Seluruh karyawan perusahaan sudah berada di ruangan meeting untuk menghadiri rapat bulanan yang dipimpin oleh Kerl, tetapi pikiran Kerl seakan tidak berada di sini, ia terus memikirkan keadaan istrinya, pria itu berusaha mengenyahkan pikirannya, namun tetap saja ia terus memikirkan Re, jujur ia takut terjadi apa-apa dengan Re dan bayinya. Sebenarnya ada yang aneh dengan perasaan Kerl, ia masih mencintai Elleana, tetapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau ia peduli dengan keadaan Re dan bayinya. Pada saat meeting berlangsung, Kerl pun segera menghentikannya itu dan meminta kepada seluruh karyawannya untuk melanjutkan rapat itu di lain kesempatan, ia tidak bisa terus di sini sedangkan istrinya di rumah sakit sedang tidak baik-baik saja.
Di lain tempat, di ruangan serba putih dengan bau obat-obatan yang menyengat, Re menatap lurus ke depan, ia berharap sang suami ada di sini menemaninya dan meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja, rumah tangga mereka akan kembali normal, dan juga bayi mereka akan selamat. Tak lama kemudian ponsel Re berdering, ia kira adalah pesan dari Kerl, ternyata pesan dari Elleana, mantan istrinya Kerl.
Ibu Elleana
Halo, apa kabar Re? Aku mau minta maaf karena semalam suamimu menginap di tempatku, aku sudah menyuruhnya untuk pulang, tetapi ia tetap kekeuh bermalam di tempatku, kami bahkan melakukan hal yang tidak seharusnya, aku sudah menolaknya, tetapi dia tetap memaksa, sampai akhirnya aku pun jatuh akan pesonanya. Maaf, sekali lagi maaf, bukan maksudku untuk berselingkuh dengan suamimu. Aku cuma mau mengingatkan, hukum karma itu nyata, Re. Kamu pasti sakit hati kan membaca pesan dariku? Begitu juga yang aku rasakan dulu, aku juga sakit hati karena suamiku menidurimu sampai kamu hamil dan kami pun berpisah. Apa kamu sudah menjadi pemenangnya? Sayang sekali ini belum berarkhir, bisa jadi Kerl akan meninggalkanmu, dan kembali kepadaku, karena kami saling mencintai. Sedangkan kamu? Hanya kamu yang cinta, Kerl tidak. Oke, aku minta maaf kalau ada kata-kataku yang menyakitimu. Semoga harimu menyenangkan.
Salam, Elleana.
Air mata Re tak berhenti menetes tatkala membaca pesan dari Elleana, hatinya sakit membaca pesan itu, ia merasa terkhianati, tetapi ia tidak akan menyerah begitu saja, ia harus tetap berjuang untuk memenangkan hati Kerl, karena di antara mereka ada anak yang membutuhkan kasih sayang kedua orang tua, ia tidak mau kehilangan Kerl, meskipun laki-laki itu tidak mencintainya, tetapi ia yang akan berjuang agar suaminya itu bisa mencintai dengan sepenuh hati, dan menjadikan dirinya wanita satu-satunya. Siapa tahu semua ini akan menjadi nyata, kemungkinan takdir bisa saja terjadi.
Tak lama kemudian dokter yang menangani Re datang untuk visite, kebetulan dokter kandungan itu berjenis kelamin laki-laki, tetapi sangat ramah melebihi dokter perempuan. "Selamat pagi, Ibu Re, periksa dulu ya," ujar seorang dokter yang bernametag Angkasa tersebut. Ia pun langsung meletakkan alat stetoskop itu ke dadanya Re, dan segere mengukur tensinya. "Kondisi detak jantungnya masih belum stabil, dan tensinya juga rendah, yaitu 80/60. Masih suka merasakan pusing?"
Re mengangguk. "Sering, Dok, ini juga lagi sedikit pusing, tapi untuk mual dan muntahnya sudah tidak berasa lagi."
Dokter itu tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, hanya saja Ibu jangan terlalu stres, enjoy saja karena kondisi ibu hamil memang rentan, bisa berakibat pada kehamilan Ibu. Jangan lupa juga untuk konsumsi makanan-makanan penambah tekanan darah, yang penting dari ibunya jangan banyak pikiran dulu." Ia pun menoleh ke arah makanannya Re, sama sekali belum tersentuh. "Ibu belum sarapan, saya bantu duduk ya, Bu."
Re pun mengangguk, setelah itu sang dokter langsung membantu Re untuk mengubah posisinya menjadi duduk.
"Mau saya bantu menyuapi Ibu sekalian?" tawar sang dokter dengan penuh perhatian, tetapi Re menggeleng.
"Bisa sendiri, Dok," jawab Re.
Tak lama kemudian seseorang berdeham cukup keras dari balik pintu, siapa lagi kalau bukan Kerl, ia langsung masuk dengan perasaan kesal, tadi ia sempat lihat kalau dokternya yang membantu Re untuk duduk dan menawarkan menyuapi istrinya. Tentu saja Kerl tidak terima, mungkinkah ia cemburu? Atau hanya perasaan kesal saja?
"Sudah selesai kan, Dok? Tentu masih banyak pasien yang harus Bapak kontrol, jadi bisa keluar sekarang, Dok, saya juga suaminya sudah datang," ujar Kerl tanpa basa-basi dengan wajah yang tidak bersahabat.
Sang dokter itu pun langsung mengangguk dan segera pamit kepada Re. "Saya permisi dulu, semoga cepat sembuh ya, Bu." Setelah itu dokter Angkasa keluar dari ruangan itu masih dengan senyuman ramah padahal baru saja mendapat perlakuan tidam baik dari suami pasien.
Kerl pun langsung menarik kursi di samping ranjang Re, dan mengambil makanan dari tangan Re. "Aku ajak yang bantu makan."
Tanpa basa-basi Kerl langsung menyuapi Re dalam keadaan diam, wanita itu pun masih malas berbicara dengan Kerl, ia masih sakit hati dengan perlakuan suaminya, tetapi anehnya, sekesal-kesal apa pun Re terhadap Kerl, tidak ada terbersit sama sekali perasaan ingin pisah dari laki-laki ini, ia anggap hali ini adalah bagian dari ujian rumah tangga yang harus ia jalani, dan harus lulus ujian agar kehidupan jauh lebih baik.
Setelah makanan itu tandas, Kerl pun membantu Re untuk minuman. Sampai selesai makan dan minum pun, ruangan itu masih hening, hanya dentingan jam di dinding yang memecah keheningan di antara sepasang suami dan istri ini.
"Re, say something, jangan diam saja, tidak biasanya kamu seperti ini hm?" Kerl yang memulai merasakan keanehan pada Re pun langsung bertanya, bukannya menjawab, Re malah mengambil ponselnya dan memperlihatkan chat Elleana kepada Kerl.
Kerl pun langsung membacanya dengan seksama.
Re berusaha menahan tangisannya agar tidak pecah, ia lelah seperti ini terus, tetapi hatinya memints untuk tetap bertahan. "Kemarin aku sakit perut, tapi kamu tidak percaya, kamu justru bilang aku drama, saat aku terbaring lemah di rumah sakit, kamu justru tidur di tempat mantan istri kamu. Aku tahu, kamu tidak mencintaiku, tapi bisa tidak sedikit saja kamu bersikap selayaknya suami dan ayah dari anak kita. Jujur aku sudah lelah, tetapi hati aku ingin tetap bertahan demi bayi kita. Namun, kalau suatu saat nanti perlakuan kamu tidak berubah, bukan tidak mungkin aku memilih untuk pergi, pergi dari kamu bersama anak kita."
Kerl menatap perut Re yang kini mulai terlihat, ia bahkan tidak sadar dengan perubahan bentuk perut Re, ia terlalu sibuk sama dunianya sampai ia lupa istri dan anaknya membutuhkan perhatian. Kerl merasa dirinya terlalu egois, yang hanya memikirkan perasaannya sendiri, ia lupa ada seorang bayi yang sebentar lagi akan hadir di dunia ini.
"Ini risiko menikah dengan laki-laki yang masih mencintai mantan istrinya, Re, aku juga menikahimu bukan karena aku mencintaimu, tapi bentuk pertanggung jawabanku atas anak ini. Dan aku menikahimu bukan atas kemauanku, tetapi karena orang tuaku yang terus memaksa. Maaf karena aku sangat egois, aku hanya memikirkan perasaanku sendiri, sampai aku lup ada kamu yang sedang hamil, tapi aku juga manusia, Re, aku manusia yang punya cinta, aku tidak bisa melawan rasaku yang benar-benar nyata untuk Elleana, sedangkan kamu? Kamu hanya bentuk pertanggung jawaban yang sama sekali tidak terlintas rasa cinta."
Kerl langsung menceritakan kepada Re, perihal pembicarannya dengan orang tuanya beberapa waktu lalu, sebelum mereka menikah.
Pikiran Re jadi kacau, ternyata Kerl menikahi dirinya bukan karena rasa cinta, melainkan paksaan dari orang tuanya, ayahnya memberikan ancaman yang mau tidak mau Kerl harus menurutinya. Re memegang perutnya kuat-kuat, dan di bawah sana mengalir darah yang membuat Kerl semakin takut, dan istrinya terus merintih kesakitan.
Kerl langsung memencet tombol darurat dan para perawat dan dokter berlarian masuk ke dalam ruangan ini.
Dasar, Kerl bodoh, sudah tahu istrimu sedang tidak baik-baik saja, malah menceritakan hal itu. Aku akan merasa bersalah kalau istri dan anakku kenapa-kenapa.
***