Part 16: Apology

4841 Kata
P.O.V Author • Mungkin mati lebih mudah Dibanding mendapat maafmu. Ku nyanyikan lagu ini Ku harap engkau mengerti. Ku ingin engkau bahagia Tapi ku tak bisa berdusta. Ku harap kau mau kembali, Maaf..~ Seandainya.. aku bisa, lihatmu sekali saja. Aku rela, kehilangan segalanya. Meski hanya di dalam mimpi, Ku ingin melihatmu, Sebentar saja~ • "Ini apa'an sih. Penulisnya kampret emang. Pake dikasih backsound gini lagi" kata Adrian. "Ah, bacot. Katanya udah berubah. Mana? Masih ngeringkuk di kamar aja" kataku. "Lah, dia bisa jawab" balas Adrian heran. "Yah terserah gue dong. Kan ini cerita yang nulis gue" kataku. "Ck,.. Bisa diem gak sih!" balas Adrian kemudian menggigit bibirnya. "Kalo gue diem, yang nulis cerita ini siapa?" tanyaku. "Gue udah berubah kok. Gue cuma ngeringkuk di kamar kan, udah gak nyanyi-nyanyi gak jelas lagi" elaknya. "Tapi lo tadi hampir nyanyi kan" "Iya. Gara-gara lo kasih backsound gitu" "Kenapa gak jadi?" "Ya karna ada lirik lagunya gak sesuai sama apa yang gue rasain saat ini. Gue gak mau cuma nemuin dia di mimpi, gue ngerasa gak pantes nemuin dia meski itu cuma di mimpi" "Trus sekarang gimana? Lo bakal diem doang nungguin dia?" "D-dia pasti kesini kok, masih ada barangnya yang di sini kan" kata Adrian dengan nada tidak begitu yakin lalu menggigit bibirnya lagi. "Iya, dia kesini buat ngambil barangnya doang. Trus ninggalin lo lagi" jawabku. "Yah,.. pas dia kesini nanti gue bakal minta maaf-" "Iya kalo dia kesini, kalo gak" kataku memotong perkataan Adrian. "Iya juga, sekarang hari apa sih? Gue sampe lupa hari gara-gara nungguin dia doang" kata Adrian. "Senin" jawabku singkat. "Berarti,.. udah 2 hari ya" katanya sambil lagi-lagi menggigit bibirnya. "Dan selama 2 hari itu juga lo cuma diem, gak kelarin satupun masalah lo. Jangankan masalah lo yang ini. Masalah lama lo, 'janji' lo sama 'dia' aja belum lo laksanain" kataku. "Tenang, gue udah punya rencana. Dan soal yang 'janji' itu, bakal gue tepatin kok. Tapi nanti dulu" kata Adrian sambil mulai bangkit berdiri. "Ya udah, sana! Temuin dia! Kalo gak, gue tikung juga lo" kataku. "Bentar napa, badan gue lemes" kata Adrian. "Gimana gak lemes, lo belum makan dari kapan hari. Terakhir lo makan ya, yang dibayarin sama temen lo itu kan" "Emang iya ya? Ya udah lah, nanti dijalan gue beli roti aja lah" kata Adrian. "Tapi,.. gue gak tau dimana dia sekarang" tambahnya. "Bukannya dia ngasih tau ya" kataku. "Maksud gue gak tau dimana itu lokasinya. Alamatnya" kata Adrian yang sekali lagi menggigit bibir bagian bawahnya. "Emangnya dari sekian banyak member yang lo kenal, gak ada yang mau bantuin lo?" kataku memberi petunjuk pada Adrian. "Bener juga, dia pasti mau bantu. Dia pasti mau ngasih tau. Makasih ya, lo emang terbaik" kata Adrian lalu mengambil Hp-nya dan mulai menelfon seseorang. . . . . . . . . P.O.V Shani Aku melihat Hp-ku. Menunggu. Apa hari ini dia cuma mau nelfonin aku lagi ya?, batinku. Aku kembali melihat layar Hp-ku lagi, password nya masih sama, pola 'setengah hati' yang dia dibuat. Aku suka banget sama pola ini. Aku suka sama semua yang dia lakuin buat aku. Kecuali waktu dia bohong. "Aku sudah tahu, kamu memang lucu Saat ku lihat kedua matamu.~" "Nyanyi apa, ci?" tanya Gracia. "Ah, gak. S-siapa yang nyanyi" balasku Kenapa aku nyanyiin lagu itu sih? Lagu yang sering dia nyanyiin buat godain aku. "Ini, ci. Minum dulu, jangan nangis terus" tawar Gracia sambil meletakkan segelas air di meja didepanku. "I-iya, Gre. Makasih ya, maaf aku udah ngerepotin kamu. Gara-gara aku nginep disini, kamu gak bisa jalan-jalan sama keluarga kamu" "Ah, gapapa. Aku juga lagi males keluar kok, capek habis kegiatan kemaren" balasnya. Sekarang aku sedang berada di rumahnya Gracia, di ruang tengahnya. Duduk di sofa. Aku numpang menginap disini. Menunggu dia menjemputku. B-bukan berarti aku