Kekhawatiran Rahmat dan Danur

1040 Kata
Kepergian Bu Danur masih menyisakan sedih yang luar biasa. Baik Rahmat, Gazi, maupun Danur muda tidak bisa berhenti merasakan kehilangan yang baru saja mereka hadapi ini. Tapi toh hidup tetap harus berjalan, mereka bertiga sepakat untuk tidak menjual rumah yang diberikan Bu Danur kepada mereka, “Apa pun yang terjadi, rumah ini jangan sampai kita jual. Di sini adalah tempat kita pulang, tempat kita kembali, sejauh apa pun kita pergi, rumah ini tempat kita kumpul.” Warung kecil yang mereka buka lambat laun bertransformasi menjadi sebuah toko yang lumayan besar, beriringan dengan bertumbuhnya warung tersebut, bertumbuh juga masing-masing pribadi individu ini, Rahmat berubah menjadi pria dewasa yang akan cepat mencari solusi pada setiap masalah yang ditemukan, Danur muda akan menjadi penenang bagi kedua pria dewasa ini ketika berselisih paham, dan Gazi akan menjadi manusia paling lucu ketika dunia berubah menjadi menyeramkan dan menakutkan. * “Dua puluh lima tahun sudah umurku, Danur, banyak cerita kita lewati, banyak susah kita rasakan bersama, ribuan kisah bahagia juga sudah kita bagi tanpa ada satu detik pun kita melewatkan. Aku merasakan nyaman bersamamu, sejak pertama kita bertemu aku sudah tau bahwa denganmulah akan kuhabiskan masa depanku. Danur, di depan ribuan bintang, disaksikan bulan, aku melamarmu menjadi pendamping hidupku, bersediakah kamu menikah denganku?” Rahmat menutuskan untuk melamar Danur ketika mereka bertiga baru saja menutup toko. Belum sempat Danur menjawab, Gazi yang sudah bersorak kegirangan, “Akhirnya, lekas dijawab itu, lamaran Rahmat, Danur, jangan kelamaan.” Danur tersipu, sebenarnya tidak perlu dijawab pun, sudah jelas sekali bahwa Danur akan menerima lamaran tersebut, tapi seperti ada yang kurang, jika tidak dijawab, maka dengan berdehem, Danur memulai pidatonya, “Kenapa tiba-tiba? Kenapa aku? Kita sudah menghabiskan waktu bersama, aku sudah menganggapmu seperti kakakku.” Rahmat tergagap. Dia tidak menduga jawaban ini yang diutarakan Danur, tangan yang memegang cincin yang tadinya sudah dia persiapkan untuk meminang Danur, perlahan terkulai lemas, “Tapi rupanya aku juga tidak bisa menyembunyikan rasa sayangku terhadapmu. Aku sayang kepadamu lebih dari sekedar sayangnya adik perempuan ke kakak laki-lakinya. Itu, cincinnya memang untukku, kan?” seketika mata Rahmat berbinas, wajahnya yang tadi lesu seperti orang kurang darah akhirnya menyala lagi, dengan sigap Rahmat memasangkan cincin tersebut ke jari manis Danur. Gazi yang kegirangan berteriak, “Horee, bakal ada ponakan baru, nih.” Rahmat dan Danur tersipu. Tidak berapa lama dari lamaran malam itu, persiapan pernikahan dilakukan, tidak ada pesta, hanya syukuran kecil-kecilan, “Lebih baik uangnya kita tabung. Pernikahan ini bukan akhir perjalanan tapi awal perjalanan, masih banyak yang harus kita hadapi dan banyak juga yang harus kita persiapkan.” Ucap Danur ke Rahmat, dan mereka berdua sepakat akan hal itu. Dan hari ini adalah hari yang paling ditunggu Rahmat, Danur, bahkan Gazi. Pukul delapan pagi adalah jadwal penghulu datang ke rumah mereka, tetangga dekat kanan kiri. Tidak memakan waktu lama, hanya sekitar satu jam setelahnya, Rahmat dan Danur resmi menikah. Setelah beres acara hari itu, Rahmat dan Danur resmi sebagai pasangan suami istri mendapat ujian pertamanya, belum sempat mereka menikmati kehidupan berumah tangga, Danur kembali diserang virus aneh ini. Membuat Danur harus masuk ke dalam kamar sendirian, hal ini yang dikhawatirkan oleh Rahmat, belum lagi jika Danur hamil, ketakutan akan tertularnya anak mereka nanti dengan virus ini, membuat Rahmat didera cemas yang luar biasa. Untung Gazi tidak ikutan kambuh, kalo mereka berdua kambuh, Rahmat bisa keteteran belum lagi ditambah dia harus melayani pembeli, “Kita harus segera pasang pendingin ruangan, biar kamu dan Danur tidak kepanasan. Ingatkan aku juga, harus selalu buang sampah yang ada di depan dan tidak ditumpuk. Kalian berdua kan kambuhnya karena kedua hal tersebut.” Gazi mengangguk. dia sebenarnya bingung dengan keadaan ini, di satu sisi dia ingin membantu Rahmat membenahi, membersihkan toko, tapi dengan keadaannya yang seperti ini, tidak bisa kena panas, tidak bisa mencium aroma busuk dari sampah yang bisa memicu kambuhnya penyakit yang diderita olehnya dan Danur. * Tahun kedua pernikahan Rahmat dan Danur, kini Danur sedang mengandung buah cinta dirinya dan Rahmat, dan semakin ke sini, Danur semakin sering kambuh. Rahmat yang melihat ini sungguh dilema. Dia tidak tega membiarkan Danur sendirian, tapi kalo dia menemani Danur di dalam kamar, resiko Rahmat terkena amukan Danur yang bisa menyebabkan dia ikutan terjangkir virus ini juga sangat besar. Untuk menyiasati ini, akhirnya Rahmat menyulap kamarnya dua sisi. Di sisi pojok kamar sengaja disekat, dibangun semacam ruangan kecil yang cukup untuk Danur beraktivitas tapi dengan kaca yang besar, jadi Rahmat bisa memantaunya, sementara di bagian lain kamar ini, diatur sedemikian rupa selayaknya kamar normal, jadi ketika Danur merasa dirinya akan kambuh, dia akan memberitahu Rahmat untuk mengunci pintunya dari luar, beruntung, ketika hamil ini, ketika kambuh, Danur tidak se-agresif kemarin, mungkin bawaan janin juga, dia lebih jinak, lebih bisa menahan diri. Hal yang paling mengkhawatirkan untuk Danur dan Rahmat adalah jika anaknya lahir, kelak, apakah si bayi akan tertular dengan kondisi dan virus yang diidap oleh Danur. Pikiran itu masih saja membayangi Rahmat, “Kalo anak kita nanti tertular virus ini, bagaimana, ya, Rahmat? Aku ngurus diriku sendiri aja kesulitan, bagaimana jika ada dua orang yang terjangkit virus ini, kamu akan tambah kesulitan.” Suatu waktu, Danur sempat membahas ini beberapa kali. Tapi, untuk menutupi kekhawatiran yang sama dengan Danur, Rahmat mencoba untuk menenangkan Danur, “Kalaupun terjadi seperti itu, ya, tidak apa-apa. Anak-anak adalah rezeki dan memang sudah jadi tanggung jawab kita untuk menjaga dan menerima mereka, ada aku, kita bisa sama-sama menjaga dan merawat mereka.” Dan yang aneh menurut Rahmat, jika dia mengantarkan Danur memeriksakan kandungan ke bidan, tidak ada gejala atau tanda-tanda yang mengarah ke tertularnya si bayi dengan virus ini karena ibunya. Rahmat pernah terpikir untuk memeriksakan kondisi ini lebih lanjut ke dokter, tapi Danur menolak, karena alasan keuangan mereka yang belom stabil, “Gak usah, Rahmat. Kita periksa ke dokternya nanti saja kalo usia kandunganku sudah tua, sekalian kita periksa yang lain lagi.” Maka untuk kembali menenangkan Danur, Rahmat mengikuti keinginan Danur tersebut. Paling tidak, masih ada waktu mereka berdua, Danur dan Rahmat untuk mempersiapkan kondisi dan kesiapan mental mereka jika memang kemungkinan paling buruk yang mereka khawatirkan terjadi, si bayi tertular virus ini dari Danur. Menunggu saat itu, Rahmat berusaha sebisa mungkin untuk menenangkan Danur dan menenangkan hatinya sendiri, juga mempersiapkan Gazi untuk bisa beradaptasi jika nanti bayi ini lahir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN