Bab 4

1285 Kata
“ATLAS, KAMU KENAPA BISA ADA DI SINI?!” teriakan melengking itu keluar dari mulut Lyra. Thea, Atlas dan Drew yang berada di dalam ruangan yang sama hanya bisa menutup gendang telinganya rapat-rapat. Teriakan yang sangat menusuk dan mengejutkan untuk Drew dan Atlas. “Sialan, kenapa lo bawa dia ke sini sih?!” tanya Atlas sembari menatap Thea sengit. Lama-lama Atlas risih jika selalu didekati oleh Lyra. Gadis itu cantik dan lucu memang, tetapi sifat manja dan keponya sangat membuat Atlas tidak nyaman. “Lo beneran nggak inget dia ini siapa?” Thea menatap Atlas dengan pandangan tidak percaya. “Nggak penting buat gua!” lalu Atlas beranjak dari duduknya. Menyambar tas dan jaketnya lalu dibawa keluar. Lyra yang masih di sana pun hanya bisa diam berdiri, menatap punggung Atlas yang semakin menjauh. Sakit, hatinya bagai tercubit saat mengetahui fakta ternyata Atlas sama sekali tidak mengingat dirinya. Lyra merasa kedatangannya kembali adalah keputusan yang salah. Thea hanya diam saat melihat Lyra hanya bisa diam dengan ke dua mata yang mulai berkaca-kaca. Sedangkan Drew yang masih berada di tempatnya pun juga tidak tahu harus berbuat apa. “Maafin Atlas ya, dia lagi banyak masalah,” ucap Drew, setelah sekian lama terdiam. “Kapan sih seorang Atlas itu nggak banyak masalah? Sebenernya hidup dia itu tenang, Cuma dianya aja yang lebay!” sarkas Thea membuat emosi Drew memuncak. “Lo nggak tau Atlas itu gimana dan lo juga nggak tau masalah Atlas yang sebenarnya itu apa! Jadi, jaga mulut cantik lo itu untuk menghakimi seseorang. Dia emang buruk, tapi bukan berarti semua yang ada di diri dia itu buruk!” Thea semakin memancarkan kebencian. Tidak hanya dia, Drew pun sama dan terjadilah aksi saling tatap menatap penuh kebencian di antara Drew dan Thea. Sedangkan Lyra, gadis itu diam sedang bergelut dengan pikirannya sendiri. “Dan lo Lyra, berhenti gangguin hidupnya Atlas.” Setelah berucap demikian, Drew melenggang pergi. Thea semakin mengepalkan tangannya, ingin sekali dia mengeluarkan jurus andalannya untuk membungkam bibir Drew yang kelewat pedas, tetapi dia urungkan niatnya itu karena tidak ingin menimbulkan perkelahian. “Lo mau ikut gua pulang nggak?” tanya Thea memecah kenengingan yang sempat terjadi dalam durasi waktu yang cukup lama. Lyra mengangguk lirih. Air matanya sudah mengalir sejak Drew meninggalkan gudang itu. Menyedihkan memang, tapi keputusannya sudah bulat untuk mengembalikan Atlas seperti dulu. bagi Lyra tidak ada kata menyerah sebelum mencoba. “Lo masih mau bertahan sama ambisi lo?” tanya Thea karena Lyra tidak kunjung meresponnya. “Sampai kapan pun janji itu akan Lyra tepati, Thea,” jawab Lyra. Ke dua matanya menyorot serius. Sejenak Thea tertegun dengan pancaran mata itu, dia belum pernah melihat pancaran seserius itu dari Lyra. Lyra adalah gadis yang peuh dengan humor, bahkan saat orang-orang sedang serius pun dia masih menganggap itu semua lelucon. Akan tetapi, jika sudah menyangkut tentang janji, maka dia akan melakukan segalanya untuk memenuhi janji itu. Thea menghela napasnya pelan, lalu tangan kanannya menyentuh pundak Lyra. “Kita pulang!” Tanpa menunggu persetujuan Lyra pun Thea sudah menarik pergelangan tangan gadis itu untuk keluar dari ruangan yang kembab penuh debu itu. *** “Sudah berapa kali papa bilang, tinggalkan dunia jalanan kamu dan kembali ke rumah ini. kamu di sini akan mendapatkan apapun yang kamu mau, Atlas!” Suara Gabino—papa Atlas—memenuhi segala penjuru sudut ruangan yang ada di dalam rumah mewah bak istana itu. Semua orang yang berada di dalam sana menunduk takut. Akan tetapi, tidak dengan Atlas, justru lelaki itu sedang mengepalkan tangannya kuat untuk menyalurkan segala emosinya. Bahkan ke dua matanya sudah menyorot tajam pada guci kramik yang berada di depannya untuk dipecahkan. “Saya tidak mau hidup dan mati dibawah uang dan kekayaan anda!” Saat ini ke dua mata Atlas beralih menatap Gabino penuh kebencian. Tiba-tiba saja bayang-bayang masa lalu kembali menyerangnya. “Sudahi kebencianmu itu, tidak akan akan ada gunanya kamu memendam amarah kepada Ayahmu sendiri. Mari kita berdamai dan kembali seperti dulu lagi. Atlas terkekeh mengejek. “Kembali seperti dulu lagi? Jika itu bisa mengembalikan nyawa Mama saya, maka dengan senang hati saya akan melupakan segala kesalhan anda di masa lalu!” “ATLAS!” Gabino sudah mulai kehilangan kesabaran. Putra semata wayangnya memang sangat berani kepadanya. Bahkan terkadang Atlas meluapkan emosinya di depan lelaki paruh baya itu. “Tidak bisa ‘kan?” lalu lelaki itu beranjak dari duduknya dengan ke dua mata yang masih menyorot tajam. Dari pancaran itu seolah Atlas berbicara sampai kapan pun dia tidak akan pernah meredamkan api kebencian di dalam dirinya untuk ayah kandungnya sendiri. Sosok Gabino memanglah sangat berarti untuknya, tapi itu dulu untuk Atlas kecil yang tidak tahu apa-apa. Akan tetapi, sekarang sangat berbeda, Gabino menjadi salah stau penyebab mengapa hidupya berantakan tidak seperti remaja pada umumnya. “MAU KE MANA LAGI KAMU?!” teriakan lantang itu kembali Gabino keluarkan saat Atlas melenggang pergi begitu saja tanpa berpamitan. Semua penjaga yang berada di depan pintu utama menghadang Atlas agar tidak kembali pergi dari rumah. “Kalian mau macem-macem sama gua?” tanya Atlas menatap semuanya datar. “Maaf Tuan muda, anda tidak boleh pergi sebelum Tuan besar memerintah,” jelas salah satu dari mereka. Atlas tekekeh lalu meludah di tempatnya. “Gua nggak sebodoh yang kalian pikir!” Saat Atlas kembali ingin melangkah, tiba-tiba saja ke dua tangannya dicekal, membuat Atlas harus terpaksa memberontak. Aksi kekerasan pun terjadi. Atlas memukili satu-persatu bodyguard papanya sampai babak belur bahkan ada yang sampai kepalanya berdarah karena terbentur dengan pintu. Atlas tersenyum senang dengan hasil karyanya. Darah berserakan di lantai keramik itu membuat aroma anyir seketika tercium. Jika menyangkut tentang masalah bela diri Atlas tidak bisa diragukan lagi. diam-diam lelaki itu mempelajari semuanya tanpa sepengatuan Gabino. Dia mempelajari semuannya hanya untuk melenyapkan papanya sendiri. *** Seperti biasanya setelah Atlas bertemu dengan Gabino. Lelaki itu akan pergi ke makam mamanya yang terletak tidak jauh dari apatemennya berada. Dia sengaja memilih lokasi yang tidak jauh dari pusat pemakaman, karena dengan begitu Atlas bisa menegok mamanya kapan saja. Selali itu berlutut di samping gundukan tanah yang sduah ditumbuhi beberapa rumput di sana. Tangannya mengusap nisan sang mama dengan penuh kasih sayang. Sentuhan itu dia berikan agar mamanya bisa tenang di alam sana. Meskipun Atlas tidak yakin dengan itu. Sebelum kebenaran itu terungkap, maka Atlas yakin mamanya yang sudah berada di alam sana juga tidak tenang. “Mah.” Ke dua tanganya menyentuh gudnukan tanah itu, mengusap mengguknakan jari jempolnya menhasilkan sebuah jejak di sana. Bertahun-tahun lamanya Carina—almarhumah mama Atlas—sudah meninggal, tetapi Atlas masih saja menangis bila berkunjung ke makam wanita yang paling bersejarah atas keberadaanya di dunia. “Atlas akan menyelesaikan semuanya. Semua kesakitan hati yang Mama dapatka dari laki-laki itu. Sampai kapan pun Atlas tidak akan pernah mundur untuk membalaskan dendam ini. Mah … doakan Atlas agar bisa secepatnya membalaskan rasa sakit hati Mama selama hidup.” Atlas memajukan tubuhnya, lalu mengecup nisan yang bertuliskan nama mamanya cukup lama. Derai air matanya semakin deras. Hari mulai petang, tetapi tidak membuat Atlas bosan memandangi gundukan tanah itu. Sejak beberapa jam yang lalu, air matanya masih setia menetes deras membasahi ke dua pipinya. Berat memang harus ditinggalkan oleh seseorang yang paling dicintai. Setelah dirasa matahari mulai terlihat sedikit sinarnya, barulah Atlas beranjak dari duduknya. “Atlas pulang dulu ya, mah. Mama jangan khawatir, besok Atlas akan berkunjung lagi,” ucap lelaki itu lembut sembari mengusap air matanya. Ke dua kakinya melangkah menjauh dari tempat pemakaman itu. Udara mulai terasa dingin di sana. Menyusuri jalanan yang gelap tidak membuat nyali Atlas menciut. Lelaki yang terlahir dengan segala kekayaan orang tuanya seharusnya hidup bahagia di dalam istanah mewah. Namun, itu tidak berlaku untuk Atlas. Di masa remajanya dia harus medapatkan kenyataan pahit atas kematian mamanya yang sekian lama terpendam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN