Daffa berjalan tegap menyusuri koridor kantornya. Ia pun hanya menyunggingkan senyum manis, saat para karyawan menyapa sambil menundukkan sebagian badannya. Angkuh, tegas dan dingin. Itulah pembawaan seorang Daffa Mulin Abimana yang langsung terlihat setiap kali berpapasan dengan orang lain. Walaupun memang tak dapat dipungkiri. Jika wajahnya mengalirkan urat-urat ketampanan yang tak mampu dielakkan oleh wanita manapun di dunia ini. Bahkan, sering membuat para kaum hawa tersihir. Manakala sorot mata elang itu menembus kelopak mata mereka hingga menyalurkan aliran listrik yang meluluhkan hati yang merindukan belaian kasih sayang.
"Selamat pagi, Pak Daffa," ucap Maurin. Sekretaris pribadi yang meja kerjanya sengaja ia posisikan di samping pintu ruangan Daffa.
"Pagi," balas Daffa singkat.
"Hari ini. Kita akan kedatangan tamu dari wartawan televisi swasta Nexttv, Pak. Beliau akan melakukan wawancara eksklusif dengan Bapak untuk acara mereka bertajuk Generasi Muda Pembangun Bangsa," ujar Maurin yang kembali membuat senyuman Daffa hadir di wajah maskulinnya.
"Baiklah, saya tunggu. Jam berapa mereka akan datang?"
"Sekitar jam sepuluh pagi, Pak. Atau satu jam yang akan datang," jawab Maurin dengan sedikit gelagapan. Maurin pun mengutuk dirinya sendiri. 'Kenapa selalu saja d**a ini berdesir, wajah ini terasa panas tiap kali bertatap muka dengan Bos Muda. Padahal, gue sering melakukannya. Huh malu-maluin,' batinnya kesal sendiri.
"Oke. Kabari saya kalau mereka sudah datang," timpal Daffa kemudian meneruskan langkahnya memasuki ruangan.
"Baik, Pak," sahut Maurin sambil menundukkan kepalanya.
Setelah Daffa berlalu wanita yang masih memiliki garis keturunan suku Tionghoa itu pun menjatuhkan badannya ke atas kursi kerja hingga sedikit berputar. Ia mengambil berkas yang ada di atas mejanya untuk mengibaskannya ke depan wajahnya beberapa kali.
"Huh. Huh. Huh." Maurin kembali mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Sudah hampir setengah tahun ia mengabdikan diri di perusahaan ini. Menjadi Sekretaris Bos Muda yang sering diajak kemana tiap kali dia bertemu klien di luar kantor. Tapi, entah mengapa tetap saja pesona Bos Muda tak bisa ia palingkan begitu saja. Walau memang ia memperlakukannya dingin seperti batu es di kutub utara. Namun, tetap saja tak memudarkan kharismanya.
**********
Di belahan bumi yang lain. Di sebuah Desa kecil di pelosok Kota Wonosobo, Jawa Tengah. Mendekati negeri atas awan, Dieng yang memiliki ketinggian sekitar dua ribu meter di atas permukaan laut. Terjadi sebuah bencana tanah longsor yang cukup menyita perhatian masyarakat Indonesia. Pasalnya, kejadian bencana alam ini sering terjadi. Akibat lahan pegunungan yang tidak ditanami pepohonan keras di sana. Lihat saja! Sejauh mata memandang hanya ada tanaman kentang dan kubis yang nampak merata hampir di seluruh permukaan tanah yang miring itu. Jadi, bagaimana tidak terjadi hal serupa jika sedang musim hujan seperti ini.
Dari dasar pertanyaan itulah yang menyebabkan sebagian Mahasiswa relawan nekat terjun ke Desa Setieng tersebut. Untuk mensosialisasikan tentang bagaimana cara mengurangi terjadinya erosi atau tanah longsor akibat kerusakan tanah yang cukup parah disana. Mereka ingin mengembalikan kualitas tanah, tanpa menghilangkan sumber mata pencaharian masyarakat sekitar.
Salah satu relawan dari berbagai Universitas yang tergabung dalam Organisasi Ramah Lingkungan Indonesia ini, bernama Mulin. Dia adalah seorang lelaki berparas tampan dengan perilaku ramah dan sopan terhadap masyarakat sekitar. Sikapnya yang selalu terlihat baik pada masyarakat Desa pun menggetarkan hati sebagian besar gadis kampung di sana.
Begitu, pula dengan Kinanthi. Kembang Desa yang masih berumur dua puluh dua tahun itu pun menaruh hati padanya. Siang dan malam wajahnya selalu terbayang-bayang di pelupuk mata. Untung saja Pakde Kinanthi menjabat sebagai Kepala Desa. Jadi, dia bisa lebih dekat dengan sang pujaan ketimbang gadis-gadis lain yang juga mengidolakannya.
Begitupun pagi ini. Seperti biasa Kinan yang kesehariannya hanya membantu orang tuanya di kebun kentang. Kini memiliki tugas baru dari kakak tertua ayahnya itu. Pakdhe Anto memerintahkannya dan sang ibu tercinta untuk menyediakan makanan bagi para relawan selama berada di kampung ini. Makanya, saat ini Kinan dan ibunya tengah sibuk menata makanan di ruang tamu rumah Pakde Anto yang menjadi tempat tinggal mereka selama disini.
"Mas Mulin," panggil Kinan saat melihat sosok lelaki tampan yang melewati samping rumah setelah ia mandi di kamar mandi umum tak jauh dari rumah sang Kepala Desa tersebut. Mulin pun langsung menghentikan langkahnya saat mendengar seseorang memanggil namanya. Kinan pun segera menghampirinya yang masih berdiri di samping rumah. "Sarapannya sudah siap. Monggo, Mas. Makan dulu," tawarnya ramah.
"Ceileh. Kenapa yang disuruh sarapan si Mulin doang. Kita nggak dapet jatah nih," ujar Alif menyindir. Kinan pun langsung tersenyum sambil menundukkan wajahnya. Malu.
"Oh, iyo, Mas. Monggo Mas. Semuanya sarapan dulu," balas Kinan dengan logat Jawanya yang kental itu.
"Iya. Iya. Kita tau kok. Kamu suka sama Mulin, kan. Sok mangga berdua. Kita sarapan dulu," balas Alif lagi dengan logat Sundanya yang tak kalah medok. Sedang Mulin pun masih diam di tempat. Sambil senyam-senyum tak jelas.
"Kamu sendiri sudah makan belum, Ki?" tanya Mulin dengan penuh perhatian. Kinan pun segera menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tanpa berani mengangkat kepalanya. Karena kini kedua pipinya sudah terasa panas. Jadi, dia tidak mau ditertawakan oleh pangeran impiannya itu. Lagi-lagi Mulin pun tersenyum.
"Kalau begitu kita makan berdua yuk. Sambil ngobrol disana," ajaknya sambil menunjuk ke arah kursi yang memang disediakan di teras samping. Jika sore menjelang malam. Dari tempat itu terlihat sunset yang sangat indah. Makanya Pak Lurah berinisiatif memberi kursi di tempat itu untuk bersantai.
"Iya, Mas. Ayuk," balas Kinan sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali. Tanpa merubah posisi kepalanya yang masih tertunduk.
Mulin pun semakin mengembang kan senyum di wajahnya. Lalu ia pun meraih tangan Kinan lalu menggandengnya ke dalam. Tentu saja Kinan kaget bukan kepalang. Sebab, ia tidak pernah menyangka akan diperlakukan seperti ini oleh lelaki pujaannya.
"Ciye. Ciye. Kayaknya Mbok Sri hampir punya mantu nih," sindir Yoga dengan mulut penuh. Seketika semua orang-orang yang ada di ruang tamu rumah Pak Lurah itu pun menoleh ke arah yang sama. Mereka memang sudah tau jika kedua insan itu memang saling memendam rasa. Tapi, mereka tidak menyangka sejoli itu akan jadian secepat ini. Kinan pun merasa malu. Lalu ia berusaha melepas genggaman tangan Mulin di tangannya.
"Kenapa?" tanya Mulin terdengar kecewa dengan tingkah Kinan tadi.
"Malu tho Mas. Diliatin temen-temenmu," jawab Kinan lagi.
"Biarin aja. Biar mereka pada iri. Hahaha," balas Mulin dengan cukup lantang. Tangannya pun kembali menggenggam tangan lembut Kinan yang sempat terlepas. Lalu mereka pun berjalan melewati teman-teman Mulin yang sudah menyangga miring masing-masing. Mulin dan Kinan pun mengambil makanan mereka lalu keluar lewat pintu samping agar mereka sampai di kursi yang dimaksud Mulin tadi.
"Wuuuu. Mojok aja terus," sindir teman-temannya lagi. Sedang Mbok Sri melihat anaknya bahagia dengan Mulin hanya tersenyum saja di samping tempat makanan yang sudah ia siapkan.