"Apa yang kukatakan tadi saat bersama Ethan, apa kau keberatan, B?"
Aku melambungkan kaki ke udara, sambil menatap langit-langit kamar. Sudah menjadi hal yang biasa setiap malam bertelponan dengan Matt. Tapi malam itu, entahlah… aku hampir tidak bisa bernapas.
"Yang mana?"
"Saat aku menyebutkanmu... sebagai milikku."
Darahku berdesir dengan cepat. "Pada dasarnya aku milikmu Matt-maksudku... kita bersahabat. Tentu saja, aku tidak keberatan."
APA YANG KAU KATAKAN STUPID DUMB ASS?!
"Well-bagaimana menurutmu jika aku mulai memanggilmu... My B? Haha-"
Aku ikut tertawa, tawa gugup karena jantungku berpacu begitu cepat, "Whatever you said, Matty."
Itu adalah moment paling 'bukan sahabat' yang pernah Matt dan aku alami. Dan lagi-lagi, tidak bertahan lama. Seseorangan mengetuk pintu kamarku, dan menghancurkan semuanya.
"Matt, tunggu sebentar." Kataku, padanya diujung sana.
"Baiklah."
Aku melompat dari kasur dan berlari ke arah pintu saat ketukannya semakin keras. Membuka pintu, aku menemukan ibuku disana.
"Mom, ada apa?"
"Kau sedang bertelponan dengan Matt?"
Aku menggangguk, tersenyum.
"Ada yang ingin Ibu bicarakan."
Aku pun berjalan keluar sambil menutup pintu. Dari ekspresinya, beliau tampak sangat senang. Dan, itu membuatku takut.
"Mom, ada apa?"
Mom langsung memelukku. Sangat erat. Seperti pelukan kebahagiaan. Aku yang masih tidak tahu apa-apa, hanya diam.
"Terima kasih, B, telah mengabulkan doa ibumu. Terima kasih karena telah membujuk Ethan." Kata Ibu melepaskan pelukannya. Aku masih mencongo. "Mrs. Gilbert barusan telepon, katanya Ethan berubah pikiran. Dia setuju akan menikahimu. Bahkan... dia ingin pernikahannya dipercepat."
Petir itu belum usai. Ia menyambar lagi. Kali ini dengan kekuatan super.
Aku terdiam sangat lama.
"Mrs. Gilbert juga mengirimkanmu gaun untuk acara makan malam keluarga, sabtu malam ini."
Makan malam keluarga....
"Mereka ingin membicarakan tanggal pernikahan."
...tanggal pernikahan.
"Oh-astaga. Ibu senang sekali. Tidak menyangka akhirnya perjodohan kalian terjadi juga." Ibu memelukku sebelum pergi. "Selamat malam, sweety."
NOOOOOOOOOOO!!!
•••
Keesokan pagi, aku mencari Ethan seperti orang kerasukan. Dan sialan, dia menghilang. Lelaki itu tidak memunculkan batang hidungnya padaku, sekalipun hari itu. Dia tidak di kampus! Bagaimana kebetulan ini terjadi-dia menghilang saat aku sangat ingin bertemu dengannya dan dia selalu mengangguku saat aku ingin dia hilang dari bumi ini.
Sore hari saat aku baru keluar dari Starbuck kantin kampusku, Liam Azelart-salah satu sahabat Ethan, dan juga sama populernya seperti Ethan-lewat.
"Hey, Liam."
Liam berbalik begitu aku meneriaki namanya. Aku buru-buru menghampirinya.
Liam tampak bingung, “Hey, wazzap?
"Maaf, tapi bolehkah aku minta tolong?"
Liam memandangku sejenak, "Hey, aku kenal kau. Kau gadis yang selalu bersama Matthew Anderson kan?"
Aku tersenyum, "Yes, my name is Bianca."
"Nice too meet you, Bianca." Liam balas tersenyum, "So, apa yang bisa aku lakukan untukmu?"
"Mungkin ini sedikit aneh, tapi... bolehkah aku minta nomer Ethan."
Alis Liam naik sebelah, "Hm-Ethan... Gilbert? Kukira kau pacarnya Matt!"
Aku tertegun, "Pertama-tama, aku bukan pacar Matt. Kami hanya temanan. Dan yang kedua, ini tidak seperti yang kau kira. Aku ada kepentingan mendadak dengannya. Dan aku benar-benar membutuhkan nomer telephonnya."
Liam mangut-mangut, "Aku bisa saja memberikan nomernya padamu, tapi saranku sebaiknya kau datang saja ke tempatnya."
Datang ketempat Ethan adalah hal terakhir yang akan kulakukan.
"Kurasa itu tidak perlu. Aku hanya butuh nomer telponnya."
"Baiklah." Liam mengeluarkan ponselnya. "But just so you know, Ethan tidak pernah merespon nomer tidak dikenal, bahkan dariku. Dia terlalu sibuk dengan-kau tau-gadis-gadis.
Wajahku berubah masam.
"Kau bisa ke ketempatnya bersamaku, jika kau mau. Ethan dan aku tinggal di gedung yang sama. Aku bisa dengan mudah mengantarmu ke tempatnya."
Aku bertanya canggung, "Kau mau?"
"Tentu saja! Kau temannya Matthew Anderson yang membuatmu juga temanku. Take it easy, Bianca."
"Thanks!" Aku tersenyum sumringah. "And byetheway, kau bisa memanggilku B."
•••
Matahari sudah hampir terbenam saat aku dan Liam tiba. Gedung tempat mereka tinggal adalah apartement berbintang lima yang mempunyai bangunan paling tinggi di kota. Sangat Ethan, tentu saja. Bukan hanya mahal, tempat ini juga di kenal dengan apartement artis, karena banyaknya bintang hollywood yang menyewa tempat di sana kalau sedang berkunjung.
Sepanjang jalan menuju lobi aku sibuk mengira-ngira harga sewa tempat ini, dalam hati. Sampai secara kebetulan, aku melihat Ethan Gilbert. Keluar dari lobi bersama dengan seorang cewek-berbeda dengan yang di kelas Mr. Anderson.
Mereka sempat berciuman ganas sebelum cewek itu masuk ke dalam taksi tepat setelah Ethan menepuk pantatnya. Astaga. Padahal tempat ini rame.
Aku dan Liam menghampirinya. Wajah Ethan langsung kusut saat melihatku.
"Aku tidak tahu kau dekat dengan Bianca Smith, Li." Nada Ethan sangat tidak bersahabat.
Liam tertawa, "Easy, dude. Dia datang untukmu."
Senyum Ethan langsung merekah. Ia menoleh padaku dengan tatapan menggoda, yang kubalas dengan pelototan maut.
"Jangan membuatnya terlihat terlalu jelas, t***l. Kau tau kan gadis ini milik Matt?" Ujar Liam.
"Diam dan menghilanglah, Azelart!"
"Aku hanya mengingatkan, sialan."
Ethan memutarkan matanya, "Ya-ya-whatever."
Begitu Liam hilang di lobi, Ethan langsung menggengam tanganku. Ia hendak menariku pergi, tapi cepat-cepat kutahan.
"Kenapa, baby?"
Mataku melotot, "Baby your ass!" Teriakku lalu menghentakkan tangannya dari tanganku.
"Sebelum kau berpikiran yang bukan bukan, biar kuperjelas. Aku kesini karena aku ingin kau MEMBATALKAN PERJODOHAN KITA." Aku menarik napas dalam-dalam. "Makan malam keluarga menentukan jadwal pernikahan, omong kosong macam apa itu!"
Wajah Ethan berubah masam, "Jadi... kau kesini bukan untuk menemaniku tidur?"
Mataku melotot tajam padanya. "HELL-NO!!!"
Ethan berdecak, "Uh-padahal kupikir mimpiku semalam akan menjadi kenyataan."
Mimpi? Mimpi apa?
"Kau datang ke dalam mimpiku semalam, Smith. Kau begitu seksi. Dan, begitu liar."
Aku mendorongnya jauh-jauh. "KAU MENJIJIKKAN ETHAN!"
Lalu dia tertawa. Sangat lebar. Sangat nyata. Sambil menahan tanganku yang mendorongnya. Kemudian ketika ia selesai dengan tawanya, ia menarikku. Menjadi sangat dekat dengannya.
"Ayolah, berhenti membohongi dirimu, Smith." Ethan menatapku dari dekat, "Kau pasti menginginkan ciuman kedua kita kan?"
Ethan jauh lebih tinggi dariku. Yang membuatku bertatap langsung bukan dengan matanya, melainkan dengan bibirnya!
Dan dengan disengaja, Ethan menjilat bibirnya, dengan gerakan lambat. Disusuli dengan mengigit bibirnya yang mengkilap akibat liurnya.
Glek.
Jantungku berdebar berantakan. Gawat. Dan ketika bibir Ethan mendekat, aku menemukan diriku memejamkan mata. Menantinya.
Sampai tiba-tiba...
"HAHAHAHAHAHHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHHAHA! Kau harusnya melihat ekspresimu, Smith!"
Sialan!
Aku merasa sangat malu... dan marah. Sampai tanpa pikir panjang, aku menerjang Ethan, dengan totebag-ku. Aku memukulnya begitu kuat sampai Ethan berhenti tertawa dan mengaduh. Tapi rasa marahku belum terlampiaskan.
Ia terus mengaduh, tapi aku tidak peduli. Aku terus menerus melayangkan pukulan di bahu kirinya, sampai rasanya aku ingin membunuhnya hari ini.
"ARGH-ENOUGH!"
Ethan berteriak, dan aku terdiam.
Ia merintih. "Kau sudah gila ya..."
Aku semakin terdiam. Suara Ethan sangat parau. Nafasnya berhembus satu-satu. Ia tertunduk, mengelus bahu-nya yang menjadi sasaranku.
"Apa sih yang kau bawa di tasmu? Batu bata?"
Aku masih bergeming. Tanganku bergetar dan nafasku memburu. Ada jarum yang menembus ke hatiku saat Ethan menatapku tajam dengan wajah kesakitannya itu. Tote bag di tanganku terlepas.
Oh, tuhan. Apa aku benar-benar melukainya?
Aku linglung dan tidak tau berbuat apa. Di depanku, Ethan mengaduh sakit. Tapi aku hanya diam saja. Saat aku melirik sekeliling, orang-orang melempar tatapan cemooh padaku, dan tatapan kasihan pada Ethan.
Hatiku bertambah sakit. Aku menegak salivaku. Perlahan aku maju, mendekatinya.
"Ethan..." Kusentuh pelan bahunya yang sepertinya terluka di balik kaos putih yang sedang ia kenakan.
"f**k off!" Ethan langsung menepis tanganku kasar. Dan kuakui berhasil membuat hatiku-bukan lagi tertusuk, tapi-remuk. Ia melemparkan tatapan tajamnya padaku. "Tidak cukup kau menyakitiku tadi?"
Ada sengatan di mataku, yang membuatnya berair. Aku memaki diriku yang sekejap berubah jadi cengeng.
"S-sorry..." suaraku tercekat di tenggorokan. Satu kata lagi, dan aku akan menangis di depannya.
Ethan tidak bergeming, bahkan tidak mendongak untuk sekedar menatapku. Membuatku semakin bersalah. Aku maju selangkah lagi, mendekat padanya. Kini aku benar-benar dihadapan Ethan.
"Biar kuobati."
"Bukannya kau hanya bisa menyakiti?" Ketusnya tersenyum licik.
Air mataku jatuh setetes, yang cepat-ceoat ku hapus sebelum Ethan menyadarinya. Untuk pertama kali, aku berharap senyum miringnya itu kembali. Jauh lebih Ethan yang kukenal.
"Ethan..."
Aku menarik ujung kaosnya. Aku sudah di titik di mana air mataku akan banjir, saat tiba-tiba...
"HAHAHAHA-Astaga!"
Aku masih bergeming di tempatku memandangi Ethan yang terus tertawa sambil memegangi perutnya, tapi otakku masih belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi.
"Kenapa ekspresimu lucu sekali sih, B?!" Dia tertawa dan tertawa. Tidak peduli aku masih terbodoh-bodoh menunggu jawababn. "Oh, tuhan! Padahal aku ingin menggodamu lebih jauh lagi."
Eh?
Tunggu.
Dia...
HANYA MENGGODAKU?!!!
"ETHAN!!!"
Saat itulah amarahku kembali memuncak dan aku berakhir menghujani Ethan dengan tinju di bahunya.
"AW!!! Yang ini benar-benar sakit, bodoh!"
"Astaga. Astaga. Astaga. Astaga. Maafkan aku. Aku akan mengobatimu."