Lyra berdiri di depan pintu apartemen milik Atlas. Berkali-kali gadis itu meneliti sekitar siapa tahu ada sosok lelaki yang sejak satu jam yang lalu sudah ia tunggu dengan pintu penuh kesabaran. Lyra memilih untuk berjongkok karena kakinya terasa pegal.
“Lo ngapain di sini?”
Suara itu membuat suasana hati Lyra membiak seratus delapan puluh derajat. Gadis itu berdiri untuk menyambut kedatangan lelaki yang sejak tadi dia tunggu.
“Atlas kemana aja? Dari tadi Lyra nungguin loh,” ujarnya, dengan wajah yang memelas.
“Bukan urusan lo.” Lalu Atas melewati Lyra begitu saja. Lelaki itu memasuki apartemennya tanpa memperdulikan Lyra yang lelah telah menunggunya sejak tadi. Bukan salah Atlas, gadis itu sendiri yang menginginkan hal itu.
“Atlas, kenapa Lyra ditinggal?” secepat kilat gadis itu menyurul Atlas masuk ke dalam kamar apartemen. Lyra tersebum bahagia saat bisa kembali menghirup aroma Atlas yang tertempel di ruangan itu.
“Atlas, Lyra laper.” Lyra memancarkan tatapan memelas sembari mengusa perutnya yang sedari tadi keroncongan.
“Terus, apa urusannya sama gue?” tanya Atlas, terdengar cuek dan tidak peduli.
“Masakin Lyra sesuatu dong, Atlas kan tau Lyra takut sama kompor gas.”
Seketika Atlas terdiam untuk beberapa saat. Entah mengapa kalimat itu tidak asing di telinganya, tetapi Atlas tidak mempedulikan itu. Lelaki itu memlilih untuk masuk ke dalam kamar mandi guna membersihkan tubuhnya.
Selama Atlas berada di dalam kamar mandi, dengan sabar Lyra menunggu lelaki itu. Ke dua matanya mengedar ke seluruh penjuru ruangan yang ada. Terlihat sangat berantakan sekali, rasanya tangan Iva gatal ingin membereskan kamar itu. Namun, saat Lyra hendak merapihkan tempat tidur Atlas, gadis itu dikejutkan dengan suara yang tidak asing di telinganya.
“Mau ngapain lo?”
Lyra menoleh melemparkan tatapan polosnya. “Lyra lagi beresin kamar Atlas, soalnya berantakan banget,” jelas Lyra.
“Nggak perlu! Sebaiknya lo pergi aja dari sini lama-lama gue eneng liat muka lo.”
Lyra memanyunkan bibirnya saat mendengar kalimat pengusiran dirinya yang keluar dari mulut Atlas. Terdengar kejam memang, tetapi ucapan Atalas tidak pernah dia masukkan ke dalam hati.
“Kalau Lyra nggak mau gimana? Pokoknya Lyra laper, pengen makan.”
Lyra kembali merengek dan Atlas paling membenci gadis yang suka sekali merengek kepadanya.
“Kalo laper kenapa ke unit gue? Laper tinggal makan emangnya gue emak lo apa yang setiap kali lo merengek minta makan langsung dimasakin!”
Lyra berdecak kesal. Gadis itu mengekor di belakang Atlas saat lelaki itu berjalan kearah lemari pendingin. Bisa dikatakan Lyra adalah sosok gadis yang bandal. Buktinya setiap ucapan Atlas yang menyakitkan bagi orang lain, tetapi dianggap biasa oleh Lyra.
“Apaan sih?!” protes Atlas, saat Lyra mengambil alih minuman bersoda yang dia ambil dari dalam lemari.
“Haus,” jawab Lyra seringan kapas. Gadis itu menegak minuman bersoda milik Atlas tanpa rasa berdosa sedikit pun.
“Itu minuman gue!” Atlas kembali melayangkan protes saat minumannya dihabiskan begitu saja oleh Lyra tanpa persetujuannya.
“Itu di dalam kan masih banyak, pelit banget sama Lyra!” wajah Lyra terlihat kesal saat Atlas memprotes tindakannya yang merebut minuman kaleng lelaki itu begitu saja.
“Ya tapi kan itu puny ague. Lo bisa ambil sendiri yang masih untuh di sana.”
“Lyra maunya ini.” Lalu Lyra membuang kaleng beklas minukan bersoda itu ke dalam tong sampah.
“Apa?” tanya Atlas, dengan tatapan datar mengarah Lyra. Gadis itu tidak menjawab, justru kedua mata Lyra terus menatap Atlas tanpa berkedip. Wajah Atlas yang tampan membuat gadis itu terpesona. Meskipun Atlas memiliki tatapan mata yang judes dan mulut tajam, tetapi Lyra yakin Atlas tidak sejahat itu kepadanya.
“Atlas, Lyra laper.” Lyra kembali merengek sembari memegangi perutnya yang sejak tadi berbunyi meminta diisi.
“Gue nggak ada makanan jadi.” Altas duduk di sofa di depan televisi, lalu disusuk oleh Lyra yang duduk di samping lelaki itu.
“Tadi Lyra lihat di dalam kulkas ada telur sama daun bawang.
“Terus?” tanya Atlas, alisnya terangkat satu saat menatap Lyra.
“Bikinin Lyra telur dadar daun bawang, please.” Iva menangkupkan ke dua tangannya dengan tatapan yang polos agar Atlas luluh lalu membuatkan dirinya lauk untuk makan.
“Gue nggak ada nasi.”
“Di tempat Lyra ada nasi kok. Sebentar Lyra ambilkan.” Lyra bergegas beranjak dari duduknya. Saat tangannya ingin membuka pintu apartemen milik Altas, langkah gadis itu tiba-tiba saja terhenti.
“Oh iya, jangan lupa telurnya dikasih cabe yang banyak. Oke.” Tidak lupa diakhir kalimatnya Lyra mengacungkan ke dua jempolnya.
“Jadi cewek ribet banget sih lo? Di tempat lo aja ada nasi, kenapa nggak goreng telor sendiri? Nyusahin aja kerjaanya!” gerutu Atlas kesal. Baru kali ini dia mendapat tetangga apartemen yang menyebalkan.
“Lyra bosen kalau makan sendirian terus, sesekali pengen lah makan bareng Atlas. Kenapa sih Atlas nggak mau makan sama Lyra? Emangnya Lyra semenjijikan itu ya? Atau Lyra bau badan sampai-sampai Atlas nggak mau deket-deket sama Lyra?” Lyra memasang wajah memelas agar Atlas iba kepadanya.
“Udah lah nggak usah banyak cincong! Sekarang cepet ambil nasinya, biar gue yang bikin lauknya.” Atlas beranjak dari duduknya menuju tempat dapurnya berada. Tangan lelaki itu lihai mengambil beberapa peralatan tempur untuk membuat lauk malam ini.
Senyum di wajah Lyra terbit saat melihat Atlas akhirnya mau memenihi permintaanya. Tanpa bayak berpikir lagi, Lyra keluar dari sana dan masuk ke dalam unit apartemennya untuk mengambil nasi dan beberapa cabai. Yang dia lihat di dalam lemari pendingin Atlas tidak ada cabai sedikit pun, karena yang Lyra tahu Atlas tidak suka dengan makanan yang terlalu pedas.
Beberapa menit kemudian Lyra akhirnya kembali membawa mangkuk berisikan nasi yang masih hangat serta beberapa cabai yang dia genggam di tangan kanannya. Gadis itu tersenyum saat melihat Atlas sedang sibuk berada di depan kompor sambil memastikan telur yang lelaki itu goreng sudah matang atau belum.
“Altas, ini cabenya.” Lyra membuka genggaman tangannya meperlihatkan lima cabai yang cukup besar dan merah. Atlas yang melihatnya dibuat merinding sendiri.
“Gue nggak suka pedes,” ucap Atlas.
“Tapi Lyra suka.”
“Masak aja sana sendiri.”
Iva memanyukan bibirnya ketika mendengar respon Atlas tidak tidak bersahabat. Lyra meletakkan mangkuk berisi nasi panas itu di atas meja. Sembari menunggu Atlas selesai memasak telur dadar, Lyra duduk di sofa yang terletak di ruang depan bersama dengan televisi yang menyala.
“Atlas nggak punya cemilan ya?” tanya Lyra, sedikit berteriak.
“Nggak ada,” jawab Atlas, nadanya masih terdengar datar dan tidak bersahabat.
“Ihhh bohong banget. Ini buktinya.” Lyra mengangat sebuah toples yang masih penuh dengan jajanan rasa keju.
“Nyelip,” jawab Atlas.
Lyra tidak bisa hapis piki makanan yang ada di dalam toples itu sangat enak. Sampai-sampai membuat mulutnya tidak bisa berhenti mengunyah meskipun dalam waktu satu detik saja. Isi di dalam toples itu yang awalnya penuh kini tinggal setengahnya. Atlas yang melihat betapa rakusnya Lyra hanya bisa menggelengkan kepalanya dan menggerutu di dalam hatinya.
“Nih makan!” perintah Atlas, meletakkan piring berisi telur dadar daun bawang dan nasi hangat hasil Lyra masak sendiri dii unit apartemennya.
Wajah Lyra berbinar bahagia saat melihat makan malamnya sudah siap disantap. Meskipun sudah makan jajanan sebanyak itu, tetapi tidak juga membuat perut Iva merasa kenyang.
“Lo nggak begah?” tanya Atlas, terheran saat melihat cara makan Lyra yang sangat lahap.
Lyra menggeleng, “Enggak. Mana pernah Lyra merasa begah kalau soal makanan?” lalu gadis itu kembali melanjutkan acara makan malamnya.
Atlas hanya menatap Lyra datar. Lelaki itu tidak menyangka tubuh Lyra yang kecil dan mungil, ternyata suka sekali mengunyah tanpa henti.
Setelah menutup toples cemilan itu, Lyra langsung mengambil piring yang lain, kemudian mengambil telur yang Atlas goreng tadi. Atlas hanya menggelengkan kapalanya melihat cara Lyra makan.
“Lo beneran laper?” tanya Atlas, masih menatap Lyra dengan heran.
Lyra hanya menganggukkan kepalanya, menatap Atlas dengan mulut yang tidak berhenti mengunyah. Definisi makan di dalam kehidupan Lyra adalah pembangkit semangat, jika mulutnya tidak mengunyah sebentar saja, pasti rasanya ada yang aneh. Begitulah Lyra, si pemilik badan kecil tapi suka sekali makan.
Makanan yang ada di dalam piring Lyra telah habis tidak tersisa, kini giliran rasa kantuk menyerangnya. Gadis itu bersendawa cukup keras sampai membuat Atlas menutup telinganya.
“Kira-kira dong kalo sendawa,” protes Atlas.
“Maaf, Lyra nggak sengaja.” Gadis itu menampilkan senyum polosnya membuat deretan gigi yang berjejer rapih terekspos sempurna di depan mata Atlas.
“Anak gadis jorok banget,” gerutu Atlas. Lalu lelaki itu beranjak dari duduknya menaruh piring kotor di tempatnya.
“Lalu apa bedangnya sama Atlas?” tanya Lyra, yang masih berada di tempat.
“Gue kan cowok.”
“Terus kalau cowok boleh jorok gitu? Mana adil seperti itu?”
“Sekarang lo udah kenyang kan? Cepet keluar dari apartemen gue, gue ngantuk mau istirahat.”
“Lyra boleh ya bobo di sini?” Lyra memohon dengan wajah yang imut, tetapi sedikit pun tidak membuat hati Atlas goyah.
“Enggak!”
“Atlas.”
“Lo keluar sendiri atau gue seret?”
Lyra menghela napasnya kasar. Mau tidak mau dia harus keluar sendiri.
“Terima kasih Atlas ….”
Belum selesai Lyra berbicara, pintu apartemen milik Atlas sudah kembali tertutup rapat.
“Selamat malam dan selamat istirahat Atlas,” ucap Lyra, sebelum gadis itu kembali ke apartemennya.