Edsel mengantarkan Lyra sampai di depan pintu apartemen milik gadis itu. Edsel berkata tidak akan pernah meninggalkan Lyra begitu saja, dia ingin memastikan bahwa Lyra baik-baik saja.
“Edsel, terima kasih ya udah mau nganterin Lyra sampai di depan pintu,” ucap Lyra, dengan senyum manis yang selalu menghiasi wajahnya yang imut.
Edsel tersenyum, “Sama-sama. menurut gue, lo nggak ngerepotin kok. Gue malah seneng bisa bantu lo.”
“Ya sudah, kalau begitu Lyra masuk dulu ya. Edsel hati-hati di jalan, jangan ngebut bawa motornya.”
Edsel mengacungkan ke dua jempolnya lalu berkata, “Siap Tuan Putri.”
Lyra terkekeh pelan, menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. “Oke.” Lyra juga mengacungkan ke dua jempolnya masih dengan senyum yang sama.
“Oh iya, gue boleh minta nomer lo nggak? Jadi, nanti kalo lo butuh apa-apa tinggal telepon gue aja. Gue denger-denger, Atlas lumayan sensi ya sama lo?”
Lyra mengangguk, “Iya, tapi sebenarnya dia baik kok. Udah ya, Lyra mau masuk ke dalam dulu, badan Lyra udah gatel pengen mandi. Ingat pesan Lyra tadi ya, jangan ngebut di jalan.”
“Iya bawel. Ya udah gue balik dulu ya. Tapi, lo masuk dulu ke dalem, baru gue pergi.”
Lyra mengangguk, lalu gadis itu memasuki unit apartemennya. Setelah memastikan Lyra benar-benar masuk, barulah Edsel pergi.
Di pertengahan jalan, Edsel tidak sengaja berpapasan dengan Atlas yang baru saja sampai. Ke duanya saling melemparkan tatapan tajam. Sudah tidak menjadi rahasia umum lagi, jika Atlas dan Edsel adalah musuh bebuyutan sejak dulu. ke duanya selalu terlibat dalam pertikaian kecil maupun besar.
“Weis, ada cowok pengecut lewat nih. Katanya laki, tapi kok mental tahu?”
“Maksud lo apa?!” tanya Atlas, nadanya sedikit naik karena kesal.
“Ninggalin cewek gitu aja di sekolah, terus lo masih nanya maksud gue apa? Lo itu pecundang!”
Atlas meraih kerah baju Edsel, wajah mereka saking berdekatan sampai napas satu sama lain terasa di wajah masing-masing.
“Santai Bro.” Edsel mendorong bahu Atlas agar menjauhi tubuhnya. Setelah tangan Atlas terlepas dari kerah bajunya, Edsel membersihkan bekas itu seolah tangan Atlas membawa kuman berbahaya yang akan menyerang dirinya.
“Gue nggak ada masalah sama lo, jadi jangan ganggu ketenangan gue. Lo tau kan apa yang terjadi setelah ini?” tanya Atlas, tatapan matanya semakin tajam. Atlas tidak suka diusik hidupnya.
“Gue nggak pernah takut sama cowok cupu kaya lo. Atlas, lo sama gue masih satu keluarga, tapi gue nggak pernah anggap lo sebagai sepupu gue!”
“Dan gue nggak sudi punya tali persaudaraan sama lo!”
Edsel tersenyum miring, “Suatu saat nanti lo bakal tau kebenarannya. Lo bakal tau seberapa murahannya Mama lo yang udah meninggal itu waktu dulu!”
Atlas mengepalkan ke dua tangannya kuat-kuat, dia tidak terima ketika mamanya di hina dan di rendahkan seperti itu.
“Jangan bawa nyokap gue!”
Edsel mengibaskan tangannya di depan wajah ketika napas Atlas menyapu permukaan kulit wajahnya. Atlas ingin sekali mematahkan leher Edsel, tetapi selalu dia tahan. Jika saja Atlas tidak ingat Edsel masih satu kerabat dengannya, mungkin sekarang lelaki itus udah habis di tangan Atlas.
“Gerah ngobrol sama cowok cupu.” Lalu Edsel melenggang pergi begitu saja meninggalkan Atlas yang sedang dalam pengaruh amarah besar.
***
Malam harinya, Atlas tidak bisa tidur. Entah apa yang menganggu lelaki itu sehingga ke dua matanya masih setia terjaga padahal jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ada sesuatu yang menganggu pikirannya, tetapi Atlas tidak tahu itu. Akhirnya lelaki itu mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Dengan keadaan toples, Atlas keluar dari kamarnya berjalan kearah dapur menuju lemari pendingin untuk mengambil air dingin di sana. Dia berharap air itu bisa menenangkan pikirannya, tetapi nyatanya sama saja.
Setelah selesai minum, Atlas berniat kembali ke kamar, tetapi langkah lelaki itu terhenti saat melihat pintu utama apartemennya yang tertutup rapat. Lalu Atlas berjalan ke arah pintu tersebut untuk memastikan sesuatu.
Atlas membuka pintu utama apartemennya, dia menatap ke arah pintu apartemen milik Lyra yang sudah tertutup rapat. Dari sana lelaki itu berasumsi bahwa Lyra sudah tidur karena tidak ada suara bising yang terdengar. Atlas merasa aneh, biasanya Lyra akan mengganggunya, tetapi kali ini gadis itu tidak menampakkan batang hidungnya sedikit pun.
Sementara itu di tempat Lyra berada, gadis yang sedang asyik bermain dengan ponselnya itu tidak tahu bahwa sejak tadi Atlas sedang memperhatikan unit apartemen miliknya. Lyra yang sedang duduk bersila di atas ranjangnya tidak berhenti tersenyum sembari memperhatikan ponselnya yang sejak tadi tidak berhenti bergetar. Ya, Lyra sedang sibuk dengan Edsel. Mereka mengobrol lewat ponsel terlihat sangat asyik dan akrab sekali.
“Ya ampun, Edsel ternyata lucu juga ya. Selain ganteng, dia juga pinter ngelawak, Lyra suka deh sama laki-laki kaya Edsel nggak ngebosenin. Nggak kaya Atlas yang selalu datar waktu Lyra ngelawak,” gumam gadis itu, lalu kembali melancarkan aksinya mengetik pesan untuk dikirimkan kepada Edsel.
Saat Lyra sedang asyik dengan ponselnya, tiba-tiba saja ada yang menekan bel apartemennya. Buru-buru Lyra keluar dari dalam kamarnya untuk memastikan siapa yang datang bertamu selarut ini. Sebelum Lyra membukakan pintunya, gadis itu mengintip pada celah pintu.
“Atlas,” gumam Lyra, lalu gadis itu mengintip lagi.
Terlihat Atlas sedang bersidekap dengan tubuh tanpa baju dan hanya menggunakan celana pendek.
“Mau apa malam-malam dia ke sini?” tanya Lyra lagi, masih bergumam. Setelah dipikir cukup lama, akhirnya Lyra memutuskan untuk membukakan pintu.
“Lo belum tidur?” tanya Atlas, dengan suara yang datar.
“Udah,” jawab Lyra.
“Terus kenapa lo bisa ada di sini?” tanya Atlas lagi, dengan alis terangkat satu.
“Abisnya Atlas berisik teken-teken bell apartemen Lyra. Kenapa sih? Ini kan sudah malam bukan lagi waktunya bertamu!”
“Gue laper dan kebetulan nasi di rumah gue abis.”
“Nasi di tempat Lyra juga abis.”
“Lo kan bisa masak, masakin gue nasi gih!”
“Maksud Lyra berasnya yang abis.”
“Lo punya mie instan kan?”
Lyra nampak berpikir beberapa saat, “Ada sih, tapi mie gelas.”
Atlas mengusap perutnya. Mana mungkin mie gelas yang ukuran sedang bisa membuat perutnya kenyang?
“Mau nggak?” tanya Lyra, dengan nada sedikit naik.
“Santai aja kali nggak usah ngegas. Ya udah deh gue mau, dari pada besok pagi perut gue sakit karena kelaperan.”
Sebelum Lyra mempersilahkan Atlas masuk, lelaki itu sudah terlebih dulu memasuki apartemen Lyra. Meskipun Lyra terlihat manja, tetapi gadis itu pandai membersihkan ruangan. Buktinya tidak ada debu apa lagi sampah yang berserakan di lantai.
“Duduk! Tunggu sebentar ya Lyra buatkan.” Lalu Lyra berjalan kearah dapur.
Atlas mendengar suara kompor dinyalakan itu berarti Lyra sedang memanaskan air untuk dirinya makan mie gelas.
“Lo nggak ada roti?” tanya Atlas, sedikit berteriak.
“Nggak ada!” jawab Lyra, sedikit berteriak pula.
“Tadi lo pulang sama siapa?”
Lyra terkejut saat melihat sosok Atlas sudah ada di dekatnya. Kapan lelaki itu datang? Mengapa Lyra tidak bisa mendengarnya? Begitu lah kata hati bertanya.
“Sama Edsel,” jawab Lyra, masih terlihat cuek.
“Tadi gue ada urusan, makanya pulangnya agak telat.”
Tidak ada jawaban dari Lyra, Atlas tahu gadis itu sedang marah kepadanya. Ternyata marahnya orang cerewet itu lebih mengerikan ya, pikir Atlas.
“Nih, tunggu beberapa saat baru mienya bisa dimakan,” ucap Lyra, memberikan mie gelas yang sudah dituang air panas.
“Iya gue tau,” jawab Atlas.
“Lo mau ke mana?” tanya Atlas, saat melihat Lyra masuk ke dalam kamar.
“Istirahat,” jawab Lyra, singkat. Lalu gadis itu memasuki kamar dan menutup pintunya.