Chapter | 2.2

1326 Kata
     Sebuah ruangan sederhana, berbagai macam lukisan ilusi dan... Satu gambar potret kenangan upacara pernikahan membuat Nessa tak menghiraukan tatapan mata para mahasiswa lain, ia hanya tersenyum kecil memadai tatapan enggan membalas keramahannya.      Di depan pintu gerbang kampus, Nessa meraih ponsel didalam tas jinjing dan ia terkejut dengan badan mobil yang terhenti tepat di depannya. Tubuh tegap dengan setelan jas hitam membuka handle dan menuju keberadaan jarak satu pintu kedua, ia membuka pintu dan menundukkan kepala,      "Silahkan nona!" Nessa terdiam memperhatikan wajah yang tak ia kenali.      "Saya Phillipe Paul Scholes, panggil aku Paul!" Nessa mengangguk pelan mengingat ucapan Gerald akan supir atau entah apa maksud pria monster itu.      Nessa menatap bangunan yang masih membayangi penglihatan berupa foto milik Ariana, ia hanya merebahkan punggung pada jok mobil sport. Mengedarkan pandangannya tak menemukan akar kepastian di pusat jalanan kota London.      Senyumnya merekah dengan membuka tingkap pintu mobil, membiarkan angin menerpa mata dan rambut panjangnya. Nessa menatap lekat langit kebiruan menegaskan cerahnya hari ini dan ia terpukau dengan bangunan menara terdapat jam besar. Wujud lonceng terletak di wilayah Utara istana Westminster itu membuat Nessa berteriak,      "Itu Big Ben?" Nessa menoleh kearah Paul.      "Ya nona, itu Big Ben. Aku akan mengajak Anda jalan-jalan di kota London." Paul memutar arah ban dan menuju lokasi mengarah pada inti pemandangan jam besar kebanggaan kota London.      "Mengagumkan tapi mengerikan, seperti pria monster itu." Nessa merebahkan kepala pada tumpuan tangan pada batas tingkap mobil.      "Anda berbicara sesuatu nona?" Paul menajamkan telinga untuk mendengar cakap lirih Nessa.      "Tidak!" Nessa meneliti tiap detak jarum jam raksasa.      Jejak roda empat mendekati sebuah bangunan terdesain khusus yang menjadi icon di negara Inggris itu begitu nyata. Menjulang, elegan dan megah. Jam raksasa yang memiliki dua nama lain Santo Stevanus atau menara Elizabeth itu membuat Nessa berlomba menetapkan matanya.      Usia hingga lima belas dekade menara Big Ben itu menerapkan pola pikir Nessa yang sedikit terhibur, ia meraih handle pintu mobil. Berlari kecil menuju tempat paling menonjol di kota London. Namun entah apa yang menjadi bagian besar keinginan dan hidupnya terasa sial ketika Nessa melihat nama Gerald terpampang jelas di layar ponselnya.      Monster ini benar-benar membuatku semakin gila! k*****t kau Gerald. Nessa memaksakan kehendak dan menahan diri dari segala bentuk keanggunan kota London,      "Sudah waktunya kembali, Honey! Jika kau terlambat beberapa detik saja, aku..."      "Aku akan kembali secepatnya!" Nessa merasakan kengerian jurang yang siap menelannya bulat-bulat.      Sedikit menjerit kecil dengan kepalan tangan depan layar ponsel ketika Gerald mematikan sambungan nirkabel, Nessa berlari secepat mungkin menuju tempat Paul.      Melebihi ancaman bom bahkan teror seorang psikopat, Nessa membuka pintu mobil dengan kecepatan yang tak terhingga,      "Pulang sekarang juga, Paul! Jangan sampai terlambat!" Paul tergesa mendengar ucapan Nessa.      Dengan ketepatan tenaga mesin mobil bak ratusan kuda itu melaju kencang dengan kecepatan tinggi. Menyingkirkan tiap penghalang di jalanan untuk menuju sangkar mewah milik Gerald. [...]      Entah ia tak memiliki akal sehat ketika telah mendengar ucapan lantang bak halilintar menyambar, akan mematuhi peraturan diatas aturan yang Gerald tetapkan untuk Nessa. Tak ada bantahan ataupun bersilat lidah mengenai alasan dan Nessa telah terjerat dalam lubang ruang yang gemerlap milik Gerald hampir satu bulan ini.      Nessa terengah-engah menyadarkan diri dengan raupan udara ketika melihat bentuk tinggi besar menyerupai monster itu tengah duduk santai. Ia mendatangi keberadaan Gerald merentangkan kedua tangan pada badan sofa ruang tengah, mengangkat satu kaki dan menatapnya tajam,      "A...ku tidak terlambat sedetikpun!" Nessa tertunduk sembari menduduki posisi tepat di depan Gerald.      "Siapa yang menyuruhmu untuk duduk di sana?" Nessa memberhentikan pangkal paha yang hampir menyentuh dasar sofa berbulu.      "Come on Honey!" b*****h! Nessa menelan ludah ketika Gerald menggerakkan satu jari telunjuk sebagai kode etika pemahaman Nessa. Datang dan duduk di atas pangkuan pria monster mengerikan.      Nessa tertegun sejenak merasakan keraguan beserta rasa malu ketika menatap wajah Paul yang berdiri, 'laki-laki ini sakit jiwa apa? Sialan kamu Ford!' Nessa geram akan tatapan indah yang sangat kotor.      Nessa tak memperdulikan tiap pendapat yang akan tertelan dalam batin Paul, dan kini peran wanita penghibur telah menetap pada diri Nessa. Ia bergidik ngeri ketika Gerald meraih kedua dadanya, menghembuskan nafas pada tengkuk leher dan sedikit menggigit daun telinga,      "Masih ingat dengan kesalahanmu hm?" Lagi, Nessa melirik wajah Paul yang terdiam tanpa melihat adegan gila Gerald.      "Kedua kakakmu..."      "Ya, aku ingat! Ma....afkan aku t... Tuan!" Gerald meremasi kedua buah d**a Nessa.      "Tuan? Panggil aku Gerald, Honey!" Sungguh sialan! Tubuh kecil dari seorang bocah yang mampu membuat Gerald terkapar. Dan tentunya menggila.      "Katakan apa yang kau mau tuan... E...mmm, Ge...rald." Nessa merasakan hidung mancung itu menyentuh kulit lehernya.      "Pertanyaan bagus istri kecilku! Dan kau sudah tahu jawabannya sayang." Nafas Nessa memburu! Udara yang terhirup seakan menggiring konsentrasi merasakan sentuhan. Gerald mengibaskan satu tangannya dan membuat Paul berlalu dengan cepat.      "A...pa Anda akan membebaskan kedua kakakku?" Suara melemah diatas pangkuannya mampu menguasai pikiran Gerald.      Pria berusia tiga puluh delapan tahun itu tertawa lirih di telinga Nessa, menelusup kan tangan kedalam kaos tipis gadis cantik miliknya. Meremas bentuk kenyal itu dengan seksama, "tergantung teriakan keras mu malam ini, Honey!" Gerald tersenyum kecil ketika Nessa mulai menggeliat.      Tanpa nada atau petunjuk! Gerald melepaskan blazer wanita yang terkenakan oleh Nessa, membelai kemolekan serta d**a yang telah terlepas dari cengkeraman ikatan bra. [...]      Nessa terus menjauh dan setia pada tatapan di belakangnya, memasang waspada jika mengenai benda yang menjadikan tragedi. Ia mengisi wajah cantiknya dengan banyak air mata, menutup bagian d**a dan tubuh lain yang terlihat. Kain satin mewah yang Gerald beri, berwarna merah muda mengkilat kan gemuruh akan gairah tak dapat dibendung sengaja menghampiri dengan jejak pelan. Semakin dekat dan terus memperhatikan belahan d**a yang terekspos cahaya matanya. Gerald mengangkat satu bibir ketika Nessa tersudut pada dinding. Menolak pesanan hasrat seksual yang berkobar,      "Jangan membuatku berbuat sesuatu di luar nalar, Honey! Turuti kemauan suamimu ini dan nikmati malam kita little wife." Gerald sengaja menjaga jaraknya sedikit jauh, mengulurkan tangan untuk istri kecilnya.      "Aku tidak mau, a...aku tidak mau..."      "Tidak mau menolak ku hm? Ayolah, kemari sayang." Gerald melepaskan ikat tali pinggangnya, sedikit membelit kan di telapak tangan.      Nessa tersedu ketika mata biru berkelas itu berbinar melihat keseksian dengan kain tipis transparan, "jangan! Aku mohon padamu tuan Gerald." Nessa menutup bagian wanitanya, meski tak mencakup seluruh keseksian namun Nessa berusaha sekuat mungkin melindungi diri.      "One!" Nessa terisak ketika Gerald memukul dasar lantai dengan ikat pinggangnya.      "Two!" Lagi, Nessa beringsut menengadah menatap wajah tampan Gerald.      Gerald mengeratkan gigi menunjukkan betapa tegasnya dagu yang menahan amarah, "ampuni aku tuan, aku tidak ingin me... Melakukannya. A...aku tidak mau mengandung anak mu." Nessa tak berani menatap mata menyesatkan.      Kata tiga yang hendak dicapainya terhenti, Gerald menatap ke bawah pada tundukkan kepala yang terisak. Entah kemana rasa pertahanan itu sirna seketika, Gerald membuang benda panjang pipih terbuat dari kulit. Dengan langkah cepat Gerald menuju nakas terdapat kotak kecil di dalamnya, menarik cepat dan ia mengambil satu botol vodka. Tanpa basa-basi dengan kemalasan, Gerald meraih camcorder dan menyalakan tombol on untuk mulai merekam. Seringai mengadili perkara yang membingkai keinginan, Gerald membuka penutup botol kaca berukuran sedang kemudian menenggak isi hingga separuh, menyisakan satu tegukan tanpa menelan.      Dengan meletakkan kamera video, Gerald menoleh tubuh yang tak memperhatikan. Tercipta langkah cepat ia mendatangi keberadaan Nessa, merengkuh bahu yang seketika menyingkirkan wajahnya. Tidak! Gerald tak pernah gagal dengan triknya, meski tubuh itu lepas dan berlari ia berjuang menghampiri.      Kecepatan langkah Nessa tak sebanding dengan jejak lebar dalam menciptakan jarak, kini Nessa kembali meronta namun kedua tangannya terjerat. Dan kini ia menatap wajah tampan yang menyeramkan, sedikit menghindar namun sia-sia dan Gerald membuka mulutnya dengan satu tangan menguasai seluruh tubuh. Nessa terbelalak ketika merasakan sesuatu yang masuk kedalam rongga mulut saat Gerald menciumnya, ia tak menelan cairan tanpa mengetahui manfaatnya tapi udara di tenggorokan seakan menipis dan membuat tersengal. Akhir dari segalanya telah terlampaui dan Nessa menelan habis cairan berkadar alkohol yang Gerald berikan,      "Kau telah memaksaku untuk berbuat seperti ini, Honey! Kau akan tahu bagaimana rasanya bercinta denganku." Nessa terbatuk hingga menitikkan air mata, ia tak dapat mengeluarkan isi yang telah masuk seutuhnya kedalam lambung.      "Apa yang kau lakukan?" Nessa membentak, menahan diri ketika kepalanya terasa aneh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN