Part 8

1582 Kata
“Ra, lo jangan deket-deket lagi sam Edsel!” ujar Thea tegas. Kini Thea dan Lyra berjalan di korodor sekolah menuju kelas mereka. “Emangnya kenapa sih The? Lyra itu berteman sama siapa aja nggak pilih-pilih.” “Kali ini lo harus plih-pilih, Ra. Gue nggak mau lo bernasip sama kaya yang lainnya.” “Thea nggak jelas ih. Udah ah, Lyra males ngobrol sama Thea. Apa-apa pasti nggak boleh.” Lalu Lyra berjalan duluan meninggalkan Thea. Thea hanya bisa diam, gadis itu tidak tahu lagi harus bagaimana memberi peringatan agar Lyra tidak dekat-dekat lagi dengan Edsel. Dia adalah laki-laki berbahaya, bisa memangsa siapa saja tanpa memandang bulu. Thea takut kepolosan Lyra akan dimanfaatkan begitu saja oleh Edsel. Saat Thea sedang berdiam diri melamun memikirkan cara bagaimana menjauhkan Lyra dari Edesl, tiba-tiba saja Atlas melintas di sampingnya seorang diri. Lantas Thea mencekal pergelangan tangan lelaki itu membuat langkah Atlas terhenti. “Atlas!” “Apaan.” Atlas menatap Thea dengan tatapan yang datar. Pancara mata yang biasa dia tunjukkan kepada semua orang. “Gue mau ngomong sama lo,” ucap Thea, kali ini gadis itu serius ingin berbicara empat mata dengan Atlas. “Di sini aja.” “Nggak bisa!” bantah Thea, tegas. “Gue sibuk nggak ada waktu.” “Sesibuk apa sih lo? Ini penting banget menyangkut tentang keselamatan Lyra.” “Gue nggak peduli sama cewek itu. Mau dia terjun kejurang kek, gue nggak peduli.” Wajahnya masih sama datarnya, bahkan kali ini semakin datar. “Lo gila ya! Nggak ada simpati-simpatinya sama sekali sama keselamatan orang lain!” “Hidup gue ya hidup gue, masalah hidup orang lain biar dia sendiri yang ngadepin. Gue nggak ada waktu buat ngurusin hidup mereka!” “Atlas, lo pernah mikir sekali aja nggak sih kalo Lyra itu beneran tulus sama lo? Sekarang dia dalam bahaya dan kalo lo udah kehilangan dia lo bakal nyesel seumur hidup!” “Emang dia punya masalah hidup apa? Gue liat dia orangnya baik-baik aja tanpa beban. Malah selalu bikin beban gue setiap harinya.” “Edsel. Laki-laki itu mau ngincer Lyra untuk dijadikan mangsa selanjutnya.” Alis Atlas terangkat satu di sebelah kanan. Lelaki itu bungung, lalu hubungannya dengan dirinya apa? “Terus?” “Gue yakin lo nggak bego dan lo tau ke mana arah pembicaraan gue.” “Lo mau gue ngelindungin Lyra dari Edsel gitu?” Thea mengangguk, “Iya. Karena yang gue tahu Lyra percaya banget sama lo. Tadi gue udah ngomong sama dia buat jauh-jauh dari Edsel, tapi dia tetep ngeyel.” “Biarin aja kali. Nanti kalau ada apa-apa palingan juga nangis ngerengek minta tolong.” “Lo jahat banget sumpah jadi laki-laki! Lo tau kan Lyra sepolos apa? Dia bakal nurut aja apa yang Edsel mau. Gue nggak mau kejadian yang pernah menimpa sahabat gue terulang lagi. Atlas, kali ini gue mohon sama lo, buka kebaikan hati lo buat ngelindungin Lyra. Gue yakin lo bukan laki-laki yang diem kalo perempuan disakiti.” “Memang benar, tapi itu nggak berlaku buat Lyra. Selama dia hadir di dalam kehidupan gue, gue jadi nggak tenang. Dia selalu repot dan lo tau gue anaknya nggak suka banget sama cewek yang rempong!” “Hati lo emang udah mati! Jangan nyesel kalau terjadi apa-apa sama Lyra terus dia pergi dari kehidupan lo!” lalu Thea melenggang pergi begitu saja bersama dengan rasa kesal di dalam hatinya. Dia pikir Atlas akan membantunya untuk melindungi Lyra, tetapi nyatanya lelaki itu tidak punya hati seperti yang ada di dalam pikirannya. Sementara Atlas, lelaki itu juga pergi menuju tujuan awalnya. Dia tidak lagi memikirkan tentang obrolannya bersama dengan Thea. Dia memang tidak peduli dan tidak sedikitpun mengurusi urusan Lyra. Jika nanti terjadi sesuatu dengan gadis itu, maka akibatnya akan gadis itu tanggung sendiri tanpa melibatkan dirinya. Jahat dan kejam memang, tapi itu lah Atlas. *** Jam pulang sekolah telah tiba semua siswa dan siswi berhamburan keluar dari kelas masing-masing menuju tempat parker di mana kendaraan mereka berada. Namun, meskipun kelas sudah sepi tidak membuat Lyra beranjak dari tempatnya duduk. Dia sedang menunggu Atlas yang sejak jam masuk setelah istirahat tadi tidak terlihat. Tasnya masih ada di tempatnya, tetapi lelaki itu menghilang entah ke mana. “Lo masih nungguin Atlas?” tanya Thea, gadis itu sudah keluar dari kelas, tetapi balik lagi karena dia tidak ingin meninggalkan Lyra sendirian di dalam kelas. Kekhawatirannya masih saja menguasai pikirannya. Lyra menggeleng lemas, sebenarnya Lyra sangat lelah sekali ingin cepat istirahat, tetapi jika pulang sendirian dia mau pulang sama siapa? Dia tidak berani pulang dengan kendaraan umum atau ojek online. “Lo mau bareng sama gue?” tanya Thea. Lyra menggeleng, “Lyra nggak mau ngerepoton Thea.” “Tapi kenapa lo selalu mau ngerepoton Atlas?” “Kan Thea tau gimana Atlas buat Lyra.” Thea menghela napasnya kasar, Lyra sangat keras kepala sekali. Jika Thea ikut keras, maka Lyra pasti akan marah kepadanya. “Mau sampai kapan lo nungguin Atlas di sini? Lo yakin dia bakal balik lagi? inget Ra, dia itu nggak peduli sama lo, setiap lo deket sama dia aja dia langsung males. Ra, jangan terlalu ambisius nant diri lo sendiri yang bakalan sakit. percaya sama gue.” “Thea kenapa sih kok kayanya nggak suka banget sama Lyra? Thea iri Lyra bisa berangkat setiap hari sama Atlas. Thea juga iri kalau Edsel mau berteman sama Lyra? Mau Thea itu apa sih, setiap kali Lyra mau melakukan sesuatu harus dapet persetujuan dulu dari Thea?” “Bukan gue iri sama lo, Ra. Gue di sini cuman mau ngelindungi lo dari Edsel. Dia itu laki-laki jahat, prilakunya nggak semanis ucapannya. Dia itu laki-laki yang selalu tebar janji ke sana ke sini. Gue nggak mau jadi korban selanjutnya.” Lyra berdiri, gadis itu sudak tidak tahan lagi dengan Thea. Menurutnya Thea hanya mengekang dan mengaturnya saja. Menurutnya Thea iri kepadanya karena tidak bisa mendapatkan apa yang Lyra dapatkan. “Lyra semakin benci sama Thea!” lalu gadis itu melenggang pergi tidak lupa membawa tasnya. Sementara Thea, gadis itu masih diam di tempatnya. *** Lyra tidak tahu harus ke mana. Dia juga tidak tahu harus naik apa pulang ke apartemen. Rasanya ingin menangis saja di tempat. “Hai.” Suara dari belakang membuat Lyra terkejut. Gadis itu menoleh untuk melihat siapa si pemilik suara. Ternyata pemilimk suara tersebut adalah Edsel, laki-laki yang selalu Thea bahas kejelekannya. “Kenapa di sini sendirian cantik?” tanya Endel, nadanya ramah dengan senyum yang mampu memikat semua kaum hawa, termasuk Lyra. “Lyra nggak tau harus naik apa buat pulang ke apartemen,” jawab Lyra, ke dua matanya sudah mulai berkaca-kaca. Edsel yang iba mencoba menenagkan Lyra dengan penuh kelembutan. “Gimana kalau gue antar lo pulang. Lo tau jalan arah pulang kan?” Lyra mengangguk lalu menjawab, “Lyra tau kok.” “Ya udah ayo kit gue ke parkiran. Motor gue masih ada di sana. Niatnya tadi mau langsung pulang, tapi gue liat lo di sini kaya lagi kebingungan gitu,” jelas Edsel.” “Iya, Lyra bingung harus pulang naik apa. Selama ini Mama dan Papa tidak mengizinkan Lyra untuk menaiki kendaraan umum, karena itu terlalu berbahaya,” jelas Lyra, membuat Edsel mengangguk paham. “Lo anak tunggal ya?” tanya Edsel, untuk menggali informasi lebih dalam. “Iya, Lyra anak tunggal. Sebenarnya sih Lyra nggak dibolehin buat tinggal sendiri, tapi Lyra ngeyel. Akhirnya dibolehin juga sih sama mereka.” “Pasti mereka sedih anak semata wayangnya jauh dari jangkauan mereka.” Wajah Lyra tiba-tiba saja berubah sedih. Apa yang dikatakan Edsel benar semua. Orang tua Lyra sangat berat melepas anak tunggalnya. Akan tetapi, mau bagaimana pun juga Lyra harus belajar mandiri karena selama ini gadis itu selalu dituruti kemauannya. “Lyra jadi kangen sama Mama Papa.” “Emangnya selama ini Mama dan Papa lo ke mana?” “Mereka tinggal di luar negeri sejak Lyra kecil.” “Terus kenapa lo mau tinggal di sini sendirian tanpa kerabat dan saudara terdekat?” “Sebenarnya Lyra mau tinggal di sini karena ada sesuatu yang tidak mungkin Lyra ceritakan ke siapapun.” Edsel mengangguk, lelaki itu tidak menanyakan apa maksud dan tujuan Lyra kembali ke Jakarta karena lelaki itu tidak ingin mengusik privasi Lyra. “Ini motor kamu?” tanya Lyra, saat ke duanya berhenti di salah satu motor yang ada di parkiran. “Iya,” jawab Edsel, sembari memakai helem dan sarung tangannya tidak lupa lelaki itu memakai masker mulut. “Ini pake.” Edsel memberikan Lyra helem kecil khusus untuk perempuan. “Terima kasih,” ucap Lyra, dengan hati yang bahagia. Menurut Lyra, Edsel tidak seburuk yang di ceritakan oleh Thea. Menurut Lyra juga Edsel orangnya baik dan perhatian juga berbeda jauh dengan Atlas yang cuek bebek kepadanya. Lyra senang jika Edsel mau menjadi temannya, dengan begitu dia bisa mengenal lebih jauh tentang dunia dibantu dengan Edsel. “Ayo naik.” Lyra menuruti kemauan Edsel. Gadis itu naik ke atas motor Edsel, karena motor yang lelaki itu pakai cukup tinggi membuat Lyra cukup kesusahan untuk naiknya. Untung saa Edsel adalah laki-laki yang peka, akhirnya Lyra dibantu naik oleh Edsel. “Terima kasih, Edsel,” ucap Lyra saat gadis itu sudah duduk di atas jok motor ninja milik Edsel. Edsel melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Dia tidak mau membawa motornya dengan kecepatan tinggi karena dia tahu apa yang Lyra takuti. Entah dari mana dia tahu Lyra takut menaiki motor dengan kecepatan tinggi, yang jelas sekarang lelaki itu sudah mengantongi fakta yang cukup banyak tentang gadis yang sedang diboncengnya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN