Bertemu (Kembali)

1743 Kata
Seharian Reynor mengurung diri di dalam kamar. Ia masih belum bisa menerima kenyataan, jika Selena benar-benar memilih laki-laki lain di banding dirinya. "Kurangnya apa aku ini, Sel?" Lirihnya sambil bersandar di tepi ranjang, seraya memandangi wajah Selena yang masih banyak tersimpan di galeri ponsel miliknya. Ibu jarinya terus menyapu foto-foto yang penuh kenangan antara mereka berdua. Semua masih tersimpan rapi di dalam ponsel itu. "Hidup ini memang kadang tidak adil. Kenapa Tuhan harus mengambil kebahagiaanku dengan cara seperti ini!" Reynor memutar kepalanya sembilan puluh derajat, memandangi jendela dengan gerai yang terbuka. Karina yang khawatir dengan keadaan anaknya, mencoba berbagai cara agar sang anak mau keluar dari kamarnya. Karina naik ke lantai dua. Dia sudah berada di depan pintu kamar Reynor. Tok tok tok. “Rey, makan siang dulu yuk. Hari ini Mama masak makanan kesukaan kamu sayang. Spaghetti mozarella. Turun yuk, kita makan sama-sama!” Karina mencoba membujuk Reynor supaya keluar kamar. “Aku nggak lapar Ma. Mama makan duluan aja ya.” Tolaknya dari dalam tanpa membuka pintu. Karina membuang nafas, kecewa pastinya. “Hemm! Padahal Mama sengaja masak buat kamu lho, Rey. Malah nggak di makan.” Sahut Karina dengan nada lemas. “Padahal Mama bela-belain tadi keluar ke supermarket beli bahan-bahannya. Sampai rumah Mama masak sendiri, malah yang di masakin nggak mau makan. Ya udah, Mama makan sendiri aja lah.” Karina memutar tubuhnya, hendak kembali ke bawah. Baru beberapa langkah dari pintu, tiba-tiba suara pintu terdengar terbuka. Ceklek! Karina kembali memutar kepalanya, Reynor sudah berdiri dengan memegang handle di sana. Ia pandang wajah Reynor yang menyambutnya dengan senyum walaupun terpaksa. Karinapun terlihat tersenyum. “Iya, iya. Aku mau makan masakan Mama.” Ucapnya lalu melangkah mendekati Karina. Merangkul pundak sang Mama dan berjalan bersama menuruni tangga. Sesampainya di meja makan, Reynor langsung menyantap spaghetti buatan sang Mama yang rasanya dari dulu memang tiada tandingannya, bahkan dari restoran-restoran terkenal sekalipun. Buatan sang Mama jauh lebih lezat. Karina menatap anaknya yang terlihat sangat menikmati hidangan buatannya itu. Senyum kecil kini menghiasi bibirnya. "Enak nggak?" "Enak dong!" Sahut Reynor dengan mulut yang penuh. "Hati-hati makannya! Nanti tersedak." Reynor menelan makanan yang ada di mulutnya. "Habisnya masakan Mama yang satu ini nggak ada tandingannya." Mengambil air putih, meneguknya hingga setengah gelas habis. "Mama juga makan dong, masak di anggurin gitu aja. Sayang tuh keburu dingin." "Mama lihatin kamu makan aja udah kenyang Rey!" "Masak lihatin orang makan aja udah ikutan kenyang, Ma! Aneh!" "Ya udah, Mama temenin kamu makan nih." Karina mulai mengaduk-aduk spaghetti yang sudah mulai dingin itu. Kedua pun makan bersama. ***** Waktu menunjukkan pukul empat sore. Nadine dan Vera sudah siap-siap meninggalkan cafe karena jam kerja mereka sudah selesai. "Anterin gue beli handphone dulu ya Ver. Susah juga nih nggak ada handphone, ke tempat yang biasa aja, waktu kemarin aku beli power bank." Ucap Nadine saat berjalan bersama menuju parkiran. Vera menengok Nadine yang ada di sebelahnya. "Cie, yang baru gajian. Langsung mau beli handphone nih. Handphone baru makan-makan!" Ledeknya. "Kan gue nggak punya handphone Ver, mumpung ada uang ya beli lah." Sahut Nadine sewot. "Emang yang kemarin udah nggak bisa dibenerin?" "Bisa sih, tapi itu handphone juga udah ketinggalan model sih. Pengen ganti yang baru juga. Pengen gue musiumin, sebagai bukti sejarah perjuangan gue saat kerja di cafe ini." "Haishh, bukti perjuangan katanya. Nih ngomong sama p****t!" Ucap Vera menjentikkan pantatnya pada Nadine. "Rese lo! p****t kecil aja lo pamerin!" "Biarin kecil, yang penting masih orisinil! Masih perawan! Hahaha." Degh! Dada Nadine tiba-tiba sesak mendengar ucapan Vera. Kakinya mendadak terhenti. Seketika dia ingat kembali dengan kejadian di malam itu. Malam ia ternoda oleh Reynor. "Nadine! Woi!" Teriak Vera yang sudah nangkring di atas jok sepeda motornya. Namun sepertinya Nadine tak bereaksi. "Nadine!" Teriak Vera, lagi. "Astaga!" Nadine tersadar dari lamunan. Menengok kanan dan kiri, Vera memang sudah tak ada di sampingnya. "I-iya. Lo udah sampai situ!" Nadine dengan cepat berjalan menuju Vera yang sudah siap mengangkat gas di tangan kanannya. "Woi, lo kenapa bengong! Buruan naik! Katanya mau beli handphone baru." "Nggak, gue ingat sesuatu aja." Ucapnya seraya naik di belakang Vera. "Yuk, gas!" Vera dan Nadinepun meluncur. ***** Ramon kembali ke rumah, hari ini dirinya juga memilih tidak kerja lembur untuk pulang lebih cepat dari biasanya. Untuk apa lagi, kalau bukan untuk mempersiapkan makan malam dengan calon besannya. Ramon langsung menuju ke taman samping, dimana Karina biasanya beraktifitas di sore hari. "Mama!" Sapanya pada Karina yang tengah menyiram bunga-bunga kesayangannya di taman samping. Karina menengok ke belakang, "Papa? Tumben pulang cepat!" Meletakkan gembor di samping pot lalu menyambangi Ramon. "Kan nanti kita mau makan malam sama keluarga Wilan. Gimana sih?" "Hemmm, tapi kayanya waktunya kurang tepat deh, Pa. Situasinya lagi kurang baik. Mama nggak yakin, Rey mau ikut sama kita. Hatinya lagi kacau gara-gara Selena tadi pagi." Terang Karina, mengambil tas kerja yang masih di tenteng oleh suaminya. "Papa aja yang bicara kalau gitu, Ma. Siapa tahu masuk!" "Ya udah yuk. Tadi sih anaknya lagi di ruang tengah main game, kita kesana aja." "Yuk!" Ramon dan Karina berjalan bersama menuju ruang tengah. Terang saja, Reynor masih ada di sana, memainkan stik di tangannya dengan serius, sampai tak sadar ada orang yang datang menyambanginya. "Ehemmm!" Ramon duduk di sebelah anaknya. "Papa! Kapan datang?" Sapanya masih fokus pada stik di tangannya. "Nanti malam jadi ikut Papa sama Mama makan di luar ya, Rey!" Ucap Ramon to the point. "Malas, Pa!" "Sekali aja! Kali aja ini permintaan Papa yang terakhir. Masak nggak mau sih!" Celetuk Ramon. "Husss! Papa ini ngomong apa sih!" Potong Karina dengan raut wajah tak suka. Ramon menatap Karina seraya mengedipkan sebelah matanya. Tanda ini hanya trik untuk meluluhkan hati Reynor semata. Reynor masih enggan menanggapi permintaan sang Papa. Masih fokus menatap layar datar di depannya. "Rey. Kamu beneran nggak mau menuruti keinginan Papa yang terakhir ini? Kamu nggak bakalan nyesel, kalau nantinya Papa benar-benar udah nggak akan meminta kamu untuk melakukan sesuatu lagi untuk Papa?" Tiba-tiba Reynor menegakkan kepalanya. Menengok Papanya yang ada di sebelahnya. "Papa ini ngomong apa sih? Bercandanya nggak lucu!" Sentak Reynor dengan wajah merengut. Reynor kembali fokus pada stik di tangannya. "Ya udah, makanya mau nggak? Kali ini aja Papa minta! Lain kali Papa janji nggak akan minta apa-apa lagi sama kamu. Please my beloved son!" Pintanya dengan nada memelas. Reynor menekan tombol pause pada stiknya, menengok Papanya kembali yang masih ada di sampingnya. "Iya, aku mau! Tapi kali ini aja lho, Pa! Lain kali nggak bakalan mau!" Wajah Ramon berubah berseri. "OK! Deal ya!" Ramon memajukan tangannya. Dengan berat hati, Reynor juga menyambut uluran tangan sang Papa. "OK deal!" Karina dan Ramon sama-sama menghela nafas lega. "Alhamdulillah!" Ucapnya bersamaan. Karina dan Ramon saling memandang. Melemparkan senyuman riang satu sama lain. ***** Lepas maghrib, Nadine baru sampai rumah. Sang Ibu yang menunggunya sejak tadi tak henti mondar-mandir di teras depan. "Assalamualaikum!" "Waalaikumsalam! Ya ampun Nadine, kamu dari mana aja sih? Ibu cemas dari tadi nungguin kamu. Emang kamu lupa ya, tadi Ibu pesan apa? Selesai kerja langsung pulang. Ini jam segini malah baru sampai rumah!" Cerocos Rosa pada anaknya. "Udah ngomelnya?" Nadine berlalu ke dalam rumah. Menuju bangku di ruang tamu. Rosa mengekor dari belakang, melanjutkan omelannya. "Ibu itu benar-benar khawatir, nak. Kamu kan bisa ngasih kabar pakai handphone Vera. Kamu dari mana sih?" "Dengerin penjelasan Nadine dulu ya Ibu Rosa yang paling cantik! Kenapa pulangnya jam segini? Soalnya tadi Nadine nyari handphone dulu, jadi agak lama." Nadine merogoh sesuatu dari dalam saku celananya. "Nih. Handphone baru Nadine." Rosa menghela nafasnya panjang. "Walah, kamu beli handphone baru? Hemmm, ya sudah nggak apa-apa! Sekarang mending kamu mandi terus dandan yang cantik! Malam ini kita mau makan di luar!" Nadine mengerutkan alisnya. "Makan di luar? Tumben amat! Panen lelenya Ayah dapat banyak ya?" "Nggak usah banyak tanya!" Rosa melepaskan tas gendong Nadine. "Ini handuknya! Sekarang kamu mandi gih. Buruan!" Ucap Rosa seraya menarik tangan Nadine, lalu mendorong tubuhnya menuju ke kamar mandi. ***** Cukup menempuh jarak dua puluh menit, Nadine beserta Ayah dan Ibunya sudah sampai di rumah keluarga Ramon. Betapa kagumnya mereka bertiga saat menapakkan kaki mereka di halaman rumah megah berlantai tiga itu. "Ya ampun Yah. Rumahnya Ramon gede juga ya. Dulu terakhir kita kesini belum semewah ini." Ucap Rosa. "Bener Bu. Ya, namanya juga orang sukses. Wajar lah rumahnya segede ini." "Udah deh, jangan pada udik gini. Malu-maluin. Ayo buruan masuk!" Cela Nadine yang geli melihat tingkah kedua orang tuanya. Walaupun sebenarnya, dalam hatinya juga sangat takjub dengan kemewahan rumah keluarga Ramon. Keluarga Wilan sudah di sambut hangat oleh Ramon dan Rosa di depan pintu. Kedua keluarga ini begitu kentara menunjukkan kebahagiaan mereka. "Akhirnya, bisa juga Wil kita makan malam bersama, hahaha." Ucap Ramon dengan gelak tawa. "Bisa dong! Semuanya bisa di atur!" Balas Wilan. "Hai jeng Rosa, apa kabar?" Gantian Karina menyapa Rosa. "Baik jeng. Jeng Karin sendiri gimana?" "Baik juga." Karina memandang gadis di sebelah Rosa. Gadis berkulit putih, dengan tinggi standar orang Asia. Memakai dress bunga-bunga setinggi lutut dengan rambut di kuncir kuda. "Ini Nadine ya?" Nadine mengangguk malu-malu. "He, iya tante." Menyalami Karina dan Ramon. "Gimana Ma? Sesuai dengan apa yang Papa katakan?" Celetuk Ramon menatap istrinya. "Ternyata anaknya lebih cantik dari apa yang tante bayangkan." Puji Karina dengan senyum merekah. "Terima kasih tante." "Ayo, pada masuk! Malah pada keasyikan ngobrol di luar." Wilan beserta keluarga masuk ke dalam rumah. Langsung di arahkan ke meja utama, yaitu meja makan. "Mau langsung acar inti nih, Mon?" Celetuk Wilan, basa-basi. "Iya dong! Kan sesuai dengan judulnya, makan malam, hahaha!" "Ayo silakan duduk semuanya!" Sahut Karina. Semuanyapun duduk. "Raynor mama, Ma? Kok belum turun." "Sebentar lagi juga turun, Pa." Mendengar kata Reynor, ada yang mengganjal di hati Nadine. 'Reynor! Kaya nggak asing namanya, atau cuma perasaanku saja ya.' Batin Nadine mulai gelisah. Reynor akhirnya menuju ke meja makan. Mendekati tiga orang yang sedang duduk membelakanginya. 'Ini pasti teman Papa. Yang laki-laki dan perempuan dipinggir itu pasti teman Papa dan istrinya. Lalu yang di tengah itu pasti anaknya. Haishhh, nora banget fashionnya. Dress bunga-bunga macam itu udah nggak musim kali. Masih aja di pakai. Hehh, kalau nggak nurutin keinginan Papa, ogah gue harus di ajak kaya gini.' "Buruan, Rey. Sudah pada nungguin nih." Seru Karina melambaikan tangan ke Reynor. Reynor hanya melemparkan senyumnya, mempercepat langkahnya menuju bangku bergabung dengan semua orang. Reynor menarik kursi duduknya yang persis di seberang Nadine. Perlahan ia mengangkat kepalanya. Nadine yang sedari tadi hanya menunduk pun juga melakukan hal yang sama. Dan tiba-tiba... "Hah! Kamu!" Keduanya berseru bersamaan. Semua orangpun terperanjat mendengar serian dari anak-anak mereka. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN