Lookism adalah istilah yang menggambarkan perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang yang dianggap tidak menarik secara fisik. Itu terjadi dalam berbagai pengaturan, termasuk kencan, lingkungan sosial, dan tempat kerja.
Daya tarik fisik dikaitkan dengan kualitas positif; sebaliknya, fisik yang tidak menarik dikaitkan dengan kualitas negatif. Banyak orang membuat penilaian orang lain berdasarkan penampilan fisik mereka yang mempengaruhi bagaimana mereka menanggapi orang-orang tersebut.
Penelitian tentang stereotipe "apa yang cantik itu baik" menunjukkan bahwa, secara keseluruhan, mereka yang menarik secara fisik mendapat manfaat dari ketampanan mereka: individu yang menarik secara fisik dianggap lebih positif dan daya tarik fisik memiliki pengaruh kuat pada penilaian kompetensi seseorang. Selanjutnya, penelitian menunjukkan bahwa rata-rata, individu yang menarik memiliki lebih banyak teman, keterampilan sosial yang lebih baik, dan kehidupan seks yang lebih aktif.
***
Lovita dan Aaron berciuman hingga mereka menyasar dinding menuju ruang tengah. Jubah tidur Aaron tersibak memperlihatkan tungkai kaki perkasanya mengempit kaki Lovita. "Hummh, Aaron ... ahhh," desah Lovita mulai memuncak hasratnya. Namun, ketika di ruang tengah, gadis itu terdiam memperhatikan lukisan berjudul "Tragically Handsome" karya Cassandra Elliana. "Apa itu?" gumam Lovita seraya melepaskan dekapannya dan melangkah mendatangi lukisan tersebut.
Aaron meresah, mengusap kasar rambutnya. "Ehm, itu lukisan potret diriku."
Lovita terpana dengan rasa dingin merayap di sepanjang tulang belakangnya terkena pengaruh lukisan itu. "Cassandra Elliana yang melukis ini?" tuding Lovita, melihat tanda tangan CE di sudut lukisan. Ia melonggarkan mantel bulunya, lalu melemparnya ke sofa.
"Iya," jawab Aaron. Ia mendekap Lovita dari belakang dan menciumi punggung wanginya sambil mengecup dalam sesekali. Lovita mengangkat tangan ingin meraba lukisan itu, tetapi Aaron menegurnya. "Jangan disentuh! Lukisannya belum kering."
Lovita mengernyitkan kening tanpa mengalihkan pandangan dari lukisan tersebut. "Aaron, ini penghinaan!" tukas Lovita. "Dia pasti sangat membencimu. Kau seharusnya menuntut Cassandra Elliana karena ini."
Aaron malah manyun keheranan. Tanpa pikir panjang ia mengungkapkan kesannya terhadap lukisan itu. "Kenapa? Aku yang memintanya melukis, walaupun imajinasinya di luar bayanganku, tetapi lukisan ini menggambarkan apa yang kupikirkan selama ini. Cassandra menangkap imejku dengan sangat baik. Padahal aku tidak bicara padanya."
Lovita memutar tubuh dan siap mencerca Aaron. "Aaron, jadi selama ini kau berpikir kau akan mati?"
Aaron tertawa lepas, mendekap erat Lovita agar tidak melihat sorot dingin di matanya. Ia tidak bisa mengatakan pada orang lain bahwa saat ia mengalami transformasi menjadi Aaron, rasanya nikmat luar biasa, tetapi ketika kembali ke wujud aslinya, Novan, ia tidak tahu apa ia sanggup bertahan hidup untuk melihat hari esok. "Kitty Baby, kau mestinya tahu tidak ada yang abadi di dunia ini, bahkan hubungan kita," gumamnya.
"Ah!" desah Lovita, ingin mengeluh, tetapi sudah lebih dulu dicum.bu Aaron. Pria itu memburunya dengan dorongan nafsu hingga terbaring di sofa. Sesaat Lovita terhanyut, tetapi karena ia habis minum-minum, ia ingin pipis dulu. Ia mendorong Aaron. "Ehm, Aaron, maaf aku mau pipis dulu," katanya.
Pria itu merengut manja, bersungut menahannya tetap di bawah. "Aaah, Kitty Baby, aku sudah tidak sabaran nih."
Lovita bersikeras. "Sebentar saja! Kalau terpipis nanti tidak enak jadinya." Aaron melepaskannya. Pria itu bersandar lelah ke sofa. Lovita berlari kecil ke kamar mandi tamu. Akan tetapi gadis itu terpekik dan melangkah mundur dari kamar mandi sambil membekap mulut. "Astaga! Siapa ini bekas BAB tidak dibersihkan? Hueeek!"
Aaron terbelalak, tubuh membeku sesaat. teringat Cassandra yang terakhir memakai toilet itu. Ia bergegas mendatangi Lovita sambil menggerundel marah. "Dasar Nenek Tapasha! Anjiiir, sempat-sempatnya dia meninggalkan bonus di rumahku!" Aaron hendak jadi pahlawan memberantas limbah monster itu, akan tetapi bau menyeruak memukul mundur dirinya dari sana. "Astaga! Uhuk, uhukkk!" Aaron merangkul Lovita menjauh beberapa meter dari sumber bau. Ia celingak- celinguk ke sekeliling ruangannya mencari pengharum ruangan. "Rasanya ada di sekitar sini. Astaga ... cantik- cantik ternyata kotorannya sekuat jigong. Cassandra kurang ajar!"
"Jadi ini bekas Cassandra, toh? Astagaaa!" imbuh Lovita.
Dikira orang cantik lalu ampasnya seharum mawar mewangi, begitu? Semua orang merasa koto.ran mereka kurang bau dari punya orang lain, padahal sama saja. Aaron menemukan pewangi ruangan berbentuk vas cantik dan hendak membawa ke kamar mandi, tetapi Cassandra muncul bersama Gabriel.
Cassandra sempat termangap mengira ponselnya telah diambil Aaron dan mereka mengetahui wajah aslinya dari cara Aaron dan teman kencannya menatapnya, akan tetapi omelan Aaron membuatnya lega.
"Kamu! Apa yang kamu buang di klosetku? Lihat itu! Sampai tersumbat. Mana baunya anjir kam.pret laknat durjana!" maki Aaron pakai kosa kata yang baru pertama kali digunakannya.
Cassandra berkacak pinggang dan memelototi pria berpakaian seksi itu. "Memangnya kenapa? Koto.ran itu di mana saja semua sama. WC-mu aja yang modelnya kebangetan sok sempit. Gak tau apa orang Indonesia makannya buanyak? Harusnya pilih yang ukuran lubangnya lebih besar dan semburannya kencang, jangan seincrit-incrit. Hiiih!"
Cassandra mengentakkan kakinya sekali, lalu melangkah gagah berani ke dalam kamar mandi. Ia memungut ponselnya dekat wastafel memasukkannya dalam tas, baru membereskan masalah pembuangan toilet. Ia menekan tombol bilas dan lubang kloset menguras bersih, akan tetapi kembali sedikit mampet, sehingga Cassandra mengulangnya beberapa kali.
Aaron menarik Gabriel yang kebingungan ke sudut ruangan. "Kenapa kalian kembali?" sengit Aaron.
"Cassandra ketinggalan ponselnya."
Aaron mencengkeram kepalanya. "Ampuun, dasar Nenek Tapasha, tidak pernah membiarkan aku tenang rupanya. Aduuuh bagaimana ini, mana waktunya mepet sekali. Aduuuh!"
Gabriel melirik jam tangannya. 15 menit menuju jam 1 malam. Ia menatap sahabatnya. "Jadi bagaimana? Apa kau teruskan atau tidak?"
Aaron terdiam sambil menggigit bibir bawah berusaha berpikir. Lovita yang sudah kebelet berlari kecil ke kamar Aaron. Aaron tersentak panik kalau- kalau Lovita mencurigai ada barang yang berbeda di kamarnya. Dari pintu kamar yang terbuka, ia melihat Lovita langsung masuk ke kamar mandi. Aaron lanjut bicara dengan Gabriel. "Entahlah, ini terlalu kacau. Terlalu berisiko. Sebaiknya kau antar Lovita dan Cassandra pulang." Aaron mengambil keputusan finalnya.
Cassandra masih sibuk dengan urusan kloset mampet. Sementara Lovita keluar dari toilet kamar dan gadis itu berjalan perlahan sambil kebingungan menenteng kaos oblong berukuran superbesar yang ditemukannya di kamar mandi. "Aaron, baju siapa ini?" tanyanya. "Kok besar sekali?"
Aaron terbelalak, begitu juga Gabriel. Gabriel melirik pada Aaron menunggu pria itu menjawab. Aaron bicara sesantai mungkin. "Oh, itu kaos lama, makanya bisa semelar itu."
Kening Lovita bertaut. "Masa? Ini kelihatannya masih baru."
"Ah, itu sudah lama. Aku pakai untuk dililit dan ditarik melatih otot lenganku," sambung Aaron sambil menekuk lengan memperlihatkan otot berkedut- kedutnya.
"Ah!" Lovita menangkup pipi terpesona pada otot lengan yang akan memeluknya erat itu. Ia melempar kaos oblong tadi dan ingin berlari ke dekapan Aaron, tetapi terhenti keheranan melihat ada lagi celana panjang yang sangat besar, muat 2 kali tubuh Aaron tersampir di tepi ranjang.
Menyadari hal itu, Aaron bergegas mendatangi Lovita dan menariknya keluar kamar. "Maaf, baby, ini sudah lewat jam malamku. Aku harus beres- beres dan bersiap tidur. Kita lanjutkan kencan kita besok saja."
Lovita terperangah. "Apaa?? Besok? Ta- tapi ...."
"Tidak ada tapi- tapian. Aku punya jadwal yang padat. Aku tidak ingin besok terganggu gara- gara hubungan satu malam. Aku punya prinsip yang tidak bisa diganggu- gugat!"
"Ah?” Lovita merengut sangat. "Aaron, tapi aku sudah jauh- jauh ke sini ...."
"Gabriel akan mengantarmu!" tegas Aaron. Selanjutnya ia tidak dibantah lagi. Aaron merapatkan jubah satinnya, ke dapur mengambil air dingin dan meminumnya.
Lovita terdiam dengan bibir dimanyunkan. Ia mendelik tajam pada Cassandra yang baru keluar kamar mandi, menghirup udara bebas. "Ih, ini gara- gara Cassandra!" rengut Lovita.
Gabriel mengambilkan mantel Lovita serta tas tangannya. "Sudahlah. Sebaiknya patuhi apa kata Aaron. Kau pulang saja. Aku antar sekalian bersama Nona Cassandra."
Lovita sangat kecewa sampai ingin menangis. Gara- gara Cassandra kencannya gagal, tetapi tidak ada seorang pun yang memarahinya. Bahkan Gabriel menyebutnya dengan panggilan Nona, sedangkan dirinya disama ratakan rakyat je.lata.
"Toiletnya sudah saya bersihkan, Bapak Aaron!" seru Cassandra lantang.
Aaron berdeceh saja lalu membuang muka ketus. Jika Cassandra bukan gadis yang ditaksirnya, ia ingin sekali menendang pengacau malamnya. Aaron lanjut minum.
Cassandra merapikan rambut, pakaiannya lalu mengecek sekilas isi tasnya. Setelah tidak ada kekurangan apa pun lagi, ia bersedekap menunggu Gabriel untuk selanjutnya.
Gabriel menanyai Lovita. "Sudah? Beres semua barangmu, Lovita? Tidak ada yang ketinggalan?"
Gadis itu menggerutu sambil melengos. "Aku ketinggalan kesempatanku tidur dengan Aaron."
"Aaron tidak pernah tidur denganmu, Lovita." Gabriel mengingatkan. Ia mengiringi Lovita berjalan ke pintu depan. Cassandra mengikuti.
Lovita terus mengomel. "Aku heran kenapa Aaron tidak mau tidur semalaman dengan siapa pun? Seperti anak sekolah saja dibatasi waktu mainnya. Pasti sampai jam 2 saja. Memangnya ia Cinderella? Minta tambahan waktu dong dengan ibu peri! Sudah banyak uang juga. Kalau pun mangkir sehari atau sejam dari pekerjaannya toh Aaron tidak bakalan bangkrut."
"Yaah, namanya Aaron kebiasaan dan jadwal tetap. Kita tidak bisa mengganggu- gugat privasinya," tukas Gabriel meredam kegusaran Lovita.
Mereka bertiga meninggalkan apartemen Aaron. Dalam lift, mereka tidak berbicara lagi. Namun Lovita dan Cassandra saling mendesis. Gabriel berdiri di tengah- tengah mengembus napas panjang berusaha menabahkan diri. Ia melirik jam tangan lagi, bukan untuk mengingat jam perubahan Aaron, tetapi mengukur waktu kapan ia bisa tiba di ranjangnya sendiri dan tidur.
Rasanya hari ini sangat melelahkan. Ditambah bayangan Cassandra melukis sambil menari membuatnya berfantasi. Bagaimana rasanya jika tangan berlepotan cat itu meraba tubuhnya. Gabriel memejamkan mata. Gerakan jemari dan tangan anggun Cassandra seperti tangan para peri yang menaburkan serbuk berkemilau, mengubah benda mati menjadi hidup dan berbicara.
Tangan yang sangat indah. Sayang sekali nail art yang dikenakan Cassandra sedikit mengganggu. Ia suka tangan itu polos dan bersih. Nail art membuat ujung jarinya pasti mati rasa oleh beratnya perekat dan hiasan kuku palsu itu. Gabriel membuka mata dan menarik napas beberapa kali agar pundaknya terasa lebih ringan.
Tiba di lantai Lobi, lift terbuka. "Silakan, Nona-nona!" seru Gabriel menyilakan kedua gadis itu keluar. Selanjutnya ia menggiring mereka ke mobil.
Cassandra dan Lovita duduk bersisian di kursi penumpang. Mobil melaju di jalanan lengang dini hari yang dingin. Cassandra diam bersedekap, rahangnya mengeras, tidak bersuara apa pun. Sedangkan Lovita sibuk mengetik ponsel sambil sesekali melirik tajam pada Cassandra. Ia menggibah bersama temannya.
Gabriel mengantar Lovita lebih dulu sesuai jalur perjalanan. Gadis itu turun dari mobil tanpa mengucap salam atau pun terima kasih. Selanjutnya tertinggal ia dan Cassandra di mobil. Gabriel melirik gadis itu melalui kaca pantul. Cassandra meringis memegangi perutnya lalu terdengar bunyi keruyukan yang lumayan jelas terdengar. Gabriel ingin ketawa, tapi takut dosa. Ia mengulum senyum lalu memberanikan diri berbicara pada gadis cantik itu. "Kau hanya minum kopi dan tidak makan seharian. Perutmu pasti sangat sakit. Kita bisa mampir ke restoran 24 jam dan mengisi perut dulu. Aku juga belum makan apa pun sejak siang."
Cassandra melepas tekanan di perutnya. Ia menegakan duduknya lalu berujar dingin pada Gabriel. "Tidak perlu. Aku masih tahan. Aku makan di rumah saja."
"Ookeee," gumam Gabriel salah tingkah. Lalu ia kembali diam fokus pada jalanan.
Karena ia cantik makanya pria mana saja memperhatikannya. Cassandra merenung. Elliana sering naik taksi online saat pulang kerja. Tidak ada satu pun sopir yang memedulikannya. Mereka sibuk dengan ponsel dan berbasa- basi sekadarnya saja. Wajah yang kelelahan tidak membuat mereka simpati. Tentu saja, mereka juga kelelahan, jika penumpang mereka wanita cantik setidaknya akan menyegarkan penglihatan mereka, apalagi jika bisa diajak bercanda atau dirayu, bakalan semakin seru.
Itulah dunia. Kadang (sering kali) tidak adil. Cassandra menghela napas sambil berlagak sibuk membenahi gaunnya di bagian paha. Kakinya kedinginan oleh AC ditambah udara luar yang dingin.
Gabriel melihat hal itu. Ia melepas jasnya lalu menyerahkannya pada Cassandra. "Ini. Pakailah untuk menutupi kakimu."
Cassandra tidak serta merta menerima pertolongan itu. Membiarkan sebelah tangan Gabriel terjulur ke belakang. Wajahnya meneleng dan mata menyeret angkuh pada pria itu. "Katakan terus terang kenapa kau perhatian padaku," ujarnya, membuat kening Gabriel mengernyit.
"Tidak ada alasan khusus. Kau kolega atasanku, tentu aku harus memperhatikanmu. Kurasa begitu."
Cassandra tidak berkomentar apa pun. Ia mengambil jas warna gelap itu dari tangan Gabriel dan menyampirkan di pangkuannya. Bahan tebalnya lumayan membantu menghangatkan kakinya.
Cassandra lalu bertopang dagu ke jendela. Menatap lampu- lampu jalanan berlalu sangat cepat. Jika saja secepat itu ia bisa melupakan bagaimana rasanya jatuh cinta pertama kali. Jika cinta itu bersambut, cinta pertama itu akan sangat indah berkesan. Namun jika hanya bisa mencintai dalam diam, ke mana dia bisa menyatakan rindu dan sayangnya?
Teringat Elliana yang lugu, baru menginjakkan kaki di ibukota. Baru mengenal dunia kerja, terbawa romantisasi cerita cinta metropolitan di mana bawahan culun, lugu, dan ceroboh jatuh cinta pada atasan yang arogan dan kejam. Ia terpesona pada sosok pria yang menjadi bosnya. Pernah menjadi bosnya. Pertama kali ia melihat Aaron Sebastian saat penyambutan CEO baru di aula gedung Novantis International. Potongan monolog dalam lagu itu bergaung dalam kepalanya.
Aku ingat saat aku bertemu dia.
Sangat jelas bahwa ia satu-satunya untukku
Kami langsung tahu, begitu saja.
Dia karismatik, magnetik, elektrik dan semua orang tahu itu.
Ketika ia melangkah masuk, semua mata wanita memandang, semua orang berdiri untuk bicara padanya
Dia seperti sejenis hibrida, campuran seorang pria yang tidak bisa menampung dirinya sendiri.
Aku selalu punya perasaan bahwa ia akan tercabik
Antara menjadi orang baik dan ...
Melepaskan semua peluang yang bisa hidup berikan pada pria sehebat dia.
Dan dengan cara itu aku memahaminya
Dan aku mencintainya.
Dan setelah tahun- tahun dilalui, banyak hal semakin sulit
Kami menghadapi banyak tantangan
Aku memohon padanya untuk tinggal
Mencoba mengingat apa yang kami miliki di awal.
Dan aku masih mencintainya.
Aku mencintainya
Kenyataan membangunkannya dari mimpi indah itu. Bahwa bosnya hanya melayangkan tatapan pada perempuan cantik. Bahwa cinta satu malam hanyalah kisah antara gadis cantik dan pria tampan. Semua kisah cinta romantis hanyalah antara gadis cantik dan pria tampan. Sungguh, bahkan dalam n****+ pun, dunia itu kejam. Semua hanya bermodal tampang.
Tanpa sadar air mata Cassandra menetes. Tiba- tiba ia merasa sangat kesepian. Ia rindu pelukan hangat dan tidur di pangkuan ibunya. Ooh, ibu ... benar katamu. Hidup sendirian itu berat. Bertambah berat saat cintamu bertepuk sebelah tangan oleh pria yang sedigdaya mempermainkan wanita.
***
Bersambung ...