“Ternyata beneran kamu, Rum.”
“Eeh... iya Fer, ternyata kamu juga,” jawab Maisha singkat dengan senyum tertahan, langsung membuka pintu belakang mobil dan menidurkan Khai yang sudah sangat mengantuk, dan benar saja, balita gemuk itu langsung meringkuk memejamkan mata mungilnya.
“Bunda duduk depan aja, Khai mau bobok, mau bobo sendirian,” rengek balita gemuk itu.
“Iya deh, nanti bunda bangunin kalo udah nyampe. Sini kakinya dilurusin biar gak pegel,” seru sang ibu sambil mengatur posisi tidur Khai.
“Rum, barangnya aku masukin bagasi ya? beberapa kamu bawa di depan, biar tidur si kecil leluasa,” ujar Ferdian dari arah belakang.
“Iya.. nggak apa-apa, Fer,” jawabnya Maisha gugup sambil menenteng tas belanjaan untuk ditaruh dikursi depan, di sebelah kakinya.
“Udah? sabuk pengamanya, Rum,” seru Ferdian yang sudah duduk di depan kemudi, perempuan di sebelahnya hanya mengangguk dan sedikit melirik teman masa remajanya itu, sebelum mereka berangkat. Hening beberapa saat sebelum Ferdian memulai percakapan.
“Kabar kamu gimana?”
“Alhamdulillah baik. Kamu sendiri? Keluarga sehat kan?”
“Sehat dong, kalo sakit gak mungkin lah nganterin kamu sekarang,” canda Ferdian membuat Maisha terkekeh kecil, ada sedikit semburat bahagia di matanya.
“Anak kamu lucu Rum, chubby, gemesin pipinya. Masih satu ini ya? umur berapa?” rentetnya lagi.
“Iya, satu ini. Pas empat tahun kemaren,” jawab Maisha singkat.
“Waah, abis ulang tahun dong, pantes belanjaanmu banyak,” lirik Ferdian singkat
“Hmm...” Maisha masih fokus menatap jalanan di depannya.
“Berdua aja mainnya? Ayahnya?” tanya Ferdian, mengingat ini weekend, apa iya suaminya sesibuk itu.
“Hmm....” Maisha hanya berdeham seraya menunduk sesaat.
“Suami kamu masih kerja di luar kota ya?” selidik Ferdian lagi.
Maisha menoleh dengan mulut setengah terbuka, ragu untuk menjawab. Namun tak lama kemudian akhirnya ia melontarkan jawabannya juga demi memutus pertanyaan lanjutan dari Ferdian.
“Hmmm ... aku single parent.” Maisha menunduk sambil meremas jemarinya.
Ferdian membelalakkan matanya hingga tanpa sadar kakinya menginjak rem dengan tiba-tiba karena terkejut. Ia menoleh seketika ke arah wanita mungil di sebelah kirinya.
“What?” matanya menatap tajam ke arah sepasang netra milik Maisha.
“Fer, hati-hati,” potong Maisha, mengedarkan pandangannya pada Khai di kursi belakang, memastikan posisinya aman tak terganggu.
“Sorry sorry, aku kaget aja. Memang ke- kenap- pa?” kalimat Ferdian terputus, ia menjalankan mobilnya lagi tanpa konsentrasi.
“Divorce,” singkat Maisha langsung memalingkan wajah keluar jendela.
“Udah biasa kan jaman sekarang, gak usah kaget,” lanjutnya dengan senyum getir yang dipaksakan.
“Ma- maaf Rum,” ujar Ferdian salah tingkah
“Gak usah minta maaf, emang kamu salah?” serunya mencairkan suasana. “Gak usah dibahas ya”
“Oke, iya... iya.” kali ini Ferdian yang gugup sambil melirik perempuan manis di sampingnya.
Ferdian sungguh tak bermaksud merusak suasana dengan menanyakan rumah tangga Maisha, karena pertanyaan itu ia pikir sangat lumrah untuk ditanyakan.
“Sekarang gantian kamu yang cerita, aku udah kan. Gimana keluarga kamu?” Maisha balik bertanya.
“Hmm.... yaa gitu deh, mereka baik.” Maisha hanya membalas dengan anggukan.
“Kamu bukannya kerja di Jakarta ya? terus ngapain di kota kecil ini sekarang?”
Ferdian menoleh sedikit terkejut. “Kok kamu tau kalo aku di Jakarta?”
“Gak sengaja,” singkat Maisha, memainkan jari-jarinya menutupi gugup.
“Gak sengaja? kamu stalking aku?” senyum Ferdian mengembang saat menatap intens Maisha.
“Nggak lah, gak sengaja kan aku bilang. Dulu pernah liat foto kamu di instagramnya Isna, kayak foto-foto kegiatan kantor gitu.”
“Ooh, kamu kenal Isna?”tanya Ferdian penasaran.
“Kenal, temen kampus, sejurusan juga. Meski gak deket-deket amat sih.”
“Iya, Isna temen kantor aku, satu divisi. Untung ya Isna hobby selfie dan main sosmed, kamu jadi tau sedikit tentang aku.” Ferdian terkekeh senang
“Iissh, kan aku bilang gak sengaja, kebetulan aja pas postingan Isna lewat di timeline aku.”
“Iya, percaya kok. Aku emang dulu di Jakarta, tapi beberapa bulan ini dipindah menetap di kantor Surabaya. Isna juga dipindah ke kantor Malang.”
“Oo..”
Hening lagi. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sudah tiga puluh menit mereka menikmati perjalanan. Sesekali Rumaisha menoleh ke belakang ke arah putranya, karena khawatir terjatuh, sesekali juga Ferdian mencuri pandang pada wanita di sebelahnya kini, manis.
“Rum, ini belok kanan?” tanya Ferdian sekedar memecah sunyi yang melingkupi mereka. Padahal ia sudah tau arah melihat dari Google maps di layar ponselnya.
“Iya, rumahku yang paling pojok kiri.”
“Jauh juga ya?” tanyanya lagi
“Sengaja. Aku kan suka ketenangan, di sini cocok,” jawab Maisha ringan. Jangan lupakan senyum tipis yang sukses membuat jantung Ferdian sedikit bergeser dari tempatnya.
“Bisa aja kamu. Oke, kita udah sampai nih nyonya,” ucap Ferdian sesampainya mereka di depan rumah minimalis dengan cat dominan abu-abu muda itu. Rumah mungil tapi tampak sangat asri dengan beberapa tanaman hias menggantung di terasnya.
Tak berapa lama, Maisha membangunkan putranya.
”Sayang, bangun, udah nyampe, ayok gendong bunda,” panggilnya
“Ngantuk bun, ngantuk ngantuk, pokoknya Khai ngantuk.” bocah itu hanya menggeliat mengubah posisi tidurnya.
“Biar aku gendong aja, kamu bukain pintu.” potong Ferdian yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya.
“Gak usah Fer, biar aku aja yang gendong.”
“Udah sana sana bukain pintu, ntar kamu makin mimpes (*mengecil) kalo gendong-gendong terus.”
Ferdian mengibaskan tangannya memberi isyarat Maisha untuk mundur, dan sejurus kemudian Ferdian langsung membawa Khai yang pulas dalam gendongannya.
“O.. o.. oke.” Maisha tergagap lagi menatap lelaki jangkung dihadapannya, namun bergegas membuka pintu rumahnya, dan membukakan pintu kamar Khai yang berada di sebelah ruang tamu.
“Ya sudah sekalian minta tolong anter sampe kamarnya,” pinta Maisha, sambil menyiapkan bantal untuk Khai
“Siap bunda”
DEG..!!
Tanpa disuruh Ferdian langsung nyelonong ke kamar mungil milik Khai, menidurkannya perlahan dan menarik selimut bergambar tokoh kartun Baymax hingga batas d**a bocah kecil itu.
Sementara Maisha mematung ditempatnya setelah mendengar Ferdian memanggilnya 'bunda', meskipun ia tau itu hanya candaan receh, tetap saja mampu membekukan jantungnya sesaat, karna beberapa tahun kebelakang tidak ada lelaki yang memanggilnya bunda kecuali Khaivaro atau mantan suaminya, dan sekarang Ferdian, lelaki yang... ahh... sudahlah. Maisha tak bisa berpikir jernih.
“Makasih.” Ferdian hanya mengangguk dengan senyum khasnya
“Aku masukin barang kamu dulu ya.”
“Eh... iya aku bantuin,” jawab Maisha segera menuju mobil Ferdian, mengeluarkan satu persatu belanjaan yang sebagian besar diisi kue-kue lucu khas anak kecil dan mainan.
“Done!” seru Ferdian sambil memperhatikan barang-barang yang tadi memenuhi bagasinya.
“Iya, udah semua. Makasih Fer.”
“Belanja banyak banget, mau ada acara ya?” sambung Ferdian
“Acara kecil, cuma buat temen-temennya Khai sekompleks sini.” senyum Maisha.
TIIIN.....
TIIIN....
Klakson dari mobil tetangga Rumaisha memecah percakapan mereka, rumah sederhana itu memang berada di komplek perumahan yang tidak begitu besar, jalan utamapun hanya muat untuk dua mobil. Jadi begitu membawa mobil harus segera diparkir di garasi agar mobil dari penghuni yang lain bisa lewat dengan leluasa.
“Fer, mobilmu.”
“Ah, oke ngerti. Aku keluar dulu.”
Maisha mengambil nafas panjang, melihat punggung Ferdian yang kian menjauh, mengira pria itu langsung pulang, ia menutup pintu sedikit dan langsung menuju kamar mandi, hendak mandi dan wudhu, mengingat sudah masuk waktu maghrib.
Selesai mandi dan wudhu, Maisha terhenyak hingga melebarkan matanya melihat Ferdian yang sudah duduk manis di sofa ruang tamu. Ferdian pun sigap mengalihkan pandangannya, meski sempat melihat wajah merona milik Maisha. Perempuan itu tampak panik karena tak memakai kerudungnya, hanya gamis rumahan yang ia kenakan kini.
Yaiya laaah mana ada orang mandi lengkap pake kerudung.
Lekas ia mengambil asal handuk lebar dan menutupi rambut panjangnya yang setengah basah.
“Fer, aku kira tadi langsung balik.” ujarnya sambil memegang erat handuk yang menutupi rambut panjangnya.
“Belum. Tadi cuma mundurin mobil ke carport kamu, ga enak kalo langsung balik tanpa pamit.” Ferdian mengusap tengkuknya salah tingkah.
“Hmm, aku tinggal sholat bentar. Ini silahkan diminum dulu,” balas Maisha setelah mengambil teh kemasan dari kulkasnya dan meletakkannya didepan Ferdian, yang langsung diminumnya.
“Rum,” panggil Ferdian menggantung.
“Aku juga belum sholat maghrib, sekalian numpang sholat, boleh?” tanya pria itu dengan melengkungkan senyum lebar.
***