Chapter 04

2975 Kata
    Setelah mobil kami berhenti di depan pintu masuk, kami disambut oleh valet yang membukakan pintuku dan Vincent. Aku sangat kaget saat melihat valet itu mengulurkan tangannya dengan sopan padaku. Tubuh mereka besar seperti binaragawan, ditambah dengan wajah mereka yang memenuhi kualifikasi untuk manjadi teman jalanmu, setidaknya selama seminggu dan kau bisa ganti dengan valet yang lain di minggu berikutnya. Demi senyuman Vincentio yang mulia! Aku ingin tahu siapa yang bertanggung jawab sebagai HR di tempat ini. Biarkan aku berterima kasih padanya.     Tidak, tidak, tidak. Itu buruk. Aku tidak boleh berpikir untuk memilih para penjaga ini. Kehidupan romansaku baru saja akan dimulai nanti di dalam pesta, saat Vin mengajakku menari hingga kakiku tak sanggup bergerak lagi.     “Seberapa lama kau akan melongo selebar itu, Simca?”     Kedatangan Vincentio di sebelahku membuat lamunanku buyar seketika. Ini dia, tokoh utama di kisah genre romansa dalam hidupku ini! Vincent mendatangiku dan menyiapkan lengannya layaknya seorang gentleman. Aku menutup mulut tidak tahu diri milikku ini rapat-rapat, membuat senyuman yang paling manis di sana dan kurangkulkan sebelah tanganku pada lengan Vincentio yang menunggu.     “Hei, kau tidak meninggalkan undangannya, bukan?”     Sebelah tangan Vincentio masuk ke sebelah saku jasnya dan mengeluarkan sebuah surat dengan warna putih diikat dengan tali berwarna emas, terkesan begitu mewah dan elegan. Vin memberikannya kepada seorang penjaga di pintu masuk dan pria itu mempersilakan kami untuk melewati penjagaannya.     Setiap langkah membawaku memasuki istana yang penuh dengan cahaya keemasan ini, membuatku merasa semakin gugup. Jika diingat-ingat lagi, aku tidak pernah bergaul dengan orang-orang dari dunia lain seperti mereka yang diundang di pesta seperti ini. Ingatanku tentang bersosialisasi dengan manusia lain hanya sebatas orang-orang normal; keluarga, guru, teman sekelas, pacar. Kami hampir selalu menghabiskan waktuku di meja belajar, di café untuk belajar, atau di kelab malam untuk membebaskan diriku dari belajar. Itu pun, aku tidak pernah pulang sebelum jam dua belas. Karena aku sadar aku adalah Cinderella yang cantik dan seluruh pakaianku akan leleh menjadi debu sihir jika aku terus menari seperti orang gila di sana. Tentu, kecuali sepatuku. Karena hampir semua sepatu-sepatu indah yang kumiliki saat ini sejatinya adalah milik Bianca.     ‘Sepatu yang indah akan membawamu ke tempat indah. Karena itu, rawatlah mereka dengan baik dan anggaplah mereka adalah sahabat berwisata-mu.’     Kutipan kata Bianca yang lain.     Baiklah, wahai sepatuku! Bawa aku ke tempat yang indah dan mari kita membuat kenangan yang indah juga! Kalian mungkin minder karena kalian tidak berharga semahal apa yang para tamu lainnya mungkin pakai, tapi tenang, ada aku yang cantik dan penuh pesona ini bersama kalian.     “Jangan gugup, Simca.”     “Jangan mengada-ada, Vincentio. Apa pun yang kaulihat itu, aku tidak sedang gugup.”     Tertawa kecil akan penolakanku, Vin melanjutkan percakapannya, “Lihat siapa yang coba kaubohongi. Aku mengenalmu, Simca. Kau akan menunduk dan melihat sepatumu sendiri setiap kau merasa gugup. Dan yang mengejutkan adalah, aku baru saja melihatmu melakukan persis seperti apa yang kukatakan.” Pria itu menepuk-nepuk sebelah punggung tanganku yang menggandeng lengannya. “Tenang, asal kau mengingat dengan jelas kesepakatan kita, semuanya akan baik-baik saja.”     Lihat siapa yang coba kubohongi? Pangeran dari negeri fantasi.     Vincentio benar. Mungkin kegugupan dan rasa minder yang merambatiku ini tidak masuk akal. Aku memiliki Vincentio di sampingku yang tak lain adalah seorang teman dari om-om kaya raya yang memiliki semua kemewahan ini. Senyumku melebar dengan natural, aku bahkan tidak menyadari bahwa aku sedang tersenyum jika saja Vincentio tidak mengatakan bahwa ia menyukai senyumku malam ini. Aku juga menyukaimu, hanya saja aku tidak cukup gila untuk mengatakannya saja.     Bersama Vincentio semuanya akan baik-baik saja! Jimat keberuntungan yang selalu ampuh.     Awalnya aku berpikir demikian. Namun perasaan menggebu-gebu yang terus meningkat itu, tiba-tiba skalanya berhenti di tempat saat aku melihat banyak sekali pelayan yang membawa nampan berisi topeng untuk menutupi mata. Vincentio bahkan tanpa kusadari sudah mengambil salah satunya dan memakai topeng itu dengan sangat tenang.     “Jadi … ini pesta topeng?”     “Apa aku tidak mengatakannya padamu sebelum ini?”     “Kau juga tidak mengatakan bahwa ini adalah pesta para vampir.”     Tentu saja, Vincentio menertawakanku. Aku mengambil topeng yang paling tidak mencolok, sewarna gaun yang sedang kukenakan, kemudian memakainya. Kami kembali melanjutkan langkah beriringan menuju pintu yang tinggi, terbuka dan hanya satu arah. Vincentio masih menemaniku, masih menggandengku saat kami melewati pintu itu. Namun, di detik yang sama setelah aku memasuki ruangan itu, aku merasakan semua kepercayaan diri yang sudah susah payah kubangun, hilang begitu saja. Bahkan meski dengan keberadaan Vin di sisiku. Entah dari mana aku mendapatkan perasaan ganjil ini tapi di dalam hall pesta, dadaku dipenuhi oleh perasaan tidak enak. Aura aneh yang menekan, menyeruak dari setiap penjuru ruangan.     Saat kami datang, acara ini kiranya sudah berjalan sekitar setengah jam. Awalnya aku pikir, aku akan bersyukur karena dengan datang telat, aku mungkin akan melewatkan kesempatan untuk bermanis-manis mulut dengan si pemilik acara. Bukankah orang-orang kaya itu selalu sibuk? Kupikir mereka hanya akan hadir sebentar dan memberikan sambutan singkat, lalu pergi lagi untuk mengurus bisnisnya atau sekadar meluangkan waktu untuk beristirahat. Tapi pikiran untuk bertemu pemilik gedung mewah ini menjadi terasa terlalu tinggi setelah aku berbaur dengan mereka yang adalah tamu undangan.     Di sisi kiriku, kulihat seorang aktor kawakan, komedian kondang, dan beberapa penyanyi terkenal. Sedangkan di sisi kananku adalah beberapa pejabat negara yang pernah aku lihat di televisi. Aku lupa namanya, tapi jelas, orang-orang ini adalah orang yang memiliki strata sosial yang jelas berbeda level denganku. Beberapa dari mereka melirik ke arah kami hanya untuk kemudian kembali melakukan kegiatan mereka sebelum ini. Semuanya terlihat menikmati alunan musik yang berdentum mewarnai malam ini. Tapi tidak ada seorang pun yang terlihat akan memberiku—dan sepatuku—kenang-kenangan manis untuk diingat. Mereka, orang-orang dan segala kemewahan yang terasa begitu ganjil ini, seakan menekan napasku dengan tekanan yang kuat. Kedua kakiku berhenti melangkah, aku berusaha merasakan napasku sendiri. Berusaha menenangkan diriku yang seakan ingin menghilang dari sana karena gugup, aku berusaha mengesampingkan kemungkinan bahwa beberapa jam ke depan aku akan berjalan dilantai yang sama dengan para konglomerat Italia, atau bahkan mungkin sudah kelas dunia.     Berkata pada diriku sendiri bahwa aku tidak apa-apa, berjuta kali dalam satu menit di dalam hati.     “Hei, apa kau baik-baik saja?”     Aku mendongak untuk mendapati wajah khawatir Vin lagi. Dalam sehari saja, aku bisa membuatnya khawatir berkali-kali. Aku harus membenahi sikapku. Jika Vincent melihatku pucat sedikit saja, dia akan mulai menasehatiku seakan aku adalah mantan pecandu narkoba yang merindukan obat-obatan itu dan membawaku pulang detik itu juga sebelum aku sempat menikmati apa pun di sini seperti tujuan awal. Dia memang romantis, dan karena itu aku merasa sangat diberkati karena memilikinya untuk beberapa jam ini sebagai ‘pria’ku.     “Ya,” jawabku sambil tertawa kering, “Kau tahu, aku mungkin hanya sedikit dehidrasi.”     “Dehidrasi? Oh, kau benar. Apa yang ingin kau minum, Nona Cantik?” tanya Vincentio saat ia menyadari aku sedang melihat wine putih, terlihat seperti malvasia, dibawa seorang butler yang berjalan ke arah kami.     Aku menoleh padanya dan tersenyum.     “Kau tahu, aku akan minum sebanyak apa pun yang kuinginkan malam ini.”     “Dan kau tidak akan berpikir bahwa aku akan menyetujui ide itu begitu saja, bukan?”     “Oh, Vincentio! Kau tidak jauh-jauh datang ke sini untuk membuatkanku s**u hangat, Bu?”     Vincentio menyerah dengan menunjukkan kekehannya yang khas. Ia menggeleng kecil kemudian mengambil dua gelas wine yang terlihat luar biasa setelah sedikit berbincang dengan butler yang membawa minuman itu di atas nampan. Vincentio kembali ke arahku dan melemparkan senyum santai.     “Yang merah atau yang putih?” tawar Vincentio sembari menunjukkan kedua gelas yang dia bawa.     “Aku belum makan malam. Kurasa aku akan memilih yang putih.”     Vincentio manggut-manggut kecil sembari memberikan gelas berisi wine putih yang ia bawa di tangan kirinya. Dugaanku benar, aroma wangi malvasia langsung tercium saat aku mendekatkan gelas itu ke hidungku. Ini bukan wine murahan. Ayahku memiliki perkebunan wine di daerah Selatan dan aku sedikit banyak mengerti tentang minuman nikmat ini. Rasa lembut, manis dan harum dari cairan itu memanjakan mulutku, menghangatkan d**a. Berkat minuman ini, setidaknya ototku berhenti untuk terus tegang tanpa alasan yang jelas. Kurasa aku benar-benar tidak akan melewatkan kesempatan untuk mencicipi semua wine yang akan disajikan malam ini.     Aku mulai menikmati waktuku dengan wine-ku yang nikmat dan Vincentio-ku yang Agung, saat pengganggu kecil itu berjalan ke arah kami. Seorang gadis kecil, tidak terlalu kecil, seorang gadis remaja yang kira-kira baru memasuki awal dua puluhan. Seorang gadis belia yang … cukup cantik, bergaun indah dan berdandan manis. Sayangnya, kupikir ada baiknya jika seseorang mengajarkan sopan santun pada nona muda ini. Dia mengenakan topeng berwarna pink pucat dengan ornamen heboh dan sebelah sisi kanannya dihiasi bulu emas. Tubuh kecilnya dibalut gaun berwarna rose gold lembut yang berbelahan d**a sangat rendah dengan dandanan yang sangat elegan. Sama sekali tidak mencerminkan sikapnya yang tiba-tiba saja memeluk Vincent dan terus merangkul lengan pasangan pestaku begitu mereka bertemu.     Cukup beberapa detik saja waktu yang dibutuhkan untuk menilai gadis ini. Aku bertaruh, biaya dandanan rambut dan mekapnya bisa setara dengan biaya kuliahku perbulan, atau mungkin per-semester. Ia memakai gaun yang sepertinya buatan Valentino Garavini, dan sepatu ankle strap yang sepertinya Louis Vuitton atau entahlah, yang jelas, dia tidak memakai barang-barang  sembarangan. Anak orang konglomerat, tidak salah lagi.     “Vincentio! Terima kasih telah datang! Sudah lama sekali tidak bertemu!” ucap gadis itu dengan nada—yang secara mengejutkan—bersahabat.     Mengagumkan, Vincentio Blanc. Kau mengenal anak konglomerat, eh? Dan terlihat cukup akrab. Kurasa Vincentio benar-benar melupakan beberapa detail penting. Bagaimana dia bisa terlihat akrab dengan bocah ini?     “Oh, Miriam. Hai. Lihat siapa yang sudah tumbuh besar.” Vincentio dengan sangat natural meletakkan sebelah tangannya yang bebas ke atas kepala gadis itu dan menepuk-nepuknya pelan. “Sudah berapa tahun berlalu? Kau tumbuh menjadi wanita sangat cantik sekarang.”     “Terima kasih, Vincentio,” balas gadis itu dengan senyuman lebar seperti kucing Cashmere.     Hei, kedua sepatuku, apa kalian memikirkan apa yang sedang kupikirkan? Toh, tentu saja kalian juga memikirkannya. Jadi, kapan kita bisa menendang Tuan Putri Panna Cotta[1] ini keluar tempat ini?     “Hai,” sapa seseorang membawaku kembali ke dunia nyata.     “Ah? Halo!” jawabku terburu-buru.     Wajah Miriam sudah sangat dekat dengan wajahku sendiri. Gadis itu terlihat sedang menikmati dirinya sendiri saat mengamatiku sedekat itu. Aku bahkan mundur selangkah untuk tetap menjaga daerah suciku. Maksudku, privasi. Si Panna Cotta ini sama sekali tidak merasa ragu untuk mengamati wajahku dan tersenyum senang. Mungkin hal yang harus dia pelajari dalam hidupnya yang fana itu adalah sopan-santun. Apa dia tidak tahu, bulu di topengnya itu bisa menusuk mataku dan membuatku buta? Oke, itu berlebihan, aku tahu. Biar saja.     “Miriam, Perkenalkan. Wanita cantik ini adalah sahabatku, Simca,” ucap Vincentio memperkenalkan diriku dengan cara yang paling menyakitkan. “Simca, ini Miriam, satu-satunya adik perempuan Zeus, yang berulang tahun ke-30 hari ini, di sini,” lanjut Vincentio sambil kembali berdiri di sisiku.     Itu adalah kodenya. Aku sudah cukup lama bersama Vincentio untuk mengartikan kalimatnya itu sebagai peringatan bahwa aku tidak boleh menendang p****t gadis ini sembarangan karena ternyata, Tuan Putri Panna Cotta ini adalah adik perempuan dari om-om yang memiliki gedung, lapangan dan semua yang ada di tempat ini. Oh, Simca, kau tahu betapa seriusnya ini sekarang. Berhenti memanggilnya dengan sebutan lain karena kau akan berada dalam masalah besar jika sampai mulut sialanmu itu keceplosan memanggilnya Pannie Cottie.     Tunggu ... siapa tadi namanya, pria narsistik yang mengadakan pesta ulang tahun di umurnya yang ketiga puluh ini? Zeus? Dewa Yunani itu? Aku tidak percaya bahwa di luar sana, benar-benar ada orang tua yang menamai anaknya dengan nama dewa mata keranjang yang suka berganti wujud itu. Aku bisa membayangkan pria bernama Zeus itu adalah seorang perlente yang selalu dikelilingi wanita berpakaian mini dan membawa mobil-mobil mahal dan menebar senyum ke seluruh permukaan bumi dengan begitu percaya diri. Kurasa aku harus memiliki taktik untuk menjauhi pria narsistik bernama Zeus ini sesuai dengan kesepakatanku dan Vin. Baiklah, kenali musuhmu untuk mengalahkannya! Mari kita kumpulkan data si target.     Fakta pertama tentang si target; kaya raya dalam level tidak masuk akal. Fakta kedua; narsistik bernama Zeus. Fakta ketiga; memiliki panna cotta yang bisa hidup. Sial, siapa tadi, nama gadis ini?     “Hai, Simca! Salam kenal, namaku Miriam, kau bisa memanggilku Mimi. Aku sangat senang kau bersedia datang ke pesta kecil kami,” katanya dengan, sepertinya secara refleks, dia menelengkan kepalanya ke kanan dengan tingkah yang begitu manis. Aku tahu dia sengaja menyerangku dengan jurus ‘Cuteness Overload Attack’.     Aku merasa akan terkena diabetes jika harus berada di sekitar si Panna Cotta ini selama lebih dari sepuluh menit.     “Terima kasih, Miriam,” balasku sekuat tenaga tidak menambahkan kata-kata lain yang tidak diperlukan sehingga aku harus didepak dari sini.     “Omong-omong, Miriam. Di mana kakakmu? Aku mencarinya dari tadi dan tidak menemukannya di mana pun,” kata Vincent  sambil terus menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari-cari.     “Kau membuatku ingat, Vin. Aku memang sedang mencarinya tadi, dan beruntung aku bertemu kalian berdua. Padahal aku sudah memintanya untuk tidak pergi sebelum acara selesai.” Miriam terlihat kesal dan mata bulatnya berwarna hijau terang seperti mata seekor kucing itu ikut mencari-cari di kerumunan. “Aku akan mencarinya di lantai dansa. Aku akan memberitahu Zeus tentang kedatanganmu dan Simca, jadi serahkan saja masalah itu padaku dan kalian bisa menikmati pestanya.” Lagi-lagi tanpa lelah Miriam menyerang kami. Kali ini dengan jurus yang hampir sama dengan yang sebelumnya ‘Sweet Smile Overload Attack’.     Kumohon, otak. Berhenti menamai apa pun yang sedang dilakukan si Panna Cotta.     Setelah berterima kasih sekali lagi, akhirnya, Miriam pergi meninggalkan kami berdua.     “Teman lama, Vincentio?”     “Bisa dibilang begitu. Terakhir kami bertemu adalah sebelum aku pergi untuk kuliah di Australia. Sudah lama sekali rasanya. Sepertinya sekarang dia sudah kuliah,” jawab Vincentio seraya menoleh padaku setelah sebelumnya memandang punggung Miriam.     “Gadis yang manis, ya.”     Vincentio menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum curiga, “Apa yang sedang kaupikirkan, Nona?”     “Hentikan itu, Tuan. Kau tidak akan bisa menembus isi kepalaku.”     Sejenak terdiam, kemudian Vincentio menegak minumannya hingga tandas. Wajah pria itu berubah serius dalam sekejap.     “Zeus sama sekali jauh dari kata manis, Simca. Jadi, kuharap kau masih mengingat dengan jelas perjanjian kita. Apa aku sudah jelas?”     Ugh, dia menembusnya dengan mudah.     “Ya, Bos.  Kau tahu, kau terdengar sangat posesif dan bossy sekarang.” keluhku sambil memutar mata dan menegak habis minumanku.     “Kuharap kau memakluminya. Aku bertanggung jawab atas keselamatanmu. Aku sudah berjanji pada orang tuamu, Simca. Jadi, terserah kau mau mengataiku apa, yang jelas kau akan mendengarkanku dan menjadi gadis manis sampai aku mengantarkanmu pulang ke rumah nanti. Titik.”     “Itu sangat kuno, Vin. Lagi pula ini sama sekali tidak seperti aku akan berada di hutan liar sendirian dan bertemu serigala dan—“     “Vincentio! Sudah lama sekali, kawanku!”     Lagi-lagi percakapan santai kami diinterupsi oleh tukang ganggu. Kali ini sekumpulan pria yang lebih pendek timbang Vincent, beberapa ada yang agak gemuk dan mata mereka sipit. Dari bahasa Inggrisnya yang sulit dimengerti, aku tahu mereka adalah orang Jepang. Aku tidak ingin membayangkan mereka bicara dalam bahasa Italia. Belum lama mereka berbicara, datang dua pria yang tinggi gagah dengan wajah latin dan berbicara dengan bahasa Inggris lancar.     Ok, sepertinya ini akan memakan waktu. Lagi-lagi aku harus menunggu giliran untuk bicara dengan Tuan Terkenal ini. Aku memutuskan untuk berjalan sendiri ke arah tempat yang dari tadi ingin kudatangi. Sebuah area suci lain di pesta seperti ini; meja dessert yang berkilauan. Tempat paling indah di mana kau bisa melihat banyak kue dan makanan penutup lainnya yang terlihat sangat menggoda ditata dengan sempurna dan sedemikian rupa hingga membuat anganmu melayang. Bahkan lebih menggoda daripada yang dipajang di restoran kue favoritku.     Dan dimulailah ritual suci yang magis itu. Satu persatu kucicipi rasa manis yang lembut dan nikmat, memanjakan mulut cerewetku yang tidak pernah puas dengan satu makanan manis. Entah sudah berapa potong kulahap kue dan makanan kecil lainnya, dengan begitu bebas karena tidak ada yang tahu bahwa aku adalah seorang dokter di sini. Tidak bijak, memang, jika mengacuhkan kesehatan diri sendiri. Tapi itu bukan masalah. Tak apa, aku bisa olahraga nanti.     Aku hampir melayang ke surga saat aku merasa ada sesuatu yang menggelitik kakiku. Dengan ragu-ragu aku menoleh ke bawah. Lebih tepatnya ke sesuatu di bawah meja.     Demi sepatuku yang penuh sihir! Itu adalah seekor anjing yang sangat lucu. Pomeranian kecil, memandangiku dengan mata ‘Akan kugigit gaun pinjamanmu itu jika kau tidak mengajakku bermain’. Aku berjongkok dan mengelus kepalanya seakan dialah majikanku sekarang. Oh, tidak, Pome. Aku lebih suka kau menjadi peliharaanku, tapi sayangnya Ibu alergi bulu, dan aku tidak bisa menculikmu dari sini. Tapi sepertinya dia menyukaiku. Dia melihatku dengan penuh harap dan ekornya bergoyang-goyang dengan semangat. Sesekali dia meloncat-loncat saat aku berdiri untuk mulai menjauhinya. Namun seakan ingin mengajakku bermain, anjing itu menggigit ujung sepatuku. Menariknya kuat hingga salah satu dari senjata sihirku itu lepas dari tempatnya.     Oh, tidak! Sepatu kiriku yang berharga!     Tenang, Sobat! Aku akan datang untuk menyelamatkanmu!     “Hei, Pome! Berhenti di situ! Kembalikan sepatuku! Dia masih harus membawaku ke tempat penuh kenangan malam ini! Tolong jangan mengacaukannya!”     Tentu saja si anjing Pome itu terus berlari dan hanya diam sejenak untuk memastikan aku mengikutinya. Si anjing kecil pergi ke arah lobi di sisi kiri pojok hall yang sepi. Aku melepas satu sepatuku yang lain untuk mempermudahku berlari mengejarnya. Saat itu saja, si anjing mungkin berpikir aku menyerah untuk mengejarnya, dia mendatangiku lagi dan mulai menggonggong seakan memarahiku karena tidak ikut dengannya. Aku heran kenapa semuanya sangat bossy hari ini. Setelah memastikan bisa lari dengan kecepatan cahaya, aku kembali berlari mengejar si anjing lucu sialan itu yang ternyata bisa berlari lebih cepat dariku.     Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian gara-gara si pomeranian ini terus meneriakiku, jadi aku mengikutinya menuju pintu keluar hall. Aku tahu, Vin akan memarahiku habis-habisan karena aku pergi darinya, tapi mana mungkin aku kembali dengan sebelah sepatu saja?     “Sial, Pome!” Setengah berteriak, setengah berbisik, aku mengejar anjing yang terus berlarian itu.     Tanpa kusadari, aku sudah berada di sebuah taman, tepatnya seperti labirin kecil. Di sekitar kakiku merekah bunga evening primrose berwarna putih, layaknya lampu yang menerangi jalanku masuk lebih dalam menuju labirin itu. Keringat dingin mulai bercucuran di dahiku. Aku sadar, aku sudah tersesat di dalam sana. Menoleh di kanan kiri pun tidak ada bedanya. Jadi, aku memutuskan untuk terus berlari, mengikuti suara gonggongan si Pome.     “Oh! Akhirnya!”     Itu adalah ruang tengah kosong di inti labirin! Akhirnya aku menemukannya! Aku memang petualang yang hebat! Aku bahkan menemukan si Pome di sana. Oh, Pome tidak sendirian. Dia bersama … seorang pria?     Dor!     Oh! Astaga!!     Pria itu … memakai pakaian serba putih. Rambutnya juga berwarna terang, perak, sewarna bulan yang tengah menyinari sosoknya. Dia memegang pistol yang dipasangi peredam. Dan dia baru saja … membunuh seseorang. Seseorang yang tergeletak di tanah. d**a orang itu tidak naik-turun, darah membasahi kemejanya.     Tolong jangan katakan padaku bahwa cerita hidupku yang awalnya bergenre romansa, kini berubah menjadi  dalam semalam?![]   [1] dessert khas Italia yang terbuat dari krim kental yang dipadukan dengan putih telur dan madu.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN