“WOI! “
“Astagfirullah!” Haikal spontan menjauhkan speaker ponselnya dari arena telinganya. Suara Dzawin di seberang sana, berhasil memekakan telinga Haikal sampai berdenging.
Setelah di rasa aman, Haikal baru kembali mendekatkan telinganya ke speaker.
“Lo gila ya! Nelepon orang tuh, assalamualaikum kek. Ini malah teriak-teriak! Dikira gak sakit telinga gue,” cercah Haikal tajam, namun manusia di seberang sana tidak akan terpengaruh. Haikal rasa Dzawin sudah meng-uninstal rasa tersinggung dari dirinya. Terbukti, di seberang sana Dzawin malah terbahak bersama si kembaran yang juga sama-sama receh.
“Gue tuh cuman mau tanya, gimana pilek Lo? Udah sembuh?” tanya Dzawan setelah selesai dengan tawanya.
“Hem, iya ya, gue hampir lupa kalo gue tadi pilek.” Haikal manggut-manggut, tidak habis pikir pada tingkatnya sendiri.
“Gimana sih Lo! “desis Dzawin. “Labil banget, jadi Lo sakit apa gak nih? “
“Emangnya kenapa kalo gue sakit? Atau kalo gue gak sakit? Kok gue mencium aroma-aroma kebusukan di sini,” sindir Haikal tajam. Seperti tadi, kedua manusia itu hanya tertawa.
“Lo lupa gosok gigi kali, makanya hidung Lo cium aroma busuk. Makanya jaga tuh mulut,” kata Dzawin.
“Enak aja mulut Lo. Gue selalu jaga kebersihan mulut gue. Sebelum tidur gue always gosok gigi. Gue gosok gigi tiga kali sehari. Emangnya kalian berdua....”
“Idih itu gosok gigi apa minum obat, pake acara tiga kali sehari.”
“Udah to the poin aja, jawab pertanyaan gue tadi! “
“Yah, sebenarnya, karena gue, eh, kita berdua, sangat... sangat... sangat peduli pada sahabat kami yaitu Lo. Makanya kita dengan senang hati membuka jasa titip surat sakit buat Lo,” kata Dzawan enteng.
“Iya Lo gak perlu takut, layanan kita ini meski masih kecil-kecilan tapi akrebilitasnya terjamin 99 persen. Kita dijamin amanah. Surat Lo bakal sampai ke kelas dengan selamat sentosa no drama-drama alay.”
“Rulenya cukup mudah. Lo cuman tinggal buat surat dengan jujur, plus ada tanda tangan ayah Lo. Ingat ya, tanda tangan bokap Lo gak boleh dimanipulasi, karena itu bisa dosa dan secara hukum ilegal. Cukup mudah, kan? Lo pasti tertarik, kan? Iya, kan? Ah udah gue duga itu mah. Jadi mau jam berapa nih kita ambil suratnya ? Kalo bisa mah jangan pagi-pagi bet ya, motor kita suka manja kalo lagi pagi. Mungkin bawaan ngantuk makanya begitu.”
Haikal menghela nafas panjang. Inilah hal konyol yang akan keduanya lakukan jika otaknya sedang konslet. Dan ajaibnya mereka sangat kompak dalam hal kegersekan semacam ini. Amazing. Sangat kompak. Cocok diacungi jempol.
Yap, jempol kaki pastinya.
“Udah maen-maennya? Boleh gue undur diri? Gue mau tidur nih. Badan gue capek banget, gue mau tidur cepat.”
“Idih yang sibuk, susah uii diajak main. Bawannya serius muluk udah kayak guru matematika,” sindir Dzawin, tengil.
“Udah ya gue matiin.”
“Eh, tunggu dulu...”cegat Dzawin cepat, lebih cepat dari gerakan jari Haikal yang hendak menekan tombol merah.
“Apa lagi ? Gue kasih waktu dua menit. Satu, dua, tiga...’
“Eh..eh, tunggu, jadi Lo udah sehat? Gak pilek lagi?” tanya Dzawin panik, lantaran Haikal terus menghitung.
“Gak lagi alhamdulillah. Pilek gue udah sembuh.”
“Eh, kok bisa pilek Lo sembuhnya cepat, eh ko—
“Waktunya udah habis. Dah. Assalamualaikum.”
“Eh, eh jadi gimana nih? Lo sakit apa g—“
Haikal mematikan panggilan sepihak dengan kejam tanpa peduli suara Dzawin yang masih mengantung di udara.
“Dasar gak jelas.” Haikal menggeleng-geleng tidak habis pikir.
Haikal selalu berpikir, bahwa dia punya standar tinggi dalam memilih teman. Makanya selama ini, dia jarang sekali memiliki banyak teman. Tapi setelah melihat Dzawan dan Dzawin sepertinya bukan standar pertemanannya yang terlalu tinggi, tapi sebaliknya. Standar pertemanan Haikal terlalu rendah, hingga tidak banyak orang bisa menjangkaunya. Hanya Dzawan dan Dzawin yang bisa menjangkau standar Haikal, karena mereka sama. Yap. Haikal juga sama konyolnya dengan dua kembar itu, bagaimana Haikal bisa lupa hal itu.
Haikal refleks terkekeh. “Gue harus syukur atau sedih sih, punya teman kayak mereka?”
“Aneh-aneh aja, jasa penitipan surat. Dasar gak jelas.” Haikal menggeleng-geleng pelan.
“Udah, ah, gue mau tidur.” Haikal merebahkan tubuhnya di kasur, meraih selimut berniat untuk tidur.
Namun yang terjadi, saat Haikal menutup wajahnya dengan selimut, selintas bayangan Fatiah seolah tampil di depan matanya. Haikal tersentak kaget, posisinya mendadak sudah berubah menjadi duduk dengan rasa hati tidak nyaman.
“Mungkinkah, ini pertanda...” Haikal menjeda kalimatnya, setelahnya dia manggut-manggut serius. “Yah, benar. Ini pertanda haus. Gara-gara tuh duo kembar, jadi lupa minum, dehidrasi ini. Padahal tarikan mau minum.”
Haikal beranjak turun dari kasurnya. Otaknya sudah membuat ritme apa yang akan Haikal lakukan. Pertama mengambil air dingin di kulkas. Kedua, minum dengan cangkir panjang milik ayah sembari bengong menikmati kesegaran air putih, setelahnya kembali ke kamar dan tidur.
Semua berjalan mulus, sebagaimana yang Haikal susun barusan, jika saja kepalanya tidak lancang melakukan uji kekuatan dengan ranjang kasur.
Haikal mengusap kepalanya yang ternyata gagal menang dan malah mengerutu nyeri, lantas agar tidak mau terjadi kesenjangan, Haikal juga mengusap wajahnya, meski wajahnya tidak berkontrubusi apa pun. Hingga dia menyadari bahwa lagi-lagi hidungnya mengeluarkan ingus
“Lah, pilek lagi? Ini pilek apa musim sih? Kok datangnya mendadak. Tadi pilek, terus gak, eh, sekarang pilek lagi. Ada apa dengan pilek? Gak konsisten nih pilek. Masih remaja keknya.”
Tidak mau ambil pusing. Haikal membuang ingus dari hidungnya dan kembali merebahkan tubuh di kasur, sesuai ritme yang tersusun di kepalanya. Sempurna. Namun dalam kelapnya, Haikal bertanya-tanya kenapa setiap melihat atau mengingat gadis itu, ia tiba-tiba mengalami pilek? Apa ini kebetulan atau.....
**
“Tapi eyang sakit.” Fatiah meremas baju jarinya, membentuk kepalan keras, tanpa sadar gadis itu menaikkan oktaf suaranya, membuat si penerima sambungan panggilan di seberang sana, memekik marah akan intonasi suara Fatiah.
“Eyang sakit. Eyang cuman butuh kita...”kata Fatiah mengiba.
“Gak bisa? “
“Apa perkerjaan itu lebih penting ketimbang eyang? “
“Sekali ini aja tolong—“
Panggilan telepon di matikan. Fatiah menatap nanar benda mungil di genggaman tangannya, masih tidak percaya untuk apa yang barusan terjadi. Hatinya mencolos lirih, begitu menyadari bahwa semua ini memang terjadi.
Buru-buru Fatiah melangkah lebar, ada sesuatu yang sudah memenuhi kelopak matanya. Gadis berusia 17 tahun itu, kini sibuk mencari sendal jepit biru yang tidak kunjung ia dapatkan di antara kumpulan sendal yang berserakan.
“Iah, mau ke mana?” cegat Gina yang kebetulan berada di depan gerbang asrama.
“Hem, itu.” Fatiah bersikeras menahan gejolak di matanya. “Keluar bentar.”
“Ke mana?” cecar Gina. “Beli cilok?”
Fatiah menggeleng pelan. Ia mulai tidak kuasa menahan air matanya untuk turun, mungkin jika Gina sadar, Gina akan melihat mata Fatiah yang mulai berkaca-kaca.
“G-gak, cuman mau ke depan,” kata Fatiah susah payah.
“Yah...gue padahal mau nitip cilok. Gak sekalian mau ke depan? “
Fatiah kembali menggeleng, kali ini ia juga cepat-cepat membalik tubuhnya, membelakangi Gina. “Udah ya Gin, aku mau pergi dulu,” kata Fatiah cepat.
Tujuan Fatiah hanya satu. Datang ke sana satu rumah Allah. Yap masjid. Fatiah tidak bisa meminta bantuan pada siapa pun, kecuali pada Allah. Fatiah ingin memelas, memohon, menciba pada Rabb nya, agar eyangnya kembali seperti dulu lagi. Kembali sehat, kembali mampu tersenyum dan tidur di sampingnya. Hanya itu Fatiah inginkan. Hanya itu.
Fatiah berdiri tegak dengan wajah basah bekas wudu yang baru di ambilnya dua menit lalu di masjid megah bernuansa hijau muda. Fatiah berdiri di shaf paling pojok masjid, merintih, menangis, memohon pada sang kuasa untuk mendengarkan permintaan pilunya.
Fatiah hanya ingin wanita yang ia sayangi segera pulih, membayangkan eyangnya tertidur lelap dengan nafas yang terus menggerus lambat bak mayat hidup, membuat hati Fatiah teriris-iris. Bendungan air mata yang biasanya mampu ia kendalikan, kini hilang tak berkendali. Fatiah hanya bisa meringgis, menahan sesak dan sulit nafas yang diakibatkan tangis itu. Ia juga hanya bisa bersuara lirih melantunkan dzikir-dzikir mengagungkan sang maha kuasa.
“Ya Rabb, jika kesembuhan adalah yang terbaik baginya, maka sembuhkanlah. Dan ya Rabb, sungguh hamba tidak sanggup mendoakan ketiadaan meski hal itu baik untuknya. Sungguh hati hamba tidak sekuat batu yang Engkau ciptakan. Sungguh ya Rabb, hamba manusia yang sering kali takut akan kehilangan. Bukan hamba tidak percaya akan takdir indah-Mu, hanya saja hamba sangat takut, takut, untuk merasakan rasa sedih itu. Ya Rabb, ampuni hamba atas kerapuaan hamba ini. Hamba ingin kesembuhan untuk eyang hamba. Hamba mohon ya Rabb....
Siang itu menjadi siang paling hangat, namun juga paling pilu bagi hati-hati yang merintih. Dalam naungan atap masjid, menjadi saksi betapa Fatiah sangat berharap bahwa kesembuhan lekas datang membawa berita indah untuknya. Sungguh, Fatiah sangat berharap semua itu terjadi, meski hanya setitik hujan.
.
.