pengen dia jemput aku ya. C-cuma,.. itu,... apa,... aku gak enak aja sama Gracia. Udah 2 malem aku nginep disini. "Gimana, ci? Masih,.. Eh, itu kan-" Aku langsung mengambil Hp-ku yang tadi sempat kuletakkan di atas meja dengan cepat. "K-kenapa? Kenapa, Gre?" Apa tadi Gracia sempet lihat ya? Apa Gracia lihat wallpaper Hp aku tadi? Wallpaper Hp ku 'masih' foto dia, foto yang diambil saat kami di Jogja. Wallpaper Hp-ku terpasang fotonya. Sebaliknya, wallpaper Hp-nya terpasang fotoku. Jika Hp kami ditaruh bersebelahan, akan terlihat seperti kami berdiri bersebelahan. Karena memang foto itu diambil saat kami berdiri bersebelahan. Dia tersenyum lucu di foto ini. Senyumannya itu lho, gemesin banget sih. Aku pengen liat senyuman itu lagi. "Ah, itu,.. Gimana, Ci? Masih belum mau pulang? Belum mau maafin kak Adrian?" tanya Gracia sambil tersenyum-senyum kecil. "Gak usah disebut, Gre! Aku masih sebel sama dia" kataku sebal. Aku udah ceritain semuanya ke Gracia. Dia sahabat aku, jadi gak perlu ada yang ditutup-tutupin. Meskipun ada beberapa bagian yang aku 'samarkan'. "Iya iya, ci. Maaf" kata Gracia memelas. "Jadi gimana?" tanyanya lagi. "Kan dia belum minta maaf, Gre. Lagipula kalo dia emang beneran mau minta maaf, harusnya dia susulin aku kesini dong" kataku. Sebenernya aku udah pengen pulang, tapi aku masih sebel sama dia. Dia harus minta maaf dulu. "Emang kak Adrian tau kalo ci Shani ada disini?" tanya Gracia lagi. "Jangan disebut, Gre!" kataku lagi. Sebal. "Iya, maaf. Tapi kan, ci, dia gak tau rumah aku. Kalo kak Ad.. Kalo dia tau rumah aku, nanti ci Shani marah lagi. Curiga. Disangkanya aku ada apa-apa sama kak Ad.. sama dia. Mungkin aja dia masih nyari ci Shani ditempat lain" kata Gracia. Pokoknya aku gak mau tau, aku gak mau nyebut ataupun denger nama Adrian sebelum dia minta maaf. Titik! "EHH?!" kataku Reflek. Tuh, kan malah kesebut sendiri. Iiihh. "Eh??" sahut Gracia bingung. "Ah, itu,.. apa,... Aku gamau tau, pokoknya dia harus nemuin aku disini, terus jelasin semuanya" kataku. Lagian aku udah bilang kok ke dia kalo aku bakal kesini sebelum aku pergi dari rumahnya, batinku. "Tapi kan-" TOK TOK TOK Pintu rumah Gracia ada yang mengetuk. Apa jangan-jangan,.. "Nah, lho. Kalo itu kak Adrian gimana, ci" kata Gracia menggodaku dengan tersenyum. "Ish, apa sih. Kalo itu Adrian bilang aku gak ada disini" kataku. "Ih ihh, disebut sendiri" kata Gracia menggodaku. "Kamu sih. Udah. Pokoknya kalo itu dia, bilang aja aku gak ada" kataku lagi. "Lho, gimana sih, ci?" tanya Gracia bingung. Aku pengen ketemu Adrian, tapi aku belum siap. Takutnya aku salah tingkah, soalnya apapun yang dia lakuin pasti selalu bisa buat aku seneng, kecuali saat dia bohong ya. "Udah, pokoknya bilang aja gitu" "Gak janji ya, hehe" balas Gracia kemudian tertawa. TOK TOK TOK Terdengar lagi suara ketukan pintu. Gracia lalu menuju pintu untuk menemui orang yang daritadi mengetuk pintu itu. Sedangkan aku, bersembunyi di balik sofa. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Lama,.. bikin penasaran aja. Beneran dia apa bukan ya. Pengen lihat. Tapi,.. kalo nanti aku ngintip,.. dia bisa lihat aku dong. Tapi apa emang bener dia? Duuuhh,.. Bingung. Gimana ya?, pikirku. "Ngapain, ci?" tanya Gracia tiba-tiba. "Ah, gak,.. itu,.. apa,... Siapa tadi?" tanyaku balik. "Oh, itu,.. Sales panci" jawab Gracia. "Oh,.." balasku sedikit kecewa. "Ngarepin kak Adrian yang dateng ya. Ups,.. kesebut lagi deh" kata Gracia dengan sengaja tapi seakan dia buat tidak sengaja. "GREEE!!" "Hehehe. Sorry, ci sorry" Jangan disebut terus dong,.. Kan nanti aku jadi tambah,.. Aaahh,.... Kamu kemana aja sih? Susulin aku kesini! Masa kamu cuma nelfon doang kayak kemaren-kemaren? Sini cepetan! Susulin aku, Adrian! Duh, malah kesebut lagi kan. . . . . . . . . P.O.V Vanka Hari senin, hari dimana para member libur dari kegiatan JKT. Karena sekarang aku adalah member team T yang sedang tidak ada kegiatan dan sebagian besar dari member team T ada yang masih libur sekolah. Maka,.. sekarang ini aku sedang berada di cafe di salah satu mall sama anak-anak team T yang lain, tapi aku lebih memilih untuk duduk agak menjauh. • Kau tak terkejar~ • "Ku tak akan menyerah" • Kau tak bisa kulihat~ • "Ku tetap berusaha" • Apakah,.. selamanya,.. • "..kita takkan bahagia" Aku sedikit menyahuti lirik lagu yang diputar di cafe ini. Lirik lagu ini sedikit menggambarkan keadaanku saat ini. Kok lama-lama aku jadi kayak kak Ian ya, kalo lagi galau suka nyanyi-nyanyi gak jelas, pikirku. Huft,~ Aku menghela nafas sejenak. "Kak Ian masih gak mau jawab chat aku" gumamku pelan. Aku sebenarnya agak malas diajak jalan keluar karena suasana hatiku masih tidak enak. Aku lagi bete. Gimana gak bete coba, Kemaren aku udah capek-capek caper di theater, ternyata kak Ian malah gak dateng. Di chat juga gak dibales, ditelfon,.. diangkat sih, tapi dia nya gak ngomong. Maunya apa coba. "Kamu kenapa, Cil? Kok keliatan murung gitu" tanya Okta yang pindah duduk disebelahku. Sepertinya Okta sadar kalau aku daritadi melamun. "Eh, gapapa kok Ta" jawabku. "Gak usah bohong, cerita aja kalo ada masalah. Siapa tau aku bisa bantu, kita kan temen. Satu tim lagi sekarang" kata Okta sambil tersenyum. Apa aku harus cerita sama Okta ya? Katanya Okta cukup baik dalam memotivasi orang. Mungkin dia bisa ngasih saran. Tapi masa aku harus cerita soal kak Ian. "Malah bengong, mau cerita gak? Kalo gak mau, aku juga gak maksa kok" kata Okta lalu seperti ingin berdiri. Tapi kemudian aku menahan tangan nya agar dia tidak jadi berdiri dan tetap duduk di sebelahku. "Tunggu, Ta. Aku mau cerita" kataku. "Ya udah, ayo dimulai ceritanya" balas Okta. "Tapi kamu jangan cerita ke orang lain ya. Ini rahasia soalnya" "Tenang aja, aku udah biasa kok disuruh jaga rahasia" kata Okta. "Janji ya" kataku. "Iya. Aku janji" balas Okta. Akhirnya aku menceritakan permasalahanku dengan kak Ian. Tapi aku berusaha untuk tidak menyebut nama kak Ian saat aku bercerita. Aku menceritakan semuanya mulai dari awal pertemuan kami di toilet, sampai 2 hari lalu yang menjadi puncak permasalahan kami saat aku menyatakan perasaan ku padanya ketika dia mengantarku pulang. Aku juga tidak menyebut nama ci Shani, karena aku juga tidak begitu paham hubungan ci Shani dengan kak Ian. Kalau cuma saudara kenapa ci Shani kelihatan cemburu dan kenapa juga kak Ian seperti tidak mau kehilangan sosok ci Shani. Apa mereka sama-sama memendam rasa? Setelah aku selesai bercerita, aku bisa melihat ekspresi terkejut di wajah Okta. Ya mungkin ceritaku memang terlalu mengejutkan. "Aku gak nyangka lho, Cil. Ternyata kamu kayak gitu. Tapi tenang aja, aku pasti akan jaga rahasia ini kok" kata Okta. "Iya, makasih ya. Jadi kira-kira gimana menurut kamu? Aku harus apa?" tanyaku kemudian. "Ya, kalo menurut aku sih. Si cowok itu gak salah, kan emang dari cerita kamu itu, hubungan kalian emang gak boleh masukin perasaan kalian disitu. Yah, meskipun si cowok itu juga gak bilang kalo dia gak sayang sama kamu sih" kata Okta. "Bener juga ya" kataku. "Jadi, aku yang harus minta maaf?" tanyaku lagi. "Ya, baiknya sih gitu. Tapi tunggu deh, Cil. Dari cerita kamu tadi, kayaknya aku tau siapa si cowok yang ada di cerita kamu itu. Boleh aku tebak?" kata Okta. "Ah, masa? Gak mungk-" "Adrian bukan? Temen nya kak Shania" kata Okta memotong omonganku. "Ehhh?!!!" kataku kaget. "Bener ya, emang tuh anak dari dulu gak pernah peka sama perasaan cewek deh" kata Okta. "Kok. Kamu kenal juga sama kak Ian, Ta?" tanyaku. "Iya, siapa sih member yang gak kenal dia. Meskipun dia belum tentu juga kenal sama semua member" jawab Okta. Bener juga, tapi,.. Okta kayak cukup deket sama kak Ian. "Dan kamu tau gak, dia pernah pacaran sama member" kata Okta. "MANDA!!" kata kami bersamaan. "Oh, kamu udah tau?" tanya Okta. Aku mengangguk. "Dasar, tuh cowok ya" kata Okta yang kelihatan kesal. • Maafkanku yang suka kepadamu Love you! Love you! Sedikit saja~ • "Eh, bentar ya, Cil. Ada telfon" kata Okta. "I-iya, Ta" balasku. Aku malah jadi bingung, gimana Okta bisa tahu kalo yang aku maksud itu kak Ian? Dia tahu darimana? Atau cuma nebak? Tapi,.. kayaknya Okta emang deket sama kak Ian. Seberapa deket mereka ya? "Panjang umur nih anak" kata Okta lalu menunjukkan layar Hp-nya padaku yang menampilkan kalau ada yang menelfon dengan nama 'kesaYANgan'. "Kesayangan?" tanyaku heran. "Oh, maksudnya Adrian" kata Okta lalu mengangkat telfonnya. Tunggu, kenapa Okta menamai kontak kak Adrian dengan nama 'Kesayangan' ada hubungan apa di antara mereka? Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan karena Okta cuma bisik-bisik, tapi Okta kelihatan sangat senang. Mereka ngomongin apa sih? Apa aku minta ijin ke Okta aja ya kalo aku mau ngomong ke kak Ian?, pikirku. Saat aku ingin bicara pada Okta, sekilas aku melihat sosok yang tidak asing lewat di depan cafe. Aku lalu menepuk-nepuk pundak Okta. "Kenapa, Cil?" tanyanya. Aku tidak menjawabnya, aku hanya menunjuk kearah orang itu. "Lho, kok dia ada disini?" . . . . . . . . P.O.V Adrian "Emangnya dari sekian banyak member yang lo kenal, gak ada yang mau bantuin lo?" kata suara di kepalaku. "Bener juga, dia pasti mau bantu. Dia pasti mau ngasih tau. Makasih ya, lo emang terbaik" kataku. Eh, Hp gue dimana ya?, batinku. Tunggu tunggu, terakhir gue pegang Hp kapan? Kemarin kan. Otakku berusaha mengingat-ingat memori semalam. Gue duduk ngeringkuk di depan tempat tidur sambil pegang Hp, nungguin kalau misalnya Shani nelfon balik. Terus,... karna udah nungguin lama gak ada telfon dari Shani, Hp-nya gue lempar. Lempar ke,.... Kebelakang! Ke arah kasur! Berarti Hp ku ada di,... Ya di kasur lah. "Ya elah, mati total lagi" gerutuku. . . . . . Sekarang aku sudah tau dimana keberadaan nya. Makasih ya, Ta udah mau ngasih tau, batinku. "Gak makasih sama gue, lo? Yang udah ngasih dorongan hidup" kata suara yang tiba-tiba muncul lagi. Ini suara penulis. Sumpah! Suaranya cempreng banget, batinku. "Pake nyindir suara gue lo. Nyindirnya dalem hati lagi, kalo berani ngomong langsung" balasnya. "Iya juga ya kan yang nulis cerita lo, kalo gue ngomong dalam hati, lo juga pasti tau. Tapi bentar, kan yang ngebuat gue nyindir suara lo kan, ya lo sendiri sebagai penulis cerita. Lagian kenapa lo gak bo'ong aja bikin seakan-akan suara lo gak cempreng" kataku. "Bener juga, ya. Kenapa gak kepikiran. Kadang lo pinter juga ya. Eh, gak mau ah. Dia kan gak suka sama pembohong" jawabnya menyindirku. "Ah sialan lo" kataku yang merasa tersindir. "Bilang-bilang, tadi lo ngomong kalo lo punya rencana. Rencana apa emang?" tanyanya. Apa'an coba, 'bilang-bilang, tadi lo ngomong...' yang bener kan 'ngomong-ngomong, tadi lo bilang...'. Katanya yang nulis cerita, tapi susunan kata-katanya gak jelas. Beneran penulis apa bukan sih. Eh, gue sindir gini. Dia protes lagi apa gak ya?, pikirku. "Rencana gue, emang hari ini gue bakal susulin dia-" "Kenapa gak dari kemaren aja?" "Bentar dong, gue belom selesai ngomong" "Ok, lanjut" "Kemaren kan ada launching RE:Boost di theater, kalo gue kesana nemuin dia, yang ada nanti malah tambah ribut. Terus gue di blacklist gak boleh ke theater gimana? Gak lanjut dong ceritanya" jelasku. "Oh gitu" balasnya singkat. Si kampret! Gue jelasin panjang lebar sampe mulut berbusa, lah dia cuma jawab 'Oh gitu' doang lagi. "Lagian kalo hari senin gini kan pas. Pas member lagi gak ada kegiatan biasanya" Ya, kecuali team J yang tengah menjalani jadwal Circus sih. "Halah, itu alesan lo aja kan. Sebenernya lo bingung nyusun kata-kata buat ngomong nanti" tuduhnya. "Nah, itu lo tau" "Ya udah sana, langsung temuin dia" perintahnya. "Bentar gue man-" "Gak usah! Ngapain mandi segala. Udah sama aja" balasnya memotong perkataanku. Nih orang hobi banget motong omongan orang ya. "Ya udah, gue pake parfum aja. Orang ganteng mandi gak mandi juga tetep ganteng kok, cuma bau doang" kataku. Ganteng mah bebas. "Terserah lo lah. Cuci muka sono, tampang lo udah kayak cucian kotor. Berantakan" balasnya. Aku lalu masuk ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka. Saat selesai aku langsung keluar kamar. "Dompet" Oh iya, jangan sampai lupa bawa dompet lagi. Makasih ya, udah diingetin. Penulisnya baik deh. Ya elah, jangankan dompet. Celana aja masih belum dipake. Ya kali pake boxer doang. Setelah memastikan tidak ada yang ketinggalan lagi, aku keluar kamar. Tapi saat aku ingin melangkahkan kaki untuk pergi menemuinya, aku merasa seperti ada sesuatu yang menahanku. Masih ada sedikit rasa takut yang kurasakan. Akhirnya, aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar Shani. Hey, bukan! Kalian jangan berfikiran macam-macam dulu. Aku hanya ingin mengambil surat di bawah meja. "Saat ini aku belum bisa menuhin janji aku" kataku sambil menggenggam surat itu. "Tapi,... kali ini aja, aku minta tolong sama kamu, kasih aku kekuatan. Sekali ini aja. Kasih aku kekuatan. Kasih aku keberanian" kataku lagi. Keberanian untuk menemuinya. "...Setelah itu, aku akan temuin kamu. Dimanapun kamu berada" . . . . . . . "Tempat sampah mana tempat sampah ya?" gumamku. Tidak! Aku tidak ingin membuang diriku sendiri. Aku ingin membuang bungkus roti yang tadi aku beli. Sekarang aku sudah sampai di alamat yang di beritahukan Okta. "Bener yang ini bukan ya?" tanyaku pada diri sendiri setelah membuang sampah. Dicoba dulu aja deh, kalau salah ya nanya. Siapa tau salah satu atau dua nomor doang, batinku. Malu bertanya, sesat hidup lo. (Kayak hidup lo sendiri udah bener aja) Eh, ada orang keluar. Minggir dulu, minggir dulu, kasih jalan. Orang itu memandang ke arahku. Dan berkata,.. "Percuma, mas" Lalu pergi begitu saja. Percuma? Apanya yang percuma? Percuma aku datang kesini? Begitu maksudnya? Udahlah, bodo amat. Coba dulu. Karena pagar rumahnya tidak tertutup, aku langsung masuk saja dan bermaksud mengetuk pintu. Saat aku ingin mengetuk pintu, samar-samar aku mendengar suara dua orang berbicara, aku mempertajam pendengaranku dan aku pastikan kalau salah satunya adalah suara dia akhirnya aku mulai mengetuk pintu. TOK TOK TOK Tidak ada jawaban dan juga tidak terdengar suara langkah kaki mendekat untuk membukakan pintu. Akhirnya aku mengetuk sekali lagi. TOK TOK TOK Akhirnya pintu dibuka oleh Gracia. Ya, aku memang ke rumah Gracia, untuk menemuinya. Menemui Shani. Shani bilang dia akan ke rumah Gracia bukan. Sebenarnya bisa saja aku menemui Shani kemarin saat launching RE:Boost di theater, tapi seperti yang sudah kujelaskan tadi, itu terlalu beresiko. Mungkin juga karena aku terlalu lelah menunggu Shani pulang semalaman. Bahkan aku tidak ingat, sampai hari ini aku sudah tidur atau belum. "Mau apa lagi sih!!" kata Gracia setengah berteriak sesaat setelah membuka pintu. Aku langsung terkejut dan sedikit mundur menjaga jarak. Takut kena tampar. Trauma. Ini kenapa Gracia tiba-tiba marah ya. Dia kan belum aku apa-apain. Eh, kok 'belum'?, pikirku. "H-hai, Gracia" sapaku berusaha ramah. "Eh, kak Ads~. Apa kabs?" sapa Gracia padaku. Nih anak alay emang ya, tapi untung gak kayak si Michelle yang mainannya aplikasi 'Cek Cok'. Yah, meskipun dia juga sering diajak Michelle buat main aplikasi itu sih. "B-baik. Kabar baik" jawabku. "Maaf ya, kak. Aku lagi kesel, barusan ada sales panci. Nawarin panci gitu,.. tapi dia nya maksa, terus pake ngerayu-rayu segala. Genit" katanya. Lah, nih anak malah curhat. Oh, berarti,.. orang tadi itu sales panci. Jadi,.. bisa disimpulkan kalau orang yang kutemui tadi adalah sales panci. Dan dia kira gue sama kayak dia?, pikirku. Ya kali, masa sales panci gak bawa panci. Gak mikir apa tuh orang. Gracia juga, masa aku dikiranya sales panci. Sekalian aja kalo gitu,.. "Kok bisa tau rumah aku?" tanya Gracia lagi. "Aku juga tahu kapan ulang tahunmu" jawabku merayunya setengah bercanda. Jangan berfikir macam-macam dulu, aku hanya bercanda. Tadi Gracia menyangka kalau aku adalah sales panci yang tadi 'merayunya' kan. Nah, aku hanya sedikit meniru sales panci tadi. "Eh! Itu kan dialog film,.. Udah lah, gak penting" kata Gracia. "Kakak stalker ya" tuduhnya padaku tiba-tiba. "Eh, enggak, gue tau karna nanya sama Okta" jawabku membela diri. "Ih, sampe nanya-nanya segala. Segitu pengen taunya ya" kata Gracia lagi. "Bukan gitu, tapi, anu..." kataku. "Hehe bercanda kak. Mau nyariin ci Shani kan" kata Gracia sambil tertawa. "Iya" jawabku singkat. "Dapet salam tadi. Katanya kalo kakak nyariin, aku disuruh bilang gak ada. Tapi orangnya nungguin kok" kata Gracia. Aku langsung tersenyum mendengarnya. Benar-benar sifat Shani yang suka malu-malu, tapi gak fashionable. Lho itu kayak jiko-nya,.. Ah sudahlah. "Berarti dia ada di dalem sekarang?" tanyaku untuk memastikan. "Aku gak bilang gitu ya. Dan aku juga gak bilang kalo ci Shani gak ada di dalem. Hehehe" jawab Gracia sambil tertawa. "Lah, gimana sih" kataku. "Hehehe. Aku boleh nanya gak, kak?" "Mau nanya apa?" "Tapi jangan marah, ya" Aku hanya mengangguk. "Kakak baru bangun tidur, trus langsung kesini ya. Mukanya kelihatan masih capek banget" "Justru aku gak tau, aku udah tidur apa belum" "Sampe segitunya?" Aku menjawabnya hanya dengan mengangguk (lagi). "Duh,... Kasihan. Oh iya, kak. Aku bisa minta tolong gak. Aku mau keluar sebentar, jagain rumah aku sebentar ya. Alias masuk aja kalo pengen minta maaf" kata Gracia. "Bisa aja. Emang dia cerita semua?" tanyaku. "Gak tau deh. Udah ya, bye~" kata Gracia lalu pergi. Haduh itu p****t sekel banget kayaknya, batinku. Kacau emang gue ini. Di saat kayak gini malah nafsu, pikirku. "Udah puas ngelihatin pantatnya Gracia" terdengar suara menegur dari arah dalam. "Eh, Oh. Hai, Shan" sapaku dengan tersenyum. Dia diam saja tanpa menjawab sapaanku. Dia juga memasang wajah marah yang malah membuatku gemas. "Eh, gak. Anu, itu. Siapa yang ngelihatin pantatnya Gracia. Kamu apa kabar? Kok disini?" kataku lalu masuk ke dalam. Aku bertanya begitu karena tadi Gracia bilang aku disuruh menjaga rumahnya, artinya seharusnya tidak ada orang di rumahnya kan. "Jadi kamu kesini gak mau nemuin aku?" tanyanya judes. "Siapa bilang? Aku kesini mau nyariin kamu kok. Suer" balasku sambil mengacungkan dua jari ku membentuk tanda 'peace' tersenyum. Dia diam saja dan tidak menjawab. "Aku duduk ya" kataku lalu duduk di sofa di seberangnya. "Pintunya tutup dulu" perintahnya. "Lho, ini kita cuma berduaan lho, Shan. Kalo pintunya ditutup nanti jadi fitnah. Di rumahnya orang lagi" balasku berusaha mencairkan suasana. "Ish, apa sih. Jadi kenapa mau nemuin aku?" tanyanya. "OK. Sekarang serius, Shan" kataku sambil menarik nafas. "Aku nyariin kamu, mau jelasin semuanya sekaligus minta maaf kalo aku punya salah sama kamu" kataku dengan nada serius. Dia kembali diam. "Kamu siap dengerinnya?" tanyaku. Dia hanya mengangguk. "OK. Aku mulai" kataku lagi. Aku lalu menceritakan semuanya, mulai dari awal pertemuanku dengan Vanka. Hubungan ku dengan Vanka. Kisahku dengan Shania yang sebenarnya mungkin tidak perlu ku ceritakan, aku hanya merasa kalau aku perlu jujur, jujur sejujur-jujurnya saat ini. Kemudian aku juga menceritakan tentang hubunganku dengan Okta, yang lagi-lagi sebenarnya mungkin tidak perlu kuceritakan juga. Tapi ku ingatkan lagi, aku hanya ingin jujur pada Shani. Sampai yang terakhir, yaitu kejadian dua hari lalu saat dia pergi dari rumah. "S-stefi?" tanyanya saat aku selesai bercerita. "Stefi?" tanyaku balik. "Kamu dapet paket apa dari Stefi? Trus,.. trus apa hubungan kamu sama dia?" tanyanya lagi. Benar juga, kenapa aku melewatkan bagian tentang Stefi? Apa aku masih berusaha menyembunyikan sesuatu dari Shani? Atau aku hanya ingin melindungi harga diri Stefi? Sebenarnya perasaan apa yang aku rasakan pada Stefi selama ini? "Hey!" panggil Shani. "Kok ngelamun? Kamu ada hubungan apa sama Stefi?" tanyanya sekali lagi. "Ah. A-aku gak ada hubungan apa-apa sama Stefi, itu yang perlu kamu inget, Shan. Dan soal paket dari Stefi, itu cuma tiket buat HS sama dia. Aku sendiri gak tau kenapa dia ngelakuin hal itu. Tapi yang pasti,.. kamu mau aku jujur kan?" Shani kembali mengangguk. "Aku bingung sama diri aku sendiri. Aku ngerasain sesuatu yang beda waktu kemaren HS sama Stefi" "M-maksud kamu?" tanyanya. "Tapi, itu bukan cinta, Shan" Shani menatapku bingung. "Jujur. Aku akuin, aku sayang sama Stefi. Tapi, itu cuma perasaan sayang yang ingin melindungi, bukan memiliki. Mungkin sama kayak perasaan aku sama member lain. Tapi,.. yang aku rasain kemaren itu, aku gak tau apa" lanjutku. "Itu.. udah semuanya?" tanyanya. "Tunggu,.. kayaknya ada yang kelewat deh" kataku. "Oh iya, aku belum cerita soal aku ini mantan nya Manda ya" kataku lagi. Dari ekspresinya, Shani sepertinya tidak pernah menyangka soal hal ini. "Aku ceritain juga ya. Sekalian lah" kataku kemudian. Dan sekali lagi, aku mulai bercerita. Aku menceritakan kisahku dengan Manda, awal pertemuan kami, bagaimana kami bisa sampai berpacaran, sampai kami putus dan termasuk alasan kami putus. Mungkin sebenarnya ini juga tak perlu kuceritakan. Maksudku apa pentingnya? Manda sekarang seperti sudah menghilang begitu saja, ya kan. "Jadi,.. itu udah semuanya. Udah semua yang aku ceritain yang mungkin perlu kamu tau tentang aku, Shan" kataku saat selesai bercerita. Shani tidak menjawab, dia hanya menundukkan kepalanya. "Jadi,.. Intinya kamu sama Thacil gak pacaran?" tanya Shani lagi masih dengan kepala tertunduk. "Hah? Apa? Astaga, enggak, Shan" jawabku menegaskan. "Dia bilang ke kamu kalo aku pacarnya?" tanyaku. "Aku sama dia gak ada hubungan apa-apa, ya cuma hubungan,... ya,.. yang udah aku jelasin tadi" Shani hanya diam tidak menjawab pertanyaanku. "Oh iya, Shan. Ini juga perlu kamu tahu, mungkin ini cuma alasan aku aja, cuma pembelaan aku aja. Tapi, alasan kenapa aku bisa sampe kayak gitu, mungkin,.. karna waktu itu gak ada orang yang bisa nyemangati aku disaat aku merasa kehilangan. Aku gak punya orang untuk disayang ataupun orang yang sayang sama aku. Aku jauh dari orang tua. Aku kehilangan oshi. 2 kali. Aku juga gak punya pacar, maksud aku gak punya orang yang bisa diajak berbagi kasih. Waktu itu, aku terpuruk banget. Dan saat keadaan aku kayak gitu, aku ketemu Thacil. Dia ngasih aku sedikit 'hiburan' dengan menawarkan 'hubungan tanpa perasaan' itu. Tapi sekarang aku sadar, kalo itu kesalahan terbesar aku" Ya, aku memang sempat terpuruk. Satu-satunya 'penyemangat' ku hanyalah surat di bawah meja. Shani masih menundukkan kepalanya, aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya saat ini seperti apa. Mungkin juga dia tidak mendengarkan apa yang baru kujelaskan terakhir tadi. "Aku emang gak pantes dapet maaf kamu, Shan. Terutama setelah kamu tau semua itu. Setelah aku pikir, gak mungkin juga kamu mau maafin aku kan. Tapi aku masih pengen ngucapin ini" aku kemudian mengulurkan tanganku ke arahnya. "Shan aku minta maaf" lanjutku. Shani lalu mengangkat kepalanya dan melihatku, aku lalu berusaha untuk tersenyum semanis mungkin ke arahnya. Tapi, dia tetap tidak menanggapi uluran tanganku. Dia menepis tanganku lalu melompat dan menghambur ke arahku kemudian memelukku. Jujur, aku kaget dengan reaksinya ini. "Ngapain sih. Pake ngulurin tangan segala. Ini bukan event HS. Aku lebih nyaman kayak gini. Makasih udah jujur. Aku juga minta maaf udah ngambek kayak anak kecil tanpa ngasih kamu kesempatan buat jelasin dulu, tanpa aku tahu kalo kamu pernah ngalamin hal yang menyedihkan dimasa lalu. Pernah ngerasain kesedihan yang dalem. Aku bakal balik kerumah" katanya sambil mempererat pelukannya. "Iya, Shan iya. Udah dong, jangan kenceng-kenceng meluknya. Sesek lama-lama" kataku sambil menepuk-nepuk punggungnya. "Eh, iya. Maaf ya maaf" balasnya lalu melepaskan pelukanya itu. Lalu duduk disebelahku. "Tapi kamu harus janji, gak usah ngelakuin hal-hal kayak gitu lagi ya" kata Shani lagi. "Iya, Shan. Aku bakal segera ambil tindakan soal Thacil, kalo Okta gampang lah. Shania... mudah-mudahan bisa deh, kalo Stefi,.. kayak yang aku bilang tadi, aku masih bingung" kataku jujur. "Ya udah, gak usah buru-buru. Kalo perlu, nanti aku bantu" kata Shani sambil berpindah ke sebelahku. "Yang penting, sekarang kamu gak usah khawatir lagi. Karna kamu udah punya orang untuk berbagi kasih. Yaitu aku. Lagian, mumpung sekarang kita cuma berdua,..." kata Shani menggantung. Sekarang kami saling berhadapan, wajah kami begitu dekat. Wajahnya begitu cantik saat dilihat sedekat ini, ya memang dari awal sudah cantik sih. Shani lalu memejamkan mata dan memajukan wajahnya kearahku. Apa dia ingin aku menciumnya? Ya, aku memang pernah berjanji pada diriku sendiri kalau aku tidak akan berbuat yang tidak-tidak pada Shani. Jika hanya sekedar ciuman mungkin tidak masalah, anggap saja seperti digigit nyamuk, ya kan. Tapi sepertinya,.. "Cek cek e'hem" Suara Gracia yang baru datang langsung menyadarkanku. Firasatku benar lagi dan kali ini, untuk pertama kalinya, aku tidak mengikuti kata firasatku. "Kalo mau gituan jangan di rumah orang dong. Pulang dulu sana" kata Gracia. "Ish, apa sih Gre" kata Shani dengan wajah memerah menahan malu. "Eh, Gracia udah balik?" tanyaku. "Kak Ads ya, disuruh jagain rumah malah mau ena2. Kalo mau ena2 ini pintunya ditutup dulu ish" kata Gracia. "EHH!!" kataku dan Shani bersamaan. "Cia~, kompakan. Jodoh ya, jodoh ya" kata Gracia menggoda kami. "Ish, apa'an sih Gre" kata Shani dengan wajah yang mulai memerah. "Haha, doain aja ya" kataku. "Mas, jangan bikin malu ih" kata Shani sambil memukul pelan pundakku. Tunggu, dia sudah memanggilku dengan sebutan 'mas' lagi. Itu artinya... "Cia~, punya panggilan kesayangan ya. Ihiw ci Shani kiw kiw" goda Gracia lagi. Shani menundukkan kepalanya guna menyembunyikan wajahnya yang semakin memerah. "Udah baikan ya?" tanya Gracia. "Alhamdulillah. Makasih ya Gracia. Ehm,.. Gracias. Hehe" balasku. "Sama-sama kak. Ci Shani jangan lupa janjinya ya. Oh iya mau balik kapan?" tanya Gracia. "Ngusir nih?" kataku. "Bukan gitu, kak Ads. Kan mendingan cepet-cepet balik trus lanjutin yang tadi, daripada kentang kan" kata Gracia. "Graciaaaa!! Iihhhh" kata Shani seperti salah tingkah. "Terserah Shani sih. Mau langsung balik?" tanyaku pada Shani. "Iya deh, langsung balik aja. Daripada disini, ada penggangu!" kata Shani sambil melotot ke arah Gracia. "Cia~, gak sabaran nih. Ngebet banget kayaknya" kata Gracia yang masih saja menggoda Shani. "Udah udah. Jangan digodain terus Shani nya, muka nya udah merah banget lho dia" kataku berusaha membela Shani. "Ihiw, dibelain nih ya" kata Gracia lagi. "Udah udah. Shan beres-beres dulu gih" kataku pada Shani "Gak usah, ci Shani udah beberes daritadi kok. Dia yakin banget kalo hari ini bakalan dijemput sama kakak" kata Gracia. Oh, ternyata... Cie cie~ aku, ditungguin Shani nih ya. "Oh ya?" tanyaku pada Gracia. "Iya kak, ci Shani juga-" "Udah-udah ayok pulang. Gre makasih ya. Aku pamit dulu" kata Shani yang memotong perkataan Gracia lalu mendorong punggungku. Aku penasaran apa yang akan diucapkan Gracia tadi. "Ya udah, hati-hati ya. Awet-awet. Ditunggu undangannya" kata Gracia pada kami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN