Bab. 1 Abimana, Papaku tercinta

1041 Kata
"Maaf Mas," ucap seorang wanita lirih. Nyaris tak terdengar. Tangan kanannya pun sibuk membenarkan gendongan yang terdapat seorang bayi berumur delapan bulan yang sedang menangis di dalamnya. "Tolong dong, Yul. Kamu jangan pakai emosi begitu. Kasihan kedua anak kita," balas seorang lelaki yang sedang menimang-nimang bayi yang berwajah yang sama dengan bayi yang ada pada wanita yang ia sebut Yul itu. "Tapi, Mas. Aku sudah tidak kuat hidup denganmu, Mas. Hiks. Kamu sungguh-sungguh keterlaluan. Hiks. Aku tidak tau harus bagaimana lagi untuk mempertahankan hubungan kita. Hiks. Hiks. Hiks," sahut wanita tadi diantara tangisnya yang sesegukan. "Maafkan aku Yul. Izinkan aku memperbaiki kesalahanku. Aku mohon," rengek sang lelaki. "Tidak, Mas. Sudah berulang kali kamu melakukan kesalahan yang sama. Dulu pun, kamu pernah memohon-mohon padaku untuk memberimu kesempatan. Namun, pada akhirnya, kamu sendiri yang melanggar," ucap wanita itu dengan pandangan yang menerawang entah kemana. Air matanya pun terus mengalir seiring dengan ucapannya yang meluncur begitu lancar dari mulutnya. "Yulia. Aku mohon. Kasihanilah Daffa dan Daffi, Yul. Jangan kamu tinggi kan egomu," ujar lelaki tadi terus memohon. "Maaf, Mas. Sekali lagi aku hanya bisa minta maaf," timpal nya mantap. Tangan kanannya pun langsung meraih tarikan koper sudah berada di sebelahnya. Lalu dengan langkah tegap ia pun berjalan menjauh. "Yul!!! Tunggu, Yul. Jangan tinggalin aku." ********** "Aaaa!" teriak Abimana sambil terjaga dari tidurnya. Hosh. Hosh. Hosh. Nafasnya pun tersengal-sengal dengan kening yang bercucuran keringat. Pikirannya pun masih terbayang-bayang dengan mimpi buruk yang akhir-akhir ini mengusik tidur nyenyaknya. "Papa," ucap seorang Daffa Mulin Abimana. Sambil menerobos masuk ke dalam kamar tidur Papa tercintanya. "Papa kenapa? Mimpi buruk lagi?" tanyanya dengan nada khawatir. Namun, Abimana masih saja terdiam. Sedang pandangannya masih menerawang jauh entah kemana. Daffa pun langsung menyambar air putih yang tersedia di atas meja kecil di samping tempat tidur Papanya. "Minum dulu Pa," lanjutnya sambil mengangkat tubuh Abimana yang sudah tidak berdaya. Lalu ia pun menyodorkan gelas berisi air putih itu pada lelaki yang sudah membesarkannya sejak kecil itu. Abimana pun menerima gelas itu dengan tangan kanan, lalu meminum air itu tanpa menggerakkan kepalanya sama sekali. Dia memang sudah tak sesehat dulu. Apalagi sejak empat tahun yang lalu dia terkena stroke. Makanya, Daffa harus menggantikan posisinya menjadi pemimpin perusahaan di usia muda. Karena Abimana sudah tidak mampu melakukannya lagi. "Kalau gitu, Papa tidur lagi ya. Biar Daffa temenin," ujar Daffa lembut. Akhirnya Papanya pun menggerakkan kepalanya ke atas dan bawah. Daffa pun tersenyum. Lalu menidurkan Papanya kembali. Kemudian ia juga menarik selimut sampai menutupi d**a Papanya. Abimana pun menatap putranya dengan sendu. Tak terasa air matanya mengalir dengan deras. 'Maafkan, Papa ya Daffa. Gara-gara Papa kamu jadi kehilangan sosok ibu dan adikmu,' batin Abimana. "Pa. Papa kenapa nangis sih?" tanya Daffa dengan penuh perhatian. "Ma… maappin, Pappa ya," balas Abimana dengan susah payah. "Pa, Papa nggak salah apa-apa sama aku. Justru aku yang sering merepotkan Papa sejak kecil. Harusnya aku yang minta maaf, Pa," sahut Daffa sambil mengelus puncak kepala Papanya. Melihat kondisi Papanya yang tak kunjung membaik. Daffa pun meneteskan air matanya. Ada satu rasa ketakutan yang selalu menghantuinya tiap kali melihat kondisi Papanya yang seperti ini. Rasa takut akan kehilangan orang yang paling dicintainya untuk selama-lamanya. 'Sebab, Papa adalah satu-satunya keluarga yang gue punya. Andai kelak beliau tiada. Dengan siapakah gue harus menjalani hidup?' tanya Daffa dalam hati. Saat ia sadar pipinya yang sudah semakin basah oleh air mata. Daffa pun segera menghapusnya. Lalu, ia pun tersenyum saat melihat Abimana sudah memejamkan mata. Daffa pun mengelus ujung kepalanya lalu mengecupnya dengan pelan. Seperti janjinya tadi, Daffa pun berjalan ke arah sofa yang berada tak jauh dari tempat tidur Abimana. Lalu ia pun naik ke atas sofa itu untuk segera melanjutkan tidurnya. Beberapa jam kemudian. Sinar mentari pagi pun berhasil menerobos masuk ke dalam sela-sela gorden yang menutupi kaca jendela kamar. Dan salah satu diantaranya, berhasil memantul sampai mengenai kedua kelopak Daffa yang masih terpejam. Akhirnya Daffa pun mengerjapkan matanya. Merasa cahaya sang surya iri melihatnya masih tenggelam di alam mimpi. Makanya, dia berusaha mengusik ketentraman tidur Daffa. "Hoaaamb." Daffa pun menguap lebar-lebar sambil mengangkat badannya sehingga berada di posisi terduduk. Sambil mencoba mengingat-ingat kejadian apa yang semalam ia lakukan, Daffa pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Akhirnya, pecahan mozaik dalam ingatannya kembali menyatu. Daffa pun melirik ke arah tempat tidur Abimana yang sudah kosong. "Papa kemana?" tanyanya pada dirinya sendiri. Lalu Daffa pun mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding yang tertempel di salah satu dinding kamar. "What's? Udah jam delapan. Wah, telat ngantor nih gue," ujar Daffa panik. Daffa pun segera berlari keluar kamar Papanya lalu berlari ke arah kamarnya yang berada tak jauh dari kamar Papanya. Setelah sampai di dalam, ia pun langsung masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dalam ruang pribadinya. Daffa pun langsung membersihkan diri di bawah guyuran shower. Namun, tidak lama kemudian ia kembali keluar dengan lilitan handuk yang menutupi pinggang sampai atas lututnya. Blak! Pintu terbuka. Ia pun segera masuk kembali ke kamarnya. Lalu bergegas mencari pakaian yang cocok untuk ia kenakan saat ini. Seperti moodnya hari ini yang terasa abu-abu baginya. Ia pun mengeluarkan setelan jas blazer berwarna abu-abu dengan dikombinasikan kemeja berwarna putih lalu dasi panjang salur berwarna abu-abu. Sangat pas dengan sepatu pantofel hitam yang berasal dari pabrik sepatu ternama di dunia. Daffa mengeluarkan sisir lalu mengusapkan beberapa kali untuk merapikan rambutnya yang tadi sedikit berantakan. Lalu ia pun menggunakan tabir surya untuk dia pakai di wajah dan kedua tangannya. Walaupun ia bekerja di dalam ruangan, tapi Daffa sangat menjaga penampilannya. Bukan karena dia ingin tampil tampan di depan semua wanita. Namun, Daffa memang senang merawat penampilannya untuk meningkatkan prestige nya. Dan sebagai alat penunjang penampilannya yang terakhir yaitu parfum Gentlemen kesayangannya. Sebelum keluar Daffa pun meneliti penampilannya lagi. Takut ada sesuatu yang salah dan membuatnya menjadi bahan ejekan para netizen. Daffa memang selalu berpenampilan sebaik mungkin demi menjaga wibawanya di depan sorotan masa. Apalagi akhir-akhir ini akan ada berita besar yang kembali mengangkat namanya. Setelah pemberitaan tentang melejitnya jumlah komoditas ekspor Indonesia yang membuat perekonomian bangsa semakin membumbung tinggi. Bakal ada berita lain yang lebih mendongkrak tingkat popularitasnya. Daffa pun kembali tersenyum mengingat apa yang sudah dicapainya selama ini. "You cool, boy," ujarnya pada dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN