Gramasi yang Belum Tepat

1360 Kata
“Lima tetes sari bayam, dua tetes air mineral, tiga tetes sari wortel. Diaduk, lalu diendapkan selama lima jam. Setelah menjadi endapan saripati, airnya dibuang, lalu diteteskan Wateraz untuk menambah volume saripati, diaduk sebanyak lima kali searah jarum jam, lalu diaduk berlawanan arah jarum jam sebanyak dua puluh kali. Lalu diamkan lagi selama dua jam. Jika sudah mengendap, sekali lagi airnya dibuang, lalu diteteskan larutan Zapano yang berguna untuk memaksimalkan pengeringan saripati dan serbuk-serbuk saripati tadi bisa dimasukkan ke dalam kapsul sebanyak masing-masing nol koma lima gram per kapsul.” Aku membaca catatan yang Ayah buat. Beberapa resep yang Ayah buat selalu menyertakan sayur bayam. Aku penasaran, kenapa Ayah selalu menyisipkan sari bayam di dalam setiap komposisi kapsul makanan yang Ayah buat. Aku beranjak dari kamar, karena hari sudah siang banget. Menyadari sejak tadi perutku sudah keroncongan. Ketika keluar kamar, aku hanya mendapati Ibu yang sedang duduk di depan televisi. “Ayah udah pergi kerja, ya, Bu?” tanyaku padanya. “Ayah udah dari tadi pagi berangkat kerja, Di. Kamu yang kesiangan keluar kamarnya. Memangnya gak ada kuliah hari ini?” aku menggeleng, “Nggak ada, Bu. Hari ini kosong. Besok pagi baru ada lagi jadwal kuliahku. Ya, udah, aku mau makan, donk, Bu. Ibu masak apa?” aku bisa melihat Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Dasar. Itu, Ibu udah masak tumis cumi asin sambel rawit, goreng ayam, sama sayur sop. Panggil Riamizard sekalian, biar makan bareng kamu.” Aku menganggukkan kepala, naik ke lantai dua, ke kamar Riamizard yang bersebelahan dengan ruang baca aku dan Ayah. Aku mengetuk pintu kamarnya beberapa kali, tidak ada jawaban. Aku mencoba mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Tiba-tiba pintu terbuka, “Apa, sih. Berisik!” Riamizard dengan wajahnya yang males-malesan seperti biasa. “Jutek amat, ih. Aku disuruh Ibu ngajak kamu makan. Gak laper apa, mendekam mulu di kamar? Betertelor, nanti.” Dia mengibaskan tangannya, “Gak usah berisik. Basa-basi busuk banget. Aku mau pergi sebentar lagi.” Aku menggelengkan kepala, “Pegi mulu. Gak betah amat di rumah. Makan dulu, lah. Kasian Ibu udah masak gak dimakan.” Dia diam, membereskan entah apa yang dimasukkan ke dalam tasnya, “Kan ada kamu, sapu jagad.” Aku melempar sandal ke arahnya, “Kampret.” Dia menangkis lemparanku, “Kekerasan dalam rumah tangga. Aku laporin kamu ke polisi, biar ditangkap.” Aku bergeming. Mencoba menghalangi jalannya ketika dia mau keluar dari kamar. “Jawab dulu, kamu mau ke mana, baru aku kasih izin untuk keluar.” Dia menatapku beberapa detik, lalu menghembuskan napas panjang, “Aku mau interview kerja.” Aku membelalakkan mata, “Kerja?” ngawur. Kamu kan masih sekolah, kerja di mana?” aku bisa melihat dari wajahnya kalo dia tidak suka kalo aku bertanya terlalu detail. “Kerja di mana?” tapi kemudian dia menyerah, dia tau, aku tidak akan menyerah jika sudah bertanya, harus mendapatkan jawaban. “Oke-oke. Aku jawab, tapi setelah ini kamu biarkan aku pergi.” Aku tidak bereaksi. “Aku ngelamar di toserba Gaintis, yang di depan jalan sana. aku bosan di rumah, dari pada didoain bertelor, kan lebih baik aku kerja part time.” Dan aku masih diam memandanginya, “Iya. Beneran. Aku ngelamar kerja di sana part time. Setelah pulang sekolah aku ke sana, jam kerjanya mulai pukul tiga sore jam pulangnya jam sembilan malam. Ya, perkiraan sampe di rumah maksimal pukul sepuluh malam, lah.” Aku membenarkan letak kaca mataku, “Jangan aneh-aneh, ya. Kamu tau, kan, kondisi sekarang lagi kacau banget. Kenapa gak fokus aja sih, sama sekolahmu. Udah kelas tiga, loh, kamu itu.” Dia kemudian mendorongku pelan, “Tenang aja. Aku bukan anak kecil.” Aku menahannya, “Boleh pergi, tapi makan dulu.” Aku menggandeng tangannya turun ke bawah dan membawanya ke meja makan. Ibu yang melihat hal yang jarang terjadi ini menyambut kami, “Makan yang banyak, ya. Ibu sengaja masakin tumis cumi asin kesukaanmu. Loh, kamu mau pergi kemana, Nak?” tanya Ibu ke Riamizard. “Pergi sebentar aja, Bu. Setelah selesai langsung pulang.” Dia menyendokkan nasi ke mulutnya, makan tidak sampai lima suapan, lalu minum dan pamit pergi. Aku bisa melihat Ibu, melihat ke arah Riamizard yang berjalan keluar, tatapannya ke Riamizard seperti ada luka di sana. “Ibu merasa bersalah melihat dia begitu. Mungkin karena selama ini Ibu terlalu fokus ngurus Radolf, jadi dia cemburu, ya. Ibu juga minta maaf sama kamu, Di. Ibu gak bisa ngurus kalian dengan baik, gak bisa adil membagi kasih sayang Ibu.” Aku menggeleng, “Aku gak merasa begitu, kok. Aku mengerti kenapa Ibu bersikap lebih fokus ke Radolf daripada ke aku dan Riamizard.” Ibu menghembuskan napas pelan dan panjang, “Andai Riamizard mengerti.” Setelah drama makan dan Ibu yang merasa bersalah. Aku berpamitan sama Ibu untuk menemui Ayah di rumah sakit, “Tapi jangan ngobrol apa pun di sana, ya, Nak. Ajak Ayah keluar, ngobrol di kafe atau di mana gitu, yang aman.” Aku tersenyum, “Siap, Bu. Aku pergi dulu.” Memilih naik bus, sebagai alat transportasiku menuju ke rumah sakit tempat Ayah bekerja yang memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Di dalam bus, beruntung aku mendapatkan tempat duduk. Kembali membuka catatan milik Ayah tersebut. Ketika sedang serius memberi catatan di sana sini, mengenai pertanyaan apa saja yang mau aku tanyakan ke Ayah, tiba-tiba seseorang bicara ke arahku, “Sok-sokan meneliti. Emang mau bikin apa sih. Mau jadi penyelamat dunia, ya?” aku yang terkejut karena seseorang bicara seperti itu, kencang banget sampai beberapa orang menengok ke arahku, langsung kututup buku tersebut lalu diam, tidak menanggapi. Sesampai di rumah sakit, aku menuju ke resepsionis dan bilang kalo aku mau bertemu dengan Pak Rahmat. Sekitar sepuluh menit kemudian aku bisa melihat Ayah dengan jas labnya berjalan ke arahku sambil tersenyum, “Buku coklat, Yah.” Kode itu kami sepakati, jika kami mau membahas mengenai penelitian ini. Ayah mengangguk, lalu berjalan di depan seperti mengarahkan kami ke sebuah taman kecil yang jauh dari keramaian. “Kenapa, Nak?” aku langsung membuka buku catatanku dan melihat beberapa pertanyaan yang akan aku sampaikan ke Ayah. “Pertanyaan pertama, kenapa di setiap komposisi kapsul yang Ayah buat, selalu ada unsur sari bayam di dalamnya?” Ayah lalu menjawab, “Bayam itu mengandung vitamin yang baik untuk tubuh, juga beta karoten. Nah, salah satu manfaat dari beta karoten ini adalah bisa mengurangi resiko kulit terbakar akibat sinar matahari. Kamu tau, kan, Radolf dan Paman Gazi paling sensitif sama matahari dan panas.” Aku menganggukkan kepala. “Tapi, Yah. Bisa jadi, kan, kapsul Ayah ini sering gagal dan belum sempurna karena kandungan zat besi atau jenis-jenis vitamin yang ada di dalamnya. Maksudku, kenapa kita gak cari alternatif lain, yang memiliki kandungan vitamin, beta karoten sejenis bayam tapi dari sumber sayur jenis yang lain.” Ayah duduk, seperti sedang berpikir, “Sudah beberapa kali Ayah mencoba mencari pengganti bayam. Tapi tetap tidak ketemu. Ayah menduga, bukan komposisi sayur yang salah, tapi gramasinya yang masih belum tepat. Pada percobaan Ayah yang ke seribu tujuh puluh tiga, itu sudah hampir sempurna. Menurut Ayah, kalo kamu mau mencoba untuk meneliti, bisa mulai aja langsung dari sana. coba otak atik gramasi formulanya.” Aku membolak-balik catatan yang Ayah buat. Penelitian ke seribu tujuh puluh tiga ini berarti ada di halaman tengah buku. Beberapa menit kemudian akhirnya ketemu. Aku mencoba untuk membaca lagi dengan teliti. Sari bayam tertulis nol koma nol delapan lima milligram, lalu sari tomat tertulis nol koma dua satu, Wateraz nol koma nol lima puluh, dan larutan Zapano tertulis nol koma nol nol delapan milligram. “Aku izin pakai lab Ayah, ya.” Ayah mengangguk. Setelah kurasa cukup untuk diskusi dengan Ayah, aku langsung berpamitan untuk pulang ke rumah. “Kuliahmu, gimana, Di?” sebelum pulang Ayah bertanya mengenai hal ini, “Aman, Yah.” Ucapku sambil mengacungkan dua jempol ke arahnya. Dan kami berpisah di depan pintu masuk rumah sakit. Ayah kembali masuk kembali ke rumah sakit, sementara aku berjalan ke tempat pemberhetian bus dan menunggu bus arah ke rumah yang datang setelah sekitar sepuluh menit aku menunggu. Sementara bus berjalan di kepalaku tergambar beberapa angka komposisi gramasi untuk kapsul ini.yang langsung aku tuliskan dan akan aku uji cobakan nanti setelah tiba di rumah

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN