Pak Barsah Murka

1235 Kata
Keesokan paginya, Rahmat dan Gazi sudah bersiap di meja makan, lalu Pak Barsah turun dari kamarnya dan menuju meja makan juga. Pagi itu, Gazi terlihat tidak bersemangat untuk pergi ke sekolah. Ketika mereka sedang sarapan, tiba-tiba Gazi membuka pembicaraan di meja makan tersebut dengan mengusulkan hal yang aneh, “Pak, kalo memang nanti Gazi tidak diizinkan lagi untuk bersekolah di sana, Gazi bersedia keluar, Pak, dari sekolah itu. Jika boleh Gazi memohon satu hal saja dari Bapak.” Ucap Gazi dengan wajah tertunduk menekuri roti yang sedang dipegangnya. Pak Barsah yang mengetahui bahwa Gazi adalah anak yang periang, sebenarnya, jika dia sudah seperti ini, berarti memang ada yang salah yang sedang terjadi, jadi Pak Barsah mencoba untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan Gazi, “Permintaan apa, Nak? Kalo Bapak bisa mengabulkannya, pasti Bapak kabulkan.” Gazi meneruskan ucapannya, “Saya mau keluar saja, Pak, dari sekolah itu. Tolong izinkan saya belajar di rumah saja. Jika memungkinkan panggil guru ke rumah. Saya tidak mau, jika nanti terjadi lagi hal seperti ini. Kalo hanya saya yang dihina, saya tidak akan marah, tapi jika mereka menghina Bapak dan Ibu seperti kemarin, saya tidak akan bisa memaafkan hal tersebut. Jadi, daripada kejadian seperti ini terulang, dan pasti terulang, lebih baik saya sekolah di rumah saja, Pak, belajar dari rumah.” Pak Barsah melihat kesungguhan dalam ucapan Gazi, dia tau, Gazi bukan anak yang suka marah atau temperamental, dan sering berkelahi. Jadi, jika sudah ada kejadian seperti ini, berarti memang anak yang mengganggu Gazi sudah keterlaluan bicaranya. Jadi, demi membuat Gazi tenang, Pak Barsah menjawab permintaan Gazi dengan akan mempertimbangkannya, “Baik, kalo memang maunya Gazi seperti itu. Kita selesaikan dulu, ya, permasalahan ini. Selebihnya, beri Bapak waktu untuk memikirkannya lagi. Kamu harus bisa mengendalikan diri dan emosimu, sampai Bapak memutuskan yang terbaik untuk pendidikanmu. Rahmat, bagaimana denganmu, kalo Gazi jadi belajar di rumah, apakah kamu akan tetap bersekolah di sekolah itu atau mau ikut dengan Gazi dan belajar dari rumah saja?” Rahmat bingung, dia ragu untuk menjawab perntanyaan Pak Barsah tersebut, di satu sisi dia suka bersekolah, karena bertemu banyak teman, jajan di kantin, dan bisa datang ke perpustakaan untuk membaca koleksi buku-buku yang ada di sana, tapi di satu sisi juga dia juga tidak mau meninggalkan Gazi sendirian tanpa pengawasannya. Dia justru khawatir, jika hanya berdua saja dengan guru atau pengajarnya dan belajar di dalam ruangan, Rahmat khawatir kalo Gazi kumat dan mengalami gejala yang sama seperti kemarin, tidak ada orang yang akan menenangkannya dan justru malah membahayakan keselamatan guru tersebut. Maka dengan ragu, Rahmat menjawab, “Saya akan ikut keputusan Bapak saja, jika saya disekolahkan dari rumah bersama Gazi, saya ikut, jika saya tetap disekolahkan di tempat sekarang juga saya nurut, Pak. Saya yakin, keputusan Bapak adalah keputusan terbaik untuk kami.” Maka Pak Barsah mengangguk dan menimpali ucapan Rahmat, “Baik, permintaan dan keinginan kalian, sementara Bapak pikirkan dulu, ya. Sekarang lekas sarapan, setelah itu kita berangkat ke sekolah.” Rahmat dan Gazi mengangguk, mereka dengan lahap menyantap sarapan pagi itu. Gazi yang sudah lebih baik hati dan perasaannya, lebih ceria pagi ini, dibandingkan kemarin. Rahmat berharap bahwa Gazi akan seperti ini seterusnya. Ketika jam menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, Pak Barsah mengajak Gazi dan Rahmat untuk berangkat ke sekolah, “Sudah, semua sarapannya? Yuk, kita berangkat sekarang, khawatir di jalan macet kalo kesiangan.” Gazi dan Rahmat mengangguk, lalu berjalan bersisian dengan Pak Barsah ke pintu depan, lalu masuk ke mobil dan mereka berangkat ke sekolah. Sekitar dua puluh menit mereka menempuh perjalanan ke sekolah. Ketika sampai, Rahmat dan Gazi langsung menuju ke kelas, sementara Pak Barsah langsung berjalan menuju ruangan guru, berniat untuk bertemu dengan Bu Fida, wali kelas Rahmat dan Gazi. Setelah bel masuk berbunyi, anak-anak masuk ke kelas untuk memulai pelajaran begitu juga dengan Gazi dan Rahmat. Sekitar setengah jam pelajaran dimulai, ada keributan di ruang guru, Rahmat yang mendengar itu menengok kea rah Gazi yang rupanya juga mendengar keributan tersebut. Mereka langsung izin ke guru kelas yang sedang mengajar, “Bu, saya izin ke toilet, ya.” izin Rahmat diikuti dengan Gazi, “Saya juga, Bu.” Belum sempat guru tersebut menjawab, Rahmat dan Gazi sudah melesat ke ruang guru. “Saya mengakui, anak saya memang memukul dia. Tapi Ibu juga harus melihat, donk, alasan kenapa sampai anak saya memukulnya, dia ngatain anak saya anak pungut, yang lebih parah dia ngatain saya MANDUL, MANDUL! Ibu paham gak, gimana rasanya jadi saya, marah kesal, begitu juga dengan anak-anak saya, mereka marah karena orang tuanya dikatain seperti itu. Ini gak bisa diputuskan asal, Bu. Selain Gazi yang dihukum saya juga mau anak itu dihukum karena dia yang menyulut dan menyebabkan keributan terlebih dahulu.” Gazi dan Rahmat yang melihat Pak Barsah se-marah itu, mencoba menenangkan Pak Barsah, “Pak, tenang, Pak.” Pak Barsah yang melihat ada Rahmat dan Gazi di ruangan itu menyuruh mereka untuk mengemas buku-buku mereka, “Kalian, kemasi barang-barang dan buku-buku kalian. Mulai hari ini, kalian akan sekolah dari rumah.” Gazi dan Rahmat mengangguk, “Dan kamu, Bu Fida dan kalian semua, SAYA MENCABUT SEMUA SUMBANGAN SAYA DARI SEKOLAH INI, PAHAM?” teriak Pak Barsah di ruang guru, membuat kepala sekolah datang dan menenangkan Pak Barsah, “Pak Barsah, mohon maaf atas ketidaknyamanan yang dibuat oleh guru saya. Kita bicara di kantor saya, ya.” Pak Barsah menggeleng dengan keras, “Tidak perlu. Saya sudah memutuskan untuk menarik anak-anak saya agar tidak bersekolah lagi di sekolah ini. Saya memilih sekolah ini, karena saya percaya sama Bu Ana, bahwa anak saya tidak akan mendapatkan perundungan atau perlakuan seperti ini. Tapi lihat, guru Anda sendiri yang tidak bisa berlaku adil, menurut Anda, saya harus diam saja?” Bu Ana dan Bu Fida terdiam. Mereka mungkin berpikir, kalo Rahmat dan Gazi tidak bersekolah lagi di tempat itu, maka donatur terbesar di sekolah itu akan hilang. Padahal donasi dari Pak Barsah cukup besar dan bisa membantu untuk membayar gaji guru honorer yang belum diangkat jadi pegawai negeri sipil. “Pak Barsah, atas nama guru dan murid-murid di sini, saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Mari kita bicarakan ini dengan kepala dingin, saya yakin akan ada jalan keluar terbaik untuk kita semua. Mengenai sanksi untuk Gazi kita akan tetap berlakukan dan permintaan Pak Barsah agar anak tersebut dihukum juga, saya akan memberlakukannya juga untuk dia. Semoga Pak Barsah bisa memikirkan kembali rencana untuk menarik Rahmat dan Gazi dan bersekolah di rumah.” Pak Barsah bersikeras, dia tetap akan mencabut donasinya untuk sekolah tersebut dan menyekolahkan Gazi dan Rahmat dari rumah, “Tidak Bu Ana, saya sudah putuskan. Tadinya, sebelum bu guru ini ngotot bahwa anak saya saja yang salah dan tidak mau menghukum siapa itu, yang tangannya patah, saya mau mencoba lagi untuk tetap menyekolahkan Gazi dan Rahmat di sini. Tapi melihat sikap guru Anda yang seperti ini, saya tidak yakin anak-anak saya akan mendapatkan pendidikan yang baik. Sudahlah, saya sudah mengambil keputusan, mulai hari ini, anak saya akan keluar dari sekolah ini, keduanya, Rahmat dan Gazi. Besok saya ambil surat-suratnya ke sini, tolong siapkan.” Lalu Pak Barsah mengeluarkan cek dari tasnya dan menuliskan beberapa angka di sana, “Ini, untuk donasi saya yang terakhir. Tolong diterima, untuk korban yang anak saya pukul, nanti akan saya datangi sendiri keluarganya. Tolong diusur surat-surat anak saya. Ayo, Gazi, Rahmat, kita pulang.” Dan begitulah keputusan yang diambil oleh Pak Barsah, bahwa Pak Barsah memutuskan akhirnya untuk menyekolahkan Gazi dan Rahmat di rumah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN