasa habis magrib ada kajian rutin di rumah donatur. Ini pesan Ustadzah tadi.”
“Iya. Nanti aku ngomongi.”
“Sip. Makasih ya.”
“Iya.”
Sesampainya di kamar Fatiah menyampaikan pesan Gina pada semuanya.
“Duh malas banget, pulangnya malam. Kan ngantuk,” kata Billa.
Fatiah yang sebenarnya juga tidak merasa baik, rasanya tidak ingin datang ke sana. Ia ingin tidur dan istirahat di kamar saja.
“Aku mau izin aja boleh gak ya?” kata Billa lagi.
“Emang boleh Bill? Aku juga gak mau ikut,” sahut Fatiah. “Rasanya capek banget, pengen istirahat.”
“Iya, ih.” Billa mengangguk setuju. “Tapi pasti gak dibolehin ustadzah.”
“Hem, padahal ini bukan rutinitas wajib, kan.”
“Nah itu. Cuman ya, inikan acara pak donatur. Gak enak sih kalo gak datang. Mana banyak anak yang bolos lagi.”
“Iya, juga. Beliau udah ngadain kajian, kita tinggal datang aja banyak protes,” gumam Fatiah yang disambut tawa keduanya.
“Ya udahlah ya, di sana juga enak, dapat ilmu plus ada makanan juga. Lumayan makan enak,” tambah Billa, antara pasrah dan senang.
Tiba-tiba ponsel Fatiah berdering. Ada panggilan video.
“Iah, aku duluan aja ya mandinya?” tanya Lail.
“Iya, duluan aja Lail.”
Fatiah mengatakan kalimat itu, sembari berjalan menuju teras. Ia tidak enak jika menelepon di kamar.
“Assalamualaikum...”
Hal pertama yang Fatiah liat, eyangnya dengan mata tertutup, di sekitar tubuhnya ada banyak alat yang terpasang.
Deg!
Hati Fatiah berdesir hebat. Ketakutan terburuk melayang terbang bebas dari benak Fatiah.
“Bi, gimana keadaan eyang? Eyang baik-baik aja, kan? “Fatiah mencoba menenangkan segala getar, khawatir, cemas pada suaranya. Fatiah mencoba bertahan untuk tidak terisak di depan ponsel.
Luka seperti apa yang dia rasakan? Ketidak berdaya. Itu luka yang amat mencekik Fatiah. Ia ingin menjerit, namun suaranya terlalu kecil. Ia ingin menangis, tapi tiada kuasa menumpahkan semua tangis di saat ia tengah berada pada posisi paling menyedihkan ini. Hatinya gelisah, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.
“Iah, ikhlasin eyang ya.”
Sebuah kalimat yang amat sangat mengguncang kegetiran dalam hati Fatiah. Kalimat yang selama ini sangat Fatiah takuti, kini terlontar dari Bi Kasih yang sudah tak kuasa membendung tangis di wajahnya.
Bi Kasih berlinangan air mata. Fatiah terus memandang sudut layar ponselnya, terpaku pada wanita yang sangat ia sayangi, kini hanya diam bergeming dengan banyak alat yang sudah terpasang.
“Kenapa bisa gini, Bi? Tadi sore eyang baik-baik aja, kan?” Fatiah berusaha terus berpikir positif.
“Iya, dan setelah teleponan sama kamu, eyang haus, dia minum banyak air dan tiba-tiba sesak nafas. Makanya eyang yang terpampang di bawa ke rumah sakit. Sekarang eyang kritis.”
Fatiah terdiam, rasa-rasanya, tubuhnya seperti kehilangan jiwa. Ia seolah di pukul dengan godam yang amat keras, hingga membuat pikirannya melayang jauh meninggalkan tubuh Fatiah yang sekarang membeku.
Hatinya terus menolak, tapi otaknya terus memaksa menerima semua ini.
“Semua orang sudah berkumpul di sini, ada Papa, mama dan kakak kamu juga.”
Fatiah tidak bergeming.
“Fatiah, ikhlasin eyang ya. Apa pun yang terbaik buat eyang,” suara tangis bi Kasih makin pilu begitu Fatiah cernah dalam telinganya.
Fatiah bahkan tidak bisa merespon apa pun sampai akhirnya panggil di matikan. Suaranya parau, nyaris hilang.
Fatiah terasa seperti mengambang dalam dimesi lain. Ia tidak mampu mendengar suara nyaring Lail yang memberi tahu dia telah selesai mandi, terasa bias di telinga Fatiah. Dorongan pelan tangan Billa yang berusaha memberi tahu Fatiah untuk siap-siap ke kajian. Sama sekali tidak Fatiah terasa. Seolah yang Billa sentuh bukan lengannya tapi hanya sebongkah kayu yang hampir patah. Sangat lemah.
“Iah, buruan siap-siap. Gak usah mandi juga gak papa. Kamu kan udah mandi juga pas berangkat ngajar tadi,” kata Billa, yang sama sekali tidak menyadari bahwa Fatiah tengah melamun.
“Eh, buruan guys, kita di suruh salat magrib di rumah beliau juga. Jadi sebelum magrib Udah harus pergi,” seru Rani.
“Fatiah, buruan siap-siap!”
Apa sekarang waktunya? Apa boleh sekarang ia menangis? Apa semua orang akan mengerti? Tapi d**a ini terasa sesak. Sangat sempit.
“Fatiah buruan siap-siap, ih kamu, mah. Ustadzah udah manggilin tuh dari tadi,” seru Rani.
“Yuk, Fatiah pergi,” tambah Billa.
“Gak usah mandi lagi, Iah. Biar kita samaan.” Lingsi tersenyum lebar. Sayang, Fatiah tidak mampu membalasnya sekarang.
Ya Rabb, tiadalah orang yang menghapus air mata hamba. Tiada orang yang tahu bagaimana hati hamba. Ya Rabb, cukupkan Engkau dalam hati hamba, hingga hamba, tidak perlu telinga, tidak perlu mulut orang lain untuk membagi duka ini. Cukuplah Engkau. Ya, hanya Engkau.
**