13. BANTUAN ELGO

2174 Kata
"Pian, lo lihat Elgo nggak sih?" Vivian yang sedari tadi asik membaca n****+ di bangkunya, lantas mendongakkan kepalanya saat suara dari seseorang masuk ke gendang telinganya. Vivian menatap Raja dengan raut muka yang kebingungan. Merasa tidak tahu menahu soal pertanyaan itu, Vivian kemudian menggeleng dengan cepat. Tak lama setelah itu ia kembali bergelut ke aktivitas semula. Raja berdecak sebal, sudah puluhan kali ia menanyakan satu persatu teman kelasnya soal keberadaan Elgo, dan jawaban dari mereka membuat d**a Raja terasa memanas. Bagaimana bisa mereka tidak ada yang tahu soal keberadaan cowok itu? Raja mendengus kesal, Elgo selalu menghilang tanpa jejak. Tidak mau menyerah sampai sini, Raja lantas keluar dari dalam kelas, berusaha mencari sahabat tengilnya itu. Sementara itu, di tempat lain, dibelakang sekolah lebih tepatnya, Elgo masih saja berdebat dengan Sia. Elgo yang terus memaksa Sia untuk naik, dan Sia yang selalu menolak dan memberontak atas bujukan dari cowok itu. "Elo buruan naik, nggak ada waktu lagi. Katanya buru-buru, gimana sih?" Elgo sudah tak sabar, ia berdecak sebal, lalu melipat tangannya di atas d**a. "Nggak bisa, aku takut jatoh, lagian kita, kan, dilarang masuk ke kawasan ini, kakak nggak baca tulisan itu?" Beberapa menit yang lalu, Sia memang sudah memantapkan diri untuk segera naik, tapi sekarang nyalinya justru malah menciut. Benar-benar gadis yang labil. Elgo menolehkan wajahnya saat Sia mengacungkan jarinya pada sebuah tulisan yang terletak tak jauh dari sana. Elgo mendengkus sebal, dmia baru menyadari ada larangan seperti itu. "Nggak penting itu, lagian nggak ada yang lihat juga. Buruan naik, gue janji nggak ngintip elo kok," bujuk Elgo lagi. Entah ini sudah kali ke berapa, yang pasti mulut Elgo sudah terasa lelah mengucapkan kata itu. "Nggak mau, aku coba ijin ke pak satpam aja. Aku kan belum coba ijin. Siapa tau Pak Tegar ngijinin aku," alibi Sia akhirnya, ia memang takut naik ke atas sana, lagipula ia juga takut jika Elgo mengintip roknya. "Nggak bakal bisa, satpam cungkring itu nggak bisa dikalahkan, kalo lo nyogok dia, mungkin bisa aja sih." "Tapi aku takut naik ke situ, kakak kok maksa ih," balas Sia dengan sebal. Ia kemudian mengerucutkan bibirnya sampai maju beberapa senti. Elgo sudah menilai, cewek dihadapannya ini sungguh keras kepala, padahal di sini niat Elgo hanya membantu cewek itu saja, kenapa susah sekali? Ingin rasanya ia menceburkan diri ke kolam renang. "Lo masih hutang minta maaf sama gue kalo lupa, dan gue belum tuh maafin elo." Elgo berpura-pura, ia memutar kepalanya, melempar tatapan ke tempat lain. Dan ia rasa, ini adalah ide yang sangat menarik. Gigi Sia langsung bergemelutuk, telinganya tidak salah dengar, kan? Plin plan sekali cowok itu, padahal sebelumnya dia sendiri yang berkata kalau kejadian tadi bukan salah Sia. Menyebalkan sekali, Sia sudah tahu kalau Elgo sedang menjebaknya. "Aku kan, udah minta maaf." "Gue belum maafin. Dan kalo lo mau dimaafin sama gue, lo harus nurut apa kata gue. Ini semua demi kebaikan elo juga tuh. Lo panjat gerbang ini, dan elo sendiri yang untung. Coba sekarang lo mikir, di sini gue dapat apa? Nggak ada untungnya sama sekali, kan?" Sia menghela napas berat, bahunya merosot ke bawah, ia sudah menyerah. Cowok itu sungguh membuat d**a Sia bergemuruh panas, sedari tadi Elgo berbicara tidak ada habisnya. Sia akhirnya mengangguk, menurut permintaan Elgo, lagipula apa yang Elgo katakan memang tidak ada yang salah. Ini semua demi kebaikan Sia sendiri, dan Elgo tidak diuntungkan sama sekali. "Ya udah sini buruan naik ke pundak gue." Elgo menunjuk pundaknya, ia sudah berjongkok, bersiap-siap untuk menopang tubuh Sia. Punggungnya yang tegap dan kuat mampu menahan bobot berat badan Sia. Walaupun agak ragu, Sia mau mencobanya. Ia pun akhirnya menahan napasnya sejenak saat badannya bertumpu pada Elgo. Setelah itu, Elgo mulai berdiri secara perlahan. Suara Sia yang sudah menjerit menahan takut membuat telinga Elgo hampir saja jebol. Tentu saja Elgo tidak keberatan, baginya berat badan Sia tidak terlalu berat, tak butuh waktu lama ia memposisikan dirinya mendekat ke arah pagar agar Sia bisa memegang pagar itu dan mulai naik ke atas sana. "Kak, aku takut, turunin aja deh." Sia merengek, ia menatap ke arah bawah. Napasnya sudah memburu. Sia tidak berbohong, ia memang takut berada di atas pundak Elgo. Tubuhnya sudah bergetar. "Nggak usah takut, gue pegangin. Gue kuat kok, gue kan cowok. Buruan naik," ucap Elgo lagi, dan disambut dengusan pelan dari Sia. Mau tak mau karena sudah telanjur naik, Sia pun menurut. Setelah itu, embusan udara hangat baru saja Sia keluar dari hidungnya, ia bernapas lega karena sudah melewati pagar pembatas itu. Walaupun agak susah dan membutuhkan tenaga yang lebih, tetapi Sia bersyukur karena tubuhnya tidak lecet sedikitpun. Dan langkah selanjutnya, ia harus bergegas pulang. Mengingat waktu yang ia butuhkan tidak lama, Sia memilih mempercepat langkahnya. "Woy, jangan cepet-cepet dong, punggung gue pegel nih," raung Elgo sembari memegangi punggungnya yang sedikit remuk. Sia berbalik badan, menatap Elgo dengan dahi berkerut, "nah, katanya tadi kuat, gimana sih? Kalo kayak gitu, berarti kak Elgo lemah. Cowok kok lemah begitu." Ucapan itu secara refleks meluncur begitu saja dari bibir Sia. Sia sendiri juga tak menyangka mengatakan hal macam itu, dengan segera ia mengatupkan mulutnya dengan rapat. Elgo nampak tak peduli dengan perkataan Sia yang melayang beberapa detik yang lalu, ia sungguh tak peduli walaupun ia sendiri mendengar dengan sangat jelas. Yang terpenting, punggungnya benar-benar terasa sangat nyeri, Elgo tidak berbohong. Entah kenapa, Elgo justru malah mengikuti Sia melompati pagar, alih-alih kembali ke dalam kelasnya. "Tubuh lo berat, nggak kayak cewek pada umumnya," celetuk Elgo, ia berjalan, berusaha memosisikannya dirinya di samping Sia. Entah itu ledekan atau memang kenyataan, hanya saja Sia merasa tertohok akan perkataan Elgo, ia tidak mau diejek seperti itu. Jika benar tubuhnya jelek, Elgo seharusnya tidak usah berkata secara terang-terangan seperti itu, menyebalkan sekali. "Iya iya, terserah kakak lah. Kalo capek balik ke sekolah aja sana, aku bisa balik ke rumah sendiri. Ngomong-ngomong, makasih bantuannya tadi," ucap Sia, lalu sedetik kemudian mulai melangkah menjauh. Dan baru saja ia menjejalkan langkahnya maju sebanyak dua kali, tangan kekar Elgo berhasil memegang lengannya, Sia mendadak terhenti, lalu tak lama setelah itu wajah cantiknya menoleh ke belakang, menatap orang yang mencegahnya itu dengan tatