Kembali ke Hotel

1631 Kata
Hari ini Reynor tidak mengambil kerja lembur. Hati dan pikirannya sedang tidak bisa di satukan. Sekitar pukul lima sore, Reynor memutuskan pulang. Hari ini Reynor ingin pulang ke rumahnya. Bercerita dengan sang Mama, biasanya akan mampu memberi kesejukan dalam hatinya. "Hey sayang. Tumben pulang ke rumah?" Sapa Karina pada anaknya. Karina tengah membersihkan daun-daun kering pada tanaman bunga di ruang keluarga. "Hemmm, bosen Ma. Di apartment sendiri terus, nggak ada teman ngobrol." Sahutnya, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa. Menyandarkan kepalanya lalu memejamkan mata. Karina sedikit menarik bibirnya. "Ya makanya, buruan nyari teman baru. Biar ada yang nemeni makan, nyiapin baju-baju kerja, kalau capek ada yang mijiti. Ya kan?" "Aku masih ingin mencari Selena, Ma. Aku yakin di dalam hatinya juga, dia masih mencintai aku. Dia hanya membutuhkan sedikit waktu untuk menenangkan diri saja, Setelah itu, semua akan kembali seperti semula." Karina menoleh ke arah Reynor. "Ya ampun, Rey. Untuk apa lagi sih kamu mikirin Selena? Dia itu udah pergi ninggalin kamu. Dia udah nggak sayang sama kamu lagi. Buka mata kamu, Rey. Saatnya membuka lembaran baru, lupakan Selena!" Ungkapnya geram. Karina meletakkan gunting ke atas meja dan meninggalkan bunganya yang belum selesai ia bersihkan, mendekati Reynor. Reynor menarik tubuhnya. "Ma, aku nggak bisa. Selena itu cinta pertamaku. Aku tidak bisa hidup tanpa dia. Sejak SMA kami selalu bersama. Bertahun-tahun kita habiskan waktu bersama, aku yakin Selena juga tidak menginginkan perpisahan ini. Please, jangan paksa aku, Ma." Reynor terlihat emosional. "Reynor, Selena sekarang sudah bahagia dengan kehidupan barunya. Come on sayang! Realistis!" "Maksud Mama apa? Selena sudah bahagia bagaimana? Kebahagiaan Selena itu bersamaku, Ma. Bukan dengan orang lain." Tekan Reynor dengan tatapan tajam ke mata sang Mama. Karina meraih gawainya. Lalu menunjukkan sebuah vidio yang ia dapatkan dari kiriman temannya. "Kamu lihat ini!" Karina membalikkan layar gawainya menghadap Reynor. "Kamu lihat baik-baik, siapa dia?" Mata Reynor terbuka lebar, bahkan mulutnya ikut menganga. "Bukankah itu Selena? Selena sedang menikmati liburan di Bali dengan laki-laki lain. Dan kamu juga bisa lihat kan, betapa bahagianya dia, bisa ketawa lepas bersama laki-laki itu. Sedangkan kamu di sini, masih saja berharap Selena bisa kembali ke pelukanmu? Itu mustahil, Rey!" Reynor membuang muka. "Nggak, Ma. Mungkin saja itu temannya. Bisa jadi kan?" Karina menarik gawainya. "Teman kamu bilang? Apa iya kalau hubungan mereka hanya sekedar teman biasa. Memakai bikini dan berpelukan seperti itu hanya di sebut sebagai teman? No!" Reynor mulai tak tahan dengan semua kata-kata yang dilontarkan oleh sang Mama. "Ma, udah deh. Aku lebih kenal Selena dari pada Mama. Jadi Mama berhenti judge dia. Selena itu perempuan baik-baik, berhenti menjelekkan dia di hadapanku!" Karina meraih wajah Reynor dengan kedua tangannya. Kedua tangan Karina sekarang sedang menahan pipi Reynor. "Reynor! Lihat Mama! Lihat mata Mama dan dengarkan kata-kata Mama. Kurang bukti apa lagi kalau Selena itu sudah tidak menginginkan kamu, nak? Ayo dong, buka mata sama pikiran kamu. Jangan gelap mata, realistis!" Reynor membuang tangan Mamanya. "Udah ya, Ma. Aku nggak mau dengar apapun tentang Selena dari Mama. Aku capek, mau ke kamar dulu." Reynor berdiri dan menghilang dari hadapan Karina. "Rey! Mama belum selesai bicara! Reynor tunggu!" Teriak Karina memandangi punggung anaknya yang terus menjauh, sama sekali tidak menghiraukan panggilannya. Karina melepaskan nafasnya perlahan. "Sampai kapan kamu akan seperti ini, Rey! Sampai kapan mata hatimu akan terus tertutup karena rasa cintamu yang begitu besar pada Selena. Sampai kamu tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah." Lirih Karina menahan sesaknya di rongga d**a. *** "Manstaappppn! Kenyang banget gue!" Ujar Vera selesai menyantap soto betawi di warung Mpok Lela. "Eeerrrkkk!" Vera bersendawa. "Astaga! Bisa nggak sih mulutnya di tutup! Geli gue dengarnya!" Protes Nadine dengan memajukan bibirnya. "Hehehe, sorry sistah, kelepasan!" Nadine melirik ke arah mangkok milik Vera. "Gila lo, abis ludes sampai kuahnya nggak tersisa. Nggak sekalian mangkok sama sendoknya juga?" Ejeknya. "Sialan! Lo pikir gue kuda lumping, doyan makan beling!" "Hehehe, ya kali aja doyan!" Nadine mengambil es teh di depannya, menyeruputnya hingga habis tak tersisa. Lalu meletakkannya kembali. "Eh, Ver. Lo abis ini sibuk nggak? Ada acara nggak?" Tanya Nadine penuh harap. "Nggak ada sih. Emang kenapa?" Sahutnya menatap Nadine. "Hehe, sebenarnya gue butuh bantuan lo lagi!" Ujar Nadine. "Bantuan apa?" "Anterin gue ke suatu tempat ya. Mau ya? Please!" "Kemana?" "Ke Hotel A!" "Ke hotel? Ngapain mau ke hotel?" Vera menatap penuh tanya ke arah Nadine. "Ya ampun Din, lo nekat ya! Lo open BO ya Din?" Celetuknya. "Uhukk!" Nadine keselek. "Eh bangke lo! Gue nggak serendah itu kali. Lo pikir ke hotel mau kaya gituan aja? Yeee! Gue mau ambil sesuatu yang penting di sana! Open BO, open BO pala lo peyang!" Seru Nadine dengan nada tinggi. "Hahaha, kirain lo lagi butuh duit banyak jadi open BP dah! Ya hayuk lah gue anterin. Tapi, he... " "Tapi apa?" "Tar isiin gue bensin sepuluh ribu aja ya. Udah sekarat itu bensinnya. Duit gue tinggal dua puluh ribu buat pegangan. Hehehe!" "Wkwkwk, lo lagi bokek Ver! Hadehhh payah lo. Pantesan langsung semrintil gue tawarin traktiran." "Gajian kan masih dua hari lagi, Din. Gue harus hemat nih. Apalagi Bapak butuh biaya terus-terusan buat cuci darahnya. Ngandalin jualan Ibuk juga cuma cukup buat makan sehari-hari aja." "Iyap, tenang aja, tar gue isiin tuh bensin sampe muntah-muntah." "Hehehe, makasih Nadine yang cantik dan baik hatinya." "Maaf, nggak butuh pujian lo. Dari zaman gue lahir dari rahim emak gue juga Tuhan udah mentakdirkan gue itu cantik!" "Hahahahaha!" Keduanya tertawa bersamaan. Selesai membayar makanan, Nadine mengarahkan Vera untuk segera melaju ke Hotel A. Rasanya ia sudah tak sabar ingin segera mendapatkan hasil rekaman CCTV yang ada di hotel malam itu. "Din, kok lo mau ke hotel A emang ngapain sih? Sejak kapan lo mainnya di hotel gitu?" Tanya Vera sambil terus berkonsentrasi memegang setang di depannya. "Panjang ceritanya, Ver. Itu salah satu kenapa malam itu Ibu telfon lo terus nanyain gue kemana itu. Malam itu gue nginep di hotel itu!" "Tuh kan bener! Lo open?" Plak. Reflek Nadine mengetok helm Vera. "Adaaaawww! Sakit bangke! Lo pikir pala gue apaan, main ketok gini!" "Ya abisnya mulut lo nyablak gitu. Kan udin gue bilang, ceritanya panjang. Lo main nebak-nebak aja. Udah gitu tebakan lo ngada-ngada." Sentak Nadine kesal. "Panjangnya berapa kilo meter sih? Dari sabang sampai merauke?" "Ya nggak sepanjang itu juga kali! Lo jangan kebanyakan nanya lagi deh. Pokoknya tar gue ceritain kalau udah dapat apa yang gue cari di hotel itu. OK!" "OK siap! Asalkan bensin gue lo isiin aja deh, hehehe." Vera menambah kecepatan lajunya, mereka berdua sudah sampai di jalan seberang hotel. Vera yang takjub dengan kemegahan hotelpun, sampai tak bisa berkata-kata. Dengan cepat ia membuka kaca helmya. "Waaaaah, lo nggak salah tempat kan Din?" Ucapnya dengan mulut terbuka lebar. "Nggak lah. Emang ini hotelnya! Ayok masuk, nyari tempat parkir!" "Eh bentar. Pelanggan lo konglomerat ya, sampai di bawa ke hotel bintang lima gini." Nadine mengetok helm Vera, lagi. "Sialan lo! Udah di bilang gue bukan cabe-cabean juga. Masih aja lo ngomong kaya gitu." "Wkwkwwkk! Vera tertawa lepas, melihat sahabatnya menunjukkan wajah kesalnya. Vera melajukan kembali sepeda motornya, masuk ke dalam area hotel. Setelah mencari parkiran, mereka berdua segera turun dan menuju tempat pelayanan informasi di depan hotel. Terlihat ada seorang laki-laki yamg tengah berjaga di sana. Tengah duduk di depan layar datar yang dilengkapi dengan keyboard dan mousenya. "Permisi Pak!" "Iya, Mbak, ada yang bisa di bantu." Sahut seorang laki-laki yang mengenakan seragam warna cokelat itu. "Sebelumnya silahkan duduk." Nadine dan Vera duduk. "Emm, jadi gini Pak. Saya mau minta bantuan dama Bapak, boleh?" Ucap Nadine ragu-ragu. "Boleh sekali, Mbak. Sekiranya saya bisa membantu, pasti akan saya bantu." "Gini Pak, kira-kira saya boleh minta rekaman CCTV di hotel ini nggak? Pada hari rabu kemarin, sekitar jam tujuh malam di sekitar lantai lima." "Waduh, maaf Mbak. Kami tidak bisa memberikan rekaman CCTV hotel pada sembarang orang. Karena itu merupakan privasi tamu kami." Terang petugas keamanan dengan ramah. "Aduh Pak. Tapi itu sangat penting buat saya. Tolong Pak." Sahut Nadine mengiba, hampir patah semangat. "Maaf Mbak tetap tidak bisa, kecuali kalau memang diperlukan demi mengungkap kebenaran. Seperti bukti-bukti yang akan di gunakan oleh polisi atau bukti-bukti yang lainnya." Verapun hanya diam, karena dia sendiri juga tidak tahu, apa tujuan Nadine meminta rekaman CCTV di hotel A. Nadine berfikir keras, apapun yang menghalanginya, dia harus tetap mendapatkan bukti itu. 'Haduh, gue bikin alasan apa ya, biar petugasnya mau ngasih rekaman itu. Nggak mungkin juga kan, gue bilang kalau gue ini korban p*********n. Bisa hancur reputasiku.' Batinnya mencari sambil mencari ide. "Jadi kalau sudah tidak ada kepentingan lagi, Mbak-mbak ini bisa meninggalkan tempat ini." Ujar petugas keamanan dengan sopan. Nadine terdiam, sepertinya dia tidak meresponnya. "Din! Nadine! Lo malah bengong! Itu Bapaknya nyuruh kita pergi kalau udah nggak berkepentingan lagi." "Emmm, emmmm! Apa Ver? Gue nggak konsen!" "Itu Bapaknya bilang, kalau sudah tidak berkepentingan, kita di suruh pergi." Nadine masih berusaha mencari alasan. Pipinya mengembang, mengeluarkan udara dari sana perlahan. Entah wangsit apa yang mampir di kepalanya. Tiba-tiba dia menemukan cara untuk beralasan. Bibirnya berubah memperlihatkan senyum. "Emmm, jadi gini Pak, kemarin, saat saya datang ke hotel ini untuk bertemu dengan teman saya. Nah pas saya mau pulang, tiba-tiba di depan lift ada seorang laki-laki yang berusaha untuk merampok saya Pak. Jadi pas lift di buka, tiba-tiba tangan saya ditarik dan di bawa masuk ke kamarnya. Semua isi tas saya du ambil sama dia, sampai tak tersisa. Makanya saya butuh video itu untuk membuat laporan ke polisi. Karena tanpa bukti itu, laporan saya tidak akan kuat, karena bukti juga tidak mendukung. Begitu Pak. Jadi, boleh ya saya minta rekaman CCTV itu. Saya ingin menuntut keadilan, Pak!" Terang Nadine panjang lebar. Tak lupa ia pasang wajahnya yang memelas supaya petugas keamanan percaya dengan kata-kata yang ia buat. Vera yang mendengar pernyataan Nadine hanya bisa diam, namun batinnya terus bertanya-tanya. Ia akan bertanya sedetail-detailnya setelah urusan dengan pihak hotel selesai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN