Seorang dokter laki-laki dengan name tag Irwan keluar dari ruang UGD dengan kening berpeluh. Dia memakai masker khas rumah sakit dan jubah khusus diikuti oleh dua perawat wanita.
"Pasien dalam kondisi kritis, apa sudah ada informasi tentang keluarga pasien?" tanya dokter tersebut pada kedua perawatnya.
Mereka berdua kompak menggelengkan kepala. Ya, orang yang terakhir bersama Aby adalah sopir truk yang sekarang sedang menunggu keluarga yang datang di ruang tunggu.
"Menurut seorang laki-laki yang mengaku sebagai penabrak korban beliau belum menemukan keluarga dari pasien, Dok." Dokter muda itu manggut-manggut. Dia lalu membuka maskernya.
"Saya harap keluarganya segera datang. Kita tidak bisa mengambil tindakan serius tanpa persetujuan dari keluarganya. Kalau begitu saya ke ruangan saya sebentar, tolong segera infokan kepada saya kalau ada keluarga pasien yang datang."
"Baik, Dok."
---
Vania menggenggam erat gelang Aby sepanjang perjalanan. Wanita itu berderaian air mata, dia berusaha menahan isakan hingga tubuhnya terguncang. Rasa bersalah dan takut kehilangan bercampur menjadi satu.
Saat ini Vania baru sadar kalau seseorang yang selama ini membuat dia nyaman dan bahagia adalah Aby bukan Romi. Dia juga mulai bisa melihat bagaimana Aby begitu tulus menyayangi dirinya. Dia tahu ini terlambat, tetapi sungguh, Vania tidak ingin berpisah dengan Aby. Dia ingin diberi satu kesempatan lagi untuk memperbaiki hubungan mereka.
"Pak, tolong lebih cepat. Kita ke rumah sakit terdekat, saya yakin Aby ada di sana."
"Baik, Nyonya."
Pak Edi mempercepat laju kendaraan mereka. Lelaki itu iba terhadap Vania karena kesalahan yang dia lakukan cukup fatal. Pak Edi yang sudah lama bekerja dengan Mirna paham, bagaimana wanita itu bersikap saat anak semata wayangnya tersakiti. Apalagi yang terjadi sekarang bahkan lebih parah dari itu.
Sesampainya di rumah sakit Arta Medika, rumah sakit terdekat dari rumah Vania dan Aby, wanita itu segera turun dan berlari menuju ke bagian resepsionis. Di saat panik seperti sekarang, berlari pun seakan hanya jalan di tempat. Sangat lambat dan hal itu membuat Vania semakin cemas.
"Sus, apakah beberapa menit yang lalu ada seorang lelaki korban kecelakaan yang dibawa ke sini?" tanya Vania dengan pengucapan yang lebih cepat dari manusia pada normalnya.
"Apakah yang kakak maksud seorang lelaki tampan berkulit putih?" tanya resepsionis yang kebetulan sempat melihat Aby dibawa masuk.
"Benar. Dia ada di rumah sakit ini?" tanya Vania lagi dengan penuh harap.
"Pasien saat ini ada di ruang UGG, Kak. Silakan kakak lurus saja, sampai ujung koridor belok ke kanan, setelahnya belok lagi ke kiri." Resepsionis dengan name tag Rina tersebut memberikan arahan, kemana Vania harus pergi untuk menemukan Aby.
"Terima kasih, Sus." Tanpa menunggu sahutan wanita dengan balutan baju seragam berwarna putih tersebut, Vania bergegas dan berlari sekuat tenaga menuju ruang UGD. Dia tidak peduli bagaimana reaksi orang terhadap dirinya. Hal yang paling penting saat ini adalah melihat keadaan Aby.
Beberapa meter dari ruang UDG, mendadak tenaga Vania seakan habis terserap. Kakinya seolah tak bertulang. Dia berjalan perlahan bahkan begitu pelan. Air mata wanita itu kembali berjatuhan. Rasa bersalah semakin menguasai dirinya. Dia bahkan bukan istri yang baik untuk seorang Aby yang polos seperti kertas tanpa goresan.
"Andai aku bisa mengulang semuanya dari awal, aku tidak akan pernah meninggalkanmu, aku tidak pernah main-main dengan perasaanku. Seharusnya aku bisa melihat bagaimana kamu tulus menyayangiku, Aby."
"Aku mohon jangan tinggalkan aku. Beri aku satu kesempatan lagi untuk membalas perasaanmu dengan tulus. Aku tidak akan meninggalkan kamu lagi, aku hanya akan mencintaimu. Aku mohon, By."
Langkah Vania terhenti tepat di depan ruang UDG. Wanita itu mengintip melalui kaca berbentuk persegi yang sengaja di-desain agar keluarga pasien dapat melihat kondisi keluarganya di balik pintu rawat.
Vania bisa melihat ada dua orang perawat di dalam. Mereka seperti sedang melakukan beberapa pemeriksaan, untuk mengetahui bagaimana kondisi terbaru Aby sambil menulis hasil laporan di atas kertas yang mereka bawa.
Wanita itu bisa melihat banyak alat terpasang di tubuh Aby. Dari apa yang dia lihat, Vania tahu seberapa parah kondisi lelaki itu. Seketika dia luruh ke lantai. Menelusupkan kesepuluh jari miliknya ke sela-sela rambut dan meremas kuat.
Vania kembali menangis hingga tubuhnya kembali terguncang. Dia tidak sampai hati untuk melihat kondisi Aby. Bahkan dia takut berharap suaminya akan bertahan. Kondisi lelaki itu sekarang benar-benar kritis.
---
Mirna yang sedang duduk bersantai dengan ibunya yang tidak lain adalah nenek Aby dikejutkan oleh suara dering ponselnya. Wanita itu mengerutkan dahi saat membaca nama pak Edi, sopir Aby tertera di layar ponselnya.
Takut terjadi sesuatu yang penting membuat Mirna tanpa ragu menggeser tombol hijau dan menerima panggilan dari sopir anaknya. Saat pak Edi menceritakan perihal kecelakaan yang dialami oleh Aby, ponsel wanita itu langsung terjatuh. Mirna terduduk ke kursi dengan wajah syok.
"Ada apa, Mir?" tanya nenek tua yang duduk di sampingnya.
"Aby, Ma. Aby kecelakaan. A-aku harus pulang." Mirna bangkit dari duduknya. Air mata wanita itu jatuh tanpa komando.
"Kalau begitu, biarkan mama ikut. Mama juga mau lihat bagaimana kondisi Aby." Nenek itu ikut bangkit dari duduknya.
"Ayo, Ma. Kita harus cepat. Pak Edi bilang kondisi Aby kritis." ucap Mirna dengan bibir bergetar.
"Bukankah kamu bilang dia sudah menikah? Lalu kenapa dia bisa mengalami kecelakaan?"
"Menurut keterangan pak Edi, Aby ketakutan di rumah sendirian saat hujan datang. Itu artinya Vania tidak ada di rumah sampai Aby nekat mencarinya ke luar rumah. Ibu tahu, bukan ... Aby paling takut dengan hujan lebat dan guntur."
Nenek tua itu ikut menjatuhkan air mata dan lebih memilih untuk memeluk erat tubuh Mirna. Dia paham, saat ini anaknya sedang membutuhkan banyak dukungan.
"Mungkin keputusanku untuk menikahkan Aby adalah kesalahan, Ma. Seharusnya aku saja yang menjaga anakku sendiri. Tidak ada manusia di bumi ini yang bisa menerima Aby dengan tulus seperti kita. Anakku memang tidak normal, tetapi dia juga layak untuk mendapatkan kasih sayang. Aku sudah memberikan segalanya untuk wanita itu, apa salahnya dia membalasku dengan menyayangi Aby. Tapi yang terjadi justru tidak sesuai dengan keinginanku. Aku menyesal telah mengambil keputusan bodoh itu," Rasa penyesalan wajar dirasakan oleh Mirna. Selama 27 tahun wanita itu sudah menjaga Aby dengan baik. Tanpa terluka sedikitpun.
"Ini musibah, Mirna. Siapa tahu istri Aby memang dalam kondisi darurat dan harus meninggalkan Aby." Wanita tua itu berusaha untuk menjadi penengah.
"Tidak, Ma. Setelah kejadian ini aku harus mengambil alih Aby kembali. Aku harus mengembalikan wanita tidak tahu diri itu ke tempat asalnya. Aku sudah menjelaskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dia sudah melanggar persetujuan denganku." Mirna tampak diliputi amarah.
Dia memang sudah mempercayakan segala hal tentang Aby pada Vania karena dia pikir wanita itu sudah bisa menerima anaknya sepenuh hati,tetapi yang terjadi justru di luar dugaan. Bagaimana bisa Vania membiarkan Aby seorang diri di rumah saat hujan lebat. Tidak mungkin hujan turun begitu saja dan Mirna yakin kalau Vania bisa memperkirakan kalau hujan itu akan segera turun.
"Sudah, tenangkan dulu pikiranmu, Mirna dan sebaiknya kita segera berangkat sekarang juga. Aku yakin Aby sangat membutuhkan kita." Nenek itu mengingatkan anaknya.
Mirna mengikuti saran orang tuanya. Mereka kembali ke kota tempat Vania dan Aby tinggal. Sepanjang perjalanan, Mirna tidak berhenti berdoa untuk memohon kesembuhan Aby pada Tuhan. Dia sesekali terisak, mengingat buah hatinya yang kini mungkin sedang sekarat.
Sejak kecil, Aby tidak pernah menyusahkan Mirna. Walaupun anak lelakinya itu tumbuh dengan kejiwaan yang tidak normal, Aby tidak sekalipun membuat Mirna kesulitan. Di balik sikapnya yang super manja, Aby penurut dan sangat dekat dengan Mirna.
Aby juga mudah dekat dengan orang yang membuatnya nyaman. Dia tidak bisa jauh dengan seseorang yang sudah dia anggap 'teman'. Dia memang tidak normal, tetapi saat sayang pada seseorang, Aby berusaha untuk memberikan perhatian dengan cara dia. Memang caranya terkadang kekanakan, tetapi Mirna suka itu.
"Ya Tuhan, tolong selamatkan anakku. Tolong jangan ambil dia sebelum aku menemukan orang yang bisa menerima dia dengan tulus. Aku ingin anakku bisa bahagia seperti lelaki normal pada umumnya dan aku pikir keinginanku tidak berlebihan. Tolong aku Tuhan, ulurkan tanganMu yang maha baik untuk menyembuhkan Aby. Aku akan menjaganya kembali sebaik mungkin kali ini. Aku berjanji." bisik Mirna dengan batin teriris. Air mata wanita itu seperti tak bisa kering. Menggambarkan luka seorang ibu yang sangat mencintai anaknya.
---
Vania duduk dengan cemas. Dokter Irwan dan beberapa perawat tengah menangani Aby setelah mendapat persetujuan darinya. Wanita itu terus saja menangis. Dia benar-benar takut kehilangan Aby untuk selamanya. Dia terlalu takut untuk mendapati kenyataan kalau Aby tidak akan membuka matanya lagi.
"Aby, kamu nanti akan bangun lagi, kan? Kamu pasti mau makan ayam goreng lagi, aku akan masak ayam goreng sebanyak kamu mau kalau nanti kamu sembuh. Kamu harus janji nggak akan ninggalin aku, By. Aku minta maaf, aku tahu aku bodoh, sangat bodoh. Tidak seharusnya aku menduakan pria sebaik kamu." Vania menatap fotonya bersama Aby, kenangan saat mereka membuat kue bersama.
Vania memutuskan untuk menjadikan foto yang dia lihat menjadi wallpaper di layar ponselnya. Mendadak mata Vania membulat saat melihat kalender di pojok kiri ponsel yang tengah dia pegang.
"Aku telat datang bulan, bahkan sudah lebih dari sepuluh hari. Jangan-jangan aku ... hamil?"
Vania mengingat kembali, dia melakukan hubungan suami istri dengan Aby bahkan lebih dari tiga kali. Dia tidak bisa menolak karena Aby terus merengek untuk mengulang permainan dalam selimut mereka.
"A-aku harus memastikan." Wanita itu bergegas meninggalkan bangku tempat dia duduk. Dengan langkah cepat dia menuju ke apotik untuk membeli alat tes kehamilan.
Setelahnya, Vania segera pergi ke toilet terdekat. Dia tahu, saat paling efektif melakukan tes kehamilan adalah pagi hari, tetapi bukan berarti di waktu lain dia tidak bisa mendapatkan hasil yang akurat.
Vania menutup bagian alat tes yang akan menunjukkan hasil dari tes kehamilan yang dia lakukan. Wanita itu menarik dan mengembuskan napas berkali-kali. Hingga memutuskan untuk membuka mata dan melihat bagaimana hasil yang dia dapatkan.
"Positif?" Vania membelalakkan mata saat melihat garis dua terlihat jelas. Bukan sekedar samar-samar.
Dia tidak tahu harus senang atau sedih. Dia senang karena diberikan kesempatan untuk mengandung anak Aby, tetapi di sisi lain suaminya dalam keadaan kritis.
"Kalau Aby tahu aku hamil, apa dia akan senang? Apa dia tahu kalau anak yang ada di dalam perutku adalah anaknya? Sungguh, aku ingin melihat bagaimana reaksinya." Vania memaksakan diri tersenyum dan di saat yang sama air matanya juga berjatuhan.
"Sabar ya, Nak. Papamu sedang sakit. Doakan papa supaya dia bisa kembali ke sisi kita lagi. Terima kasih sudah hadir diantara kami." Wanita itu mengelus perutnya pelan lalu keluar dari bilik toilet.
Vania kembali ke bangku tunggu di dekat ruang rawat Aby setelah memastikan kalau tindakan yang diambil oleh dokter belum juga selesai. Setidaknya saat ini dia tidak merasa sendiri, ada calon bayi di dalam rahim yang menemani dia dalam cemas dan kesendirian.
Dia teringat pada Mirna. Mertuanya itu masih berada di luar kota. Vania segera melakukan panggilan ke nomor Mirna, tetapi wanita itu tidak menjawab telepon darinya.
"Apa Mami sedang sibuk sekarang? Tidak biasanya Mami lama menerima panggilan dariku. Hufht, aku akan menghubungi mami beberapa saat lagi. Mungkin Mami lagi ke kamar mandi."
Vania mencoba berpikiran positif. Wanita itu tidak pernah mengira kalau sebenarnya Mirna sudah dalam perjalanan menuju ke rumah sakit tempat dia berada saat ini.
Satu hal yang Vania tahu, Mirna akan marah besar saat mengetahui Aby kecelakaan. Wanita itu sudah siap untuk menerima segala cacian yang dia dapat dari Mirna asal dia tetap diizinkan untuk berada di sisi suaminya seperti biasa.
"Aku akan mengakhiri hubungan gelapku dengan Romi. Aku harus mengatakan yang sebenarnya kalau Aby adalah suamiku."