| Ngidam?

1226 Kata
Valerie buru-buru pulang setelah kuliahnya berakhir. Dia sungguh ingin memastikan kondisi Gio yang setiap dihubungi selalu bilang baik-baik saja. Valery nggak percaya karena ketika dia diam-diam video call tadi, muka Gio masih pucat. Setelah membawakan pesanan Gio yang menurutnya sedikit aneh, mangga muda, Valerie memanggil taksi dan meminta supirnya mengemudi sedikit lebih cepat. Tentu saja permintaan Val disambut gerutuan supir. Di Jakarta mana bisa ngebut di jam orang-orang beraktivitas seperti ini. Apalagi jalanan menuju rumah Val melewati jalan-jalan protokol yang nggak pernah sepi. Dan selama dalam perjalanan, Val terus mengirim chat pada suaminya. Sekali melakukan video call dan entah kenapa rasanya dia rindu sekali pada Gio. Hanya melihat wajah Gio saja sudah bikin dadaanya berdetak lebih cepat dan ingin rasanya dia memeluk dan menciumi lelaki itu segera. [Aku kangen kamu.] Val bertubi-tubi mengirimi chat semacam itu pada suaminya. Bikin Gio salah tingkat dan merasa aneh saja. Nggak biasanya Val seagresif ini. Dan Gio juga nggak bisa melepaskan ponsel dari tangannya karena sedikit saja dia terlambat membalas, Val sudah mengomel. “Giooo!!!!” Val berteriak sambil membuka pintu kamar dan langsung menubruk tubuh Gio yang masih terbaring di kasur. Tentu saja Gio senang melihat Val yang seperti ini. Dia selalu suka kalau Val mengekspresikan perasaannya. Biasanya selalu dia yang bersikap agresif pada istrinya itu. “Kamu bau matahari. Ganti baju, cuci muka dulu, gih!” katanya ketika Val memaksa mau menciumi wajah Gio. Sebenarnya dia nggak mau menolak, tapi entah kenapa bau Val sehabis dari luar rumah bikin dia mual dan pengen muntah lagi. Sudah susah payah dia menahan muntah seharian ini jadi dia nggak mau kalau sampai harus mengeluarkan lagi isi perutnya. “Apa aku sebau itu sampai hidungmu kembang kempis?” “Iya dan aku nggak suka aromanya. Maaf, apa kamu abis naik kendaraan umum? Baumu aneh.” Val menciumi tubuhnya. Nggak ada bau menyengat atau tak sedap yang tertinggal. “Naik taksi seperti biasa, ini sih bau Stella jeruk. Enak, kok, seger.” “Aku nggak suka. Stella jeruk bikin orang mabuk.” “Sejak kapan kamu jadi tukang mabuk hanya gara-gara Stella jeruk?” “Sejak sekarang. Udah, gih ganti baju, mandi kalau perlu. Dan … mana mangga yang kupesan.” Val bangkit dengan malas dari sisi Gio. Kalau lelaki itu nggak lagi sakit, dia pengen dimandiin atau nggak mandi bareng sama Gio. Duh, kenapa dengan hari ini? Val susah sekali menahan napsuu pada suaminya. “Di dapur, kukasih bibi. Nanti dia kirim kemari.” Benar saja, setelah Val masuk ke dalam kamar mandi, pintu kamar mereka diketuk dan bibi pelayan membawakan sepiring mangga muda yang sudah diiris. Wajahnya semringah dan senyum-senyum sendiri. “Kenapa senyum-senyum gitu, sih, Bi?” tanya Gio ketika Bibi meletakkan piring berisi mangga di meja kecil samping ranjang yang ditiduri Gio. “Biasanya yang minta mangga muda itu orang ngidam. Sepertinya Nyonya kecil lagi isi.” “Hamil maksudnya? Kayaknya enggak. Yang pengen mangga saya, kok. Bukan Val,” sahut Gio sambil mencomot mangga dari piring dan memakannya. Nikmat sekali rasanya. Asamnya meleleh di rongga mulut Gio. Bibi terkekeh sebelum meninggalkan kamar. “Kalian suami istri. Yang ngidam bisa yang mana saja,” katanya sebelum pergi. Gio tertegun mendengar perkataan Bibi. Ah, masa, sih ada teori seperti itu? Lalu dia mengingat kembali keanehan pada dirinya. Mual muntah di pagi hari, sensitif sama bau-bauan dan mendadak suka sama yang asam-asam. “Dari ciri-cirinya emang kayak orang ngidam sih.” Tanpa sadar Gio mengelus perut six packnya. Tentu saja dia nggak punya rahim yang bakalan bengkak selama sembilan bulan karena itu jatahnya Val. Tapi masa Val yang hamil, dia yang ngidamnya? Korelasinya di mana? Sistem pencernaan mereka saja terpisah. “Misal Val hamil juga, nggak masalah sih. Tapi kelihatannya dia fine-fine aja. Gimana cara mastiinnya ya? Kalau disuruh test pack pasti Val bakalan nolak karena nggak merasa ada gejala.” Kembali Gio berkata pada dirinya sendiri. Dicomotnya lagi irisan mangga yang ketiga. Baru saja dia menyuap mangga itu ke dalam mulutnya, pintu kamar mandi terbuka. Val muncul dari sana dalam balutan handuk pendek dan rambut basah yang masih meneteskan air. Tanpa melihat ke arah Gio, istrinya itu berjalan ke arah pintu dan menguncinya. Bikin Gio memaki dalam hati karena dia tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya. Sambil mengunyah mangga, dia merasakan otot-otot di antara dua pahanya mulai menegang. Sambil menelan mangga muda dan berusaha agar buah itu nggak tersangkut di tenggorokan, mata Gio menatap ke arah pergerakan Val yang sedang melepas handuknya dan berjalan ke arahnya tanpa sehelai benang. Kali ini liur Gio beneran meleleh dan itu bukan karena asamnya mangga. Dalam hati dia memaki berkali-kali dan memutuskan membiarkan Val memegang kendali. Di bawah sana, kedutan-kedutan ototnya mulai mengencang. * "Sayang … aku cape," erang Gio ketika Val terus bergerilya di atas tubuhnya. "Kan kamu rajin olahraga, mana hasilnya? Ini bukan standar kamu yang biasa," katanya sambil menghentikan aktivitas. Kali ini ganti Val yang mengungkungi Gio. "Aku belum pulih. Kamu ga fair, nyerang aku gini pas lagi lemes. Coba kalau kamu buasnya pas aku juga lagi on baru seru." Val merebahkan diri di samping suaminya dan menghela napas berkali-kali. Meredakan feromon yang terus membelah diri di tubuhnya. "Aku juga nggak tau kenapa segininya liat kamu yang lemes. Bikin aku pengen mengerjai kamu berkali-kali. Dan rasanya nggak pernah puas. Aneh deh." Gio merasa ini saat yang tepat untuk mengutarakan isi kepalanya. "Jadi kamu setuju kalau ada yang nggak beres sama kita berdua? Aku yang tiba-tiba mual pagi, sensitif sama bau, dan suka sama yang asem-asem. Sedangkan kamu, hormon kamu meledak tak terkendali. Kamu merasa kalau ini nggak biasa, kan?" "Sejujurnya … kamu kayak orang ngidam. Tapi kamu kan laki-laki jadi nggak mungkin kamu hamil." Val terkekeh mendengar penjabaran suaminya. Tapi kekehannya terhenti dan dia memalingkan wajah menatap suaminya. Dilihatnya Gio mengangguk dan tersenyum. Val menggeleng. "Nggak mungkin." "Kenapa nggak mungkin? Kita sudah cukup berusaha selama ini. Masa iya kecebong aku nggak ada satu pun yang jadi pemenang?" Masih dengan tubuh yang tanpa busana, Val bangkit dari tempat tidur dan melesat ke kamar mandi. "Val! Kamu mau ngapain!?" teriak Gio. Tapi Val sudah keburu menutup pintunya dan suara Gio seolah tak didengar. Tiba-tiba pintu kamar mandi membuka lagi dan Val keluar lalu mengaduk-aduk laci meja rias. "Sayang … kamu cari apa sih? Kamu kenapa?" tanya Gio sambil berusaha turun dari tempat tidur. Dia juga perlu membersihkan diri. "Val?" panggilnya ketika wanita itu tidak menggubris. "Gio kamu liat test pack di laci ini nggak? Rasanya aku punya stok satu lagi." "Aku pindahin ke rak di kamar mandi. Lebih cocok kalau di sana. Tapi kamu nggak mau test sekarang kan? Bukannya harus pagi biar akurat?" "Kalau positif, mau test kapan aja nggak akan ada bedanya," kata Val bersikeras. Dia langsung lari ke kamar mandi meninggalkan Gio yang memilih menunggu. "Gio! Gio apa kamu tidur?" Panggilan Mama di depan pintu kamar membuat lelaki itu buru-buru mengenakan pakaian. "Sebentar, Ma!" katanya sembari lari ke pintu dan membukanya. "Ma? Ada yang bisa Gio bantu?" "Begini … mau ngomong sama kamu. Ini soal Em--" 'Brakk!' Pintu kamar mandi membuka dan wajah semringah Val yang sudah mengenakan bathrobe muncul di sana. "Positif Gio! Positif!" Segera saja lelaki itu menghambur untuk memeluk istrinya. Usahanya selama ini berhasil juga. Mama memandang kebahagiaan mereka dengan muka kecut. Nggak mungkin dia menyampaikan kabar tak sedap pada saat seperti ini. Dia membalikkan badan dan kembali ke kamarnya. Menangisi Emily yang tak tahu kabar beritanya.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN