Akhirnya, petugas keamananpun mengizinkan Nadine untuk menyalin rekaman CCTV itu. Tentu saja Nadine bisa bernafas dengan lega, karena semua tuduhan yang di alamatkan Reynor kepadanya tidaklah benar.
"Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya ya, Pak. Karena bukti dari CCTV ini sangat penting untuk saya. Saya tidak akan melupakan kebaikan Bapak." Ungkap Nadine seraya menundukkan kepalanya.
"Sama-sama Mbak. Semoga dengan bukti ini pelakunya bisa segera tertangkap dan mendapatkan hukuman yang setimpal." Sahut petugas keamanan dengan lembut.
"Kalau begitu kami permisi." Nadine dan Vera bangkit dari duduk. Mengulurkan tangannya tanda berpamitan.
"Silakan Mbak, hati-hati di jalan." Balas petugas keamanan sembari bergantian menyalami Nadine dan Vera.
Setelah berhasil mendapatkan rekaman CCTV, Nadine dan Vera tancap gas kembali. Nadine merasa lega, karena berhasil membawa bukti penting itu untuk di perlihatkan pada Reynor.
"Din, itu lo beneran di rampok sama tuh laki-laki? Tapi, ada ya rampok kok rapi kaya gitu. Sama sekali nggak ada pantes-pantesnya di katain rampok." Tanya Vera di tengah-tengah perjalanan sambil terus fokus memegang stangnya.
"Namanya juga rampok, ya pasti melakukan segala cara lah, Ver. Dia harus mengelabuhi orang-orang, biar nggak ketahuan." Jawab Nadine asal.
"Iya juga sih. Emmm, tapi anehnya lagi, itu rampok kan nginep di hotel itu, udah pasti dong bisa di tebak, berapa uang yang harus di keluarkan dia buat bayar. Permalam aja itu hotel bayarnya udah lebih dari sepuluh juta. Pertanyaannya, kenapa itu rampok bisa punya ide, nginep di hotel biar bisa ngerampok! Aneh kan, rampok b**o kayanya deh!"
"Eeeeemmm, ya kali aja dia berharap nemu mangsa di hotel. Yang nginep kan orang-orang berduit. Dia buang dulu tuh duit buat biaya nginep, terus esoknya dia dapat yang lebih. Bisa jadi begitu strateginya." Ungkap Nadine mengada-ada. Wajah Nadine terlihat sangat khawatir, ia harus merangkai kata supaya Vera benar-benar percaya dengan apa yang ia ungkapkan. Saat ini belum tepat saja, kalau ia harus menceritakan kejadian yang sesungguhnya.
"Eh, bener juga ya. Bisa jadi itu emang strateginya tuh rampok. Haduhhh, dua ribu dua satu makin aneh aja stretegi rampok yak."
"Hehe, i, iya Ver. Gue juga heran!"
"Owh iya, terus sekarang rencana lo apa ke depannya? Mau langsung lapor polisi? Kalau iya sekalian gue antar ke kantor polisi nih."
"Hah, eeenggak dulu deh. Ke polisinya besok aja ya. Sekarang gue capek banget nih, pulang aja Ver." Tolak Nadine. Karena sebenarnya tidak ada yang akan pergi ke kantor polisi.
"Ya udah, ini kita cus ke arah rumah lo ya!"
"Jangan ke rumah gue. Mampir sebentar aja ke rumah lo ya. Gue pengen santai dulu di sana."
"Tumben, biasanya juga anak rumahan lo!"
"Bawel! Udah jangan banyak tanya kenapa sih. Nurut sama penumpangnya!" Sentak Nadine setengah meledek.
"Hahaha, iya iya Bu! Kalau gitu sekalian mampir ke pom ya, Bu. Isi bensin sekalian! Hehehe, keburu macet di tengah jalan tar."
"OK! Let's go!"
Verapun melajukan sepeda motornya ke arah pom. Di belakang, Nadine bisa sedikit tenang karena Vera sama sekali tidak mencurigai apapun. Ia berhasil mengarang cerita supaya Vera percaya dengan segala penjelasannya.
***
Setibanya dari kantor, Reynor mengurung diri di kamarnya. Ia berasa malas kalau harus bertemu dengan sang Mama. Mama yang tadinya di harapkan akan menjadi penyejuk hatinya, justru malah memberikan reaksi di luar dugaannya.
Reynor menyandarkan bahunya di kepala ranjang. Pandangannya menerawang ke atas langit-langit kamar. Memikirkan Selena yang masih belum bisa berdamai dengan dirinya.
"Sel, harus gimana lagi agar kamu mau kembali seperti dulu. Aku janji, aku akan segera melamarmu dan kita akan menikah secepatnya." Ujarnya lirih.
Tanpa pikir panjang, Reynor merogoh ponsel di saku celananya. Mencari kontak bernama 'Selenaku', nama yang tidak pernah terganti sampai detik ini.
Tut! Tut! Tut.
'Mau apa lagi sih Rey?' Terdengar suara sambutan yang kurang mengenakan dari Selena.
"Sel, aku mau ketemu sama kamu. Please beri aku kesempatan sekali lagi, sayang. Aku akan?"
'Udah lah Rey. Udah telat! Aku nggak bisa! Please jangan ganggu aku lagi. Aku sekarang sudah bahagia dengan pilihanku. Orang yang benar-benar serius, dan selalu memberikan perhatian penuhnya kepadaku. Orang yang bisa aku jadikan tempat keluh kesahku."
Reynor bangkit dari ranjang. Berdiri dengan tangan kiri yang berkacak pinggang. "Sel, aku janji aku akan berubah! Aku akan memberikan semua yang kamu mau. Kamu mau apa? Jalan-jalan ke Paris? Ke Korea? Atau ke Jepang? Ayok, aku akan turuti itu semua. Ayo lah sayang, jangan kaya anak kecil kaya gini. Kita sudah melewati masa-masa indah selama bertahun-tahun, tidak mungkin secepat ini kamu bisa langsung melupakan aku." Reynor terus menekan. "Atau kamu ingin membeli tas Kremes keluaran terbaru? Tas Balencio? Atau tas branded lainnya? Aku akan kabulkan semua keinginannmu sayang, asal kita bisa kembali bersama-sama lagi. Please!"
'Rey, aku tidak butuh semua itu. Aku butuh kasih sayang, bukan sekedar materi yang berlimpah. Aku butuh orang yang mau mendengarkan aku, mau mengerti mauku. Udah ya Rey, aku lagi sibuk. Satu lagi Rey, jangan hubungi aku lagi. Bye!"
"Sel, Selena! Sayang!" Reynor menarik ponsel yang menempel di telinganya, memandangi layar yang menunjukkan sambungan telefon sudah terputus.
"Aaarggghh!"
Pyarrrr! Reynor melempar ponselnya ke dinding kamar. Seketika benda yang tadinya utuh itu terpecah menjadi beberapa kepingan dan berserakan di lantai.
***
Sesampainya di rumah Vera. Nadine segera berjalan menuju teras. Rumah Vera yang persis berada di sisi jalan gang, membuat mata bisa dengan leluasa memandang lalu lintas keadaan jalanan. Hiruk pikuk, lalu lalang sepeda motor hingga mobil bertebaran.
Nadine duduk di kursi kayu yang ada di sebelah pintu utama. Vera menyusulnya, ikut duduk di samping Nadine yang terhalang meja bulat.
"Mau minum apa lo? Tapi adanya cuma air putih sih, hehe!"
Nadine menengok ke arah Vera dengan wajah kesal. "Capek-capek masih aja ngelawak! Kalau adanya cuma air putih ya kagak usah pakai ditawarin kali mpok. Langsung aja di ambilin!" Ucap Nadine ngegas.
"Hahaha, ya kan ngelawak biar ada hiburan. Biar lo ketawa, nggak kusut gitu."
"Bukan ketawa, kesel nih yang ada!" Semprot Nadine.
Vera tertawa terbahak-bahak, melihat Nadine naik pitam karena ulahnya. Tiba-tiba melintas sepasang remaja berpakaian abu-abu putih. Berboncengan mesra di jalan depan rumah Vera.
"Tuh Ver, lo lihat! Anak zaman sekarang, kecil-kecil pacarannya udah macam suami istri aja ya. Boncengannya macam amplop plus perangko aja, nempelllll."
"Ih, sirik amat sih lo, Din. Ya biarin aja kali, urusan mereka. Bilang aja lo pengen tapi nggak ada lawannya. Wkwkwkwk!" Vera puas melepaskan tawanya.
"Dih, amit-amit! Gue mah tahu batas kali. Gue dulu kalau pacaran sama Chrysto juga nggak segitunya pas ngebonceng. Biasa aja!"
"Hahaha, kemane aje lo? Hal kaya gitu udah wajar, apalagi ini kota besar metropolitan. Jangankan cuma boncengan nempel kaya gitu, free s*x aja bukanlah hal yang tabu buat mereka. Jangankan anak-anak SMA, anak SMP juga udah banyak yang kaya begituan, Din!"
Nadine menarik tubuhnya. "Hah? Masak si Ver? SMP udah kaya gitu?" Serunya kaget.
Vera mengangguk. "Yoi. Dan itu biasa aja."
"Lah, kalau udah gituan sama pacarnya, emang mereka yakin, bakalan jadi suami istri nantinya? Bakalan langgeng hubungannya? Berani banget sih!"
Vera mengangkat kedua pundaknya. "Ya meneketehe! Mau jadi istri atau tidak, tanggungan mereka sendiri lah."
"Terus kalau sampai putus di tengah jalan, emang mereka nggak nyesel? Kalau cowok sih kaya nggak ada bekasnya. Nah kalau yang cewek, pasti ketahuan lah. Terus nanti masih ada gitu laki-laki lain yang mau menerima dia dengan kondisi yang udah nggak virgin gitu?"
"Ya elah, Din. Please deh. Cupu amat sih lo! Dua ribu dua satu emang masih ada yang mempermasalahkan soal kevirginan seseorang? Nggak ada Din, basi!" Vera malah ngegas. "Kalau mereka saling mencintai, ya harus bisa menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya dong!"
"Ya elah, biasa aja ngomingnya!"
"Ngomong keles!"
"Iya itu kamsudnya!"
"Maksud, Din!"
"Iya itu lah. Tapi lo yakin? Seenggak pentingnya kah kevirginan bagi seseorang?"
"Emmm, gimana ya? Penting bagi sebagian kecil orang aja menurut gue sih."
Nadine mendelik menatap Vera, seperti banyak tanya di benaknya. Vera yang merasa aneh dengan tatapan Nadinepun bereaksi.
"Eh, cupu, lo ngapain lihat gue kaya gitu?"
"Hehe, sekarang lo jawab dengan jujur ya. Emang lo sendiri udah nggak virgin ya?"
"Astaghfirullah aladzim Nadine! Eh, asal lo tahu ya, biar gue setelan belangsak gini, gue masih menjunjung tinggi adat ketimuran gue. Gue selalu ingat pesan emak untuk selalu menjaga mahkota itu, dan harus suami gue yang pertama kali memiliki itu, di malam pertama kami nanti."
"Heeee, masak sih? Gue nggak percaya. Emang si Egha duku nggak pernah minta itu sama lo? Hayooo lo ngaku!"
"Si bangke, kagak percaya!"
"Hahaha, habisnya lo tadi bilang kaya gitu sih. Jadi kaya seolah-olah pro aja sama kehidupan anak muda yang free gitu."
"Astaga Nadine! Emang perlu gue bawa lo ke dokter buat ngecek, gue masih virgin atau nggak? Ayok, gue kagak takut, tapi yang bayar dokternya lo. Kalau gue mah udah kelihatan kan kagak punya duit."
"Wkwkwkwkk! Kirain, lo juga salah satu orang penganut paham free s*x itu." Tawa Nadine pecah melihat sahabatnya menunjukkan wajah kesalnya.
"Dasar bangke lo! Sahabat kagak ada akhlaknya!" Gerutu Vera. Iapun berajak, berjalan menuju pintu utama.
"Eh, mau kemana lo? Main nyelonong gitu aja!"
Vera berhenti, menoleh ke arah Nadine. "Mau ambil minum! Tar di cela lagi, kalau pompa air di rumah gue mati gara-gara nggak ada yang bertamu nggak di suguhin air minum! Puas!" Vera melaju kembali, membuka handle pintu dan menghilang.
"Hahahaha, dasar Vera!" Seloroh Nadine tertawa puas.
Beberapa saat tawa Nadine mulai melemah. Ingatannya tiba-tiba tertuju kembali pada sosok Reynor.
"Akhirnya, gue akan mendapatkan keadilan di depan laki-laki sombong itu. Lihat saja besok, lo nggak akan bisa berkelit lagi." Ujarnya lirih, dengan tatapan mata yang menerawang jauh ke ujung jalan di hadapannya.