Kedua tangan Nadine sedikit menggebrak permukaan meja di hadapannya. Mulutnya terbuka setengah lebar, sedangkan Reynor menutupkan bibirnya, mencoba menahan kedua giginya di dalam.
Ramonpun terhenyak, mengerucutkan bibirnya. "Kalian berdua sudah saling kenal?"
Wilan menimpali. "Wah, pucuk di cinta ulampun tiba, jodohpun tak akan kemana. Hehehe."
Karina dan Rosa ikut bersuara.
"Wah, kalau sudah kenal gini kan enak. Ya nggak jeng? Nggak perlu maksa-maksa lagi."
"Betul jeng. Nggak akan sesulit yang kita pikirkan."
Ke empat orang tua itupun terlihat makin antusias. Sorak kegembiraan jelas terpancar dari wajah semuanya.
Semuanya merasa senang, tapi tidak untuk Nadine dan Reynor. Keduanya saling memandang dengan emosional.
"Kok cuma tatap-tatapan? Salaman dong, biar makin dekat, hehehe." Ledek Ramon.
Reynor membuang nafas dengan kasar, terpaksa dia mengulurkan tangannya duluan ke hadapan Nadine.
"Nadine, kenapa diam? Itu tangannya nak Reynor keburu pegel nunggu tangan kamu, hehe." Rosa ikut meledek.
Terpaksa juga Nadine memberikan balasan atas tangan Reynor yang sudah duluan maju. Akhirnya keduanya berjabat tangan, walaupun secepat kilat dan saling ingin melepaskan duluan.
"Ngomong-ngomong kalian kenal dimana? Kamu kok nggak pernah cerita sama Ayah atau Ibu, Din? Biasanya kalau ada sesuatu, kamu pasti cerita sama kami."
"Dia, dia. Eeemmm... " Nadine memutar otak.
'Awas aja lo bilang kalau gue ini orang yang udah lo tuduh memperkosa lo. Enak aja lo permalukan gue di hadapan orang banyak gini.' Batin Reynor.
"Dia itu orang yang kemarin nolongin aku waktu mau di copet waktu di parkiran supermarket, Yah. Nih orangnya yang nolongin. Tapi belum sempat nanyain namanya dia udah pergi duluan." Nadine berbohong. Tak mungkin dia bercerita jika Reynor adalah orang yang sudah menodainya malam itu.
Sontak mata Reynor mendelik mendengar penuturan Nadine.
'Dasar emang pembohong! Bisa-bisanya dia mengarang cerita receh kaya gini.' Batin Reynor kesal.
"Di copet? Kamu kok nggak pernah cerita sama Ayah atau Ibu?" Seru Wilan.
"Iya Din. Biasanya kalau ada apa-apa kamu juga cerita sama Ibu!" Sahut Karina.
"Aku lupa. Lagian kan itu kejadian nggak enak Yah, Bu. Jadi nggak perlu di ingat-ingat juga kan." Elak Nadine.
"Iya juga sih. Tapi ngomong-ngomong makasih banyak lho nak Reynor, udah bantuin Nadine. Coba kalau nggak ada kamu, gimana nasib Nadine selanjutnya." Sahut Wilan.
"Betul banget! Memang kalau sudah ditakdirkan bertemu itu ada saja cara Tuhan mempertemukan." Timpal Rosa.
Nadine menyenggol Ibunya dengan menggerakkan sikutnya. "Apaan sih Bu." Ucapnya lirih.
"Iya, sama-sama tante, om. Kebetulan aja pas saya lewat di jalan itu. Kalau nggak ya mungkin udah di tolongin sama orang lain." Sahut Reynor yang akhirnya sama-sama mengarang cerita.
"Wah, wah, wah. Macam di sinetron aja ini ya kisahnya, hahaha." Ramon berkelakar. "Awalnya ketemu nggak sengaja, ternyata dia jodohnya."
"Hahahaha!" Semua orang tertawa lepas, kecuali Nadine dan Reynor yang saling menatap menahan dengan gejolak hati mereka masing-masing.
'Gue nggak bakalan mau di jodohin sama perempuan gila ini. Mending gue gantung diri dari pada harus menuruti keinginan Papa.' Batin Reynor penuh amarah.
*****
Sepulangnya dari makan malam, selama perjalanan pulang, Nadine berubah menjadi pendiam. Dia masih shock, sama sekali tak akan menyangka, jika akan bertemu dengan Reynor kembali. Bahkan ternyata hubungan keluarga mereka sangatlah dekat.
"Din, gimana menurut kamu? Anaknya om Ramon ganteng nggak?" Tanya Rosa tiba-tiba.
Tak ada tanda-tanda sahutan dari Nadine. Rosa yang duduk di bangku depan di samping sang Ayahpun menengok ke belakang. "Din! Kamu ngelamun? Ibu tanyain nggak nyahut!"
"Eh, iya. Kenapa bu? Tanya apa? Maaf aku udah ngantuk! Hoaahemmm!" Nadine. pura-pura menguap.
"Ibu tanya, anaknya Om Ramon ganteng nggak? Kamu suka nggak?"
"Hah? Ganteng? Biasa aja lah Bu. Cowok ya kaya gitu!"
"Lah, kamu ini gimana sih! Masa kaya gitu bilangnya biasa aja. Kalau menurut Ibu sih ganteng banget, kelihatan dewasa juga. Iya nggak Yah?"
"Iya ganteng lah. Cocok sama kamu lho Din! Hehehe."
"Dih, Ayah sama Ibu apa-apaan sih? Aku nggak kepikiran kesitu!"
"Ya namanya juga orang tua Din. Pasti pengennya itu ngasih yang terbaik untuk anaknya. Apalagi anak satu-satunya. Iya kan Yah?"
"Iya pastinya. Setiap orang tua ingin melihat anaknya bahagia. Berdampingan dengan orang yang tepat, kalau bisa ya kaya Reynor tadi. Udah ganteng, mapan juga. Jadi, para orang tua nggak akan khawatir, anak perempuan mereka akan aman dan nggak akan kekurangan sedikitpun."
"Jadi, maksud Ayah sama Ibu ngajak aku makan malam itu karena ini? Hemmmm, ada udang di balik batu ternyata." Seloroh Nadine makin kesal.
"Ayah sama Ibu sih cuma pengen memperkenalkan kalian aja. Yah, siapa tahu cocok, terus bisa lanjut ke tahap yang lebih serius lagi." Timpal Rosa.
"Ini tahun berapa sih Bu? Masih main jodoh-jodohan kaya gini. Lagian aku kan udah gede, bisa nyari sendiri. Usiaku juga masih muda, masih belum mikirin hal begituan." Elak Nadine.
"Iya kan pendekatan dulu Din. Tapi Ayah sama Ibu nggak mau maksa juga sih. Semuanya terserah kamu, karena nanti juga kamu sendiri yang menjalani."
"Aku pikir nanti lah Yah. Aku masih mau fokus kerja dulu."
"Semua keputusan ada di tangan kamu sayang. Ibu sih dukung-dukung aja." Sahut Rosa seraya menoleh ke belakang. Melemparkan senyuman pada putrinya. Nadinepun membalasnya hanya dengan senyum yang ia paksakan.
'Tapi kenapa gue harus nolak ya? Harusnya kan gue seneng dong! Nggak perlu susah payah menuntut tanggung jawab ini itu pada laki-laki itu. Keluarga kita aja semuanya mendukung hubungan ini, harusnya gue langsung terima aja." Nadine sedikit melebarkan bibirnya. 'Ternyata Tuhan sudah mempersiapkan ini semua untukku.' Batin Nadine.
Sementara, tak jauh berbeda dengan kebahagiaan yang tengah Wilan dan Rosa rasakan. Ramon dan Karina juga merasakan hal yang serupa. Raut wajah mereka berdua terlihat begitu ceria.
"Gimana Rey? Nadine cantik nggak? Nggak kalah sama Selena." Celetuk Karina di belakang sofa tempat Reynor duduk, yang lagi-lagi tengah memainkan stik di tangannya. Sepeninggal keluarga Wilan, Reynor segera mengambil posisi untuk berada di depan layar datar itu. Dengan memainkan game, akan membuat ingatannya tak lagi memikirkan Selena terus menerus.
Karina menekan kedua tangannya ke pundak Reynor, setengah memijit.
"Cantik apaan? Kalau kaya gitu cantik, terus yang jelek kaya apa? Pokoknya udah ya, Ma, aku udah nurutin permintaan kalian berdua. Ini pertama dan terakhirnya aku bertemu sama perempuan itu!"
"Ya ampun Rey, kamu sama sekali nggak tertarik sama Nadine? Mama lihat anaknya itu baik lho. Anaknya kalem, sopan, dan sepertinya juga nggak neko-neko. Ya, perempuan yang bisa di atur lah nantinya kalau sudah jadi istri. Masak sedikitpun kamu nggak mau kenal lebih dekat sama dia!"
"Nggak sama sekali!" Jawabnya lugas.
"Padahal Mama berharap kamu bakal melirik Nadine. Tapi ya sudah lah, kalau kamu masih belum mau membuka hati kamu kembali untuk perempuan lain, Mama bisa memahami itu. It's OK. Tenangkan dulu hati kamu, enjoy your life, doing everything what you want!" Tutur Karina seraya menepuk pundak sang anak.
Reynor mendongakkan kepalanya ke atas, menatap sang Mama. "Makasih ya Ma. Mama adalah orang yang selalu support aku dalam keadaan apapun. Maafin aku yang masih saja selalu bikin Mama sedih, yang masih suka marah-marah nggak jelas juga sama Mama. I am verry sorry!"
"Doesn't matter!" Karina membungkukkan tubuhnya, merengkuh putra semata wayangnya dengan penuh cinta.
Tiba-tiba suara hentakan kaki terdengar mendekati keduanya.
"Wah, wah, wah! Ada apa ini? Saling peluk-pelukan gitu." Sapa Ramon seraya berjalan.
Karina melepaskan tangannya, menengok ke belakang. "Nggak ada apa-apa. Cuma lagi kangen-kangenan aja ya Rey."
Reynorpun menghadap ke belakang. "Hemmm!"
Ramon ikut duduk di samping Reynor. Kini Karina berada di tengah-tengah kepala kedua laki-laki yang sangat ia cintai. Ramon di sebelah kanan dan Reynor di sebelah kiri.
"Hemmm, Mama jadi paling cantik nih!" Serunya girang.
"Mama akan selalu jadi yang tercantik di antara kami. Iya kan Rey?" Ucap Ramon.
"Iya dong! The one and only!" Reynor mendaratkan kecupan ke pipi kiri Karina.
"Oh iya, Papa besok jadi berangkat ke Medan ya, Ma. Akan ada peletakan batu pertama pembuatan kantor cabang yang di sana. Mama mau ikut nggak?"
"Nggak ah Pa. Mama lagi malas kemana-mana. Papa aja berangkat sendiri, atau kamu mau nemenin Rey?"
"Aku juga lagi malas kemana-mana, Ma. Biar Papa aja yang berangkat sendiri. Lagian udah gede ini, masak nggak berani berangkat sendiri." Ledek Reynor melirik sang Papa.
"Hahaha, ya sudah kalau nggak ada yang mau nemenin Papa. Lagian juga cuma sebentar di sana, sorenya bisa langsung pulang." Terang Ramon. "Mama kesini dong, kita duduk bertiga, Papa tiba-tiba pengen meluk kalian berdua bersamaan. Udah lama kita nggak berpelukan kaya teletubbies, hehe." Pinta Ramon.
"Lah, kaya anak kecil aja pakai peluk-pelukan!"
"Udah buruan sini, Ma!" Seru Ramon memaksa.
"Hemm, iya iya!"
Karina mengiyakan permintaan suaminya, berjalan mengitari sofa, lalu menyelinap di tengah-tengah suami dan anaknya. Ketiganya berpelukan erat, menyatukan kepala, berhimpitan erat, suasana terasa hangat.
"Reymon, anak Papa satu-satunya. Nanti kalau Papa udah nggak ada, tolong kamu jaga Mama dengan sebaik-baiknya ya. Papa nggak mau terjadi apa-apa sama Mama. Jangan kamu bikin Mama sedih, terlebih lagi sampai membuat Mama menangis. Papa akan sangat marah kalau sampai itu terjadi. Paham!"
Reynor menatap mata sang Papa. "Papa ini ngomong apa sih? Udah kaya orang pamitan nggak mau kembali pulang aja. Ya kita berdua lah yang akan jagain Mama, kita sama-sama jagain bidadari kita ini, Pa."
"Iya, Papa ini dari kemarin ngomongnya ngelantur aja. Kita akan selalu sama-sama Pa, sampai akhir nanti. Sampai kita mengantarkan Reynor ke gerbang kehidupan barunya nanti dengan wanita yang dia cintai. Melihat anak dan cucu-cucu kita tumbuh besar. Kita akan menua bersama Pa."
"Aamiin." Sahut Ramon yang berkaca-kaca, semakin menguatkan pelukannya terhadap istri dan anaknya.
Bersambung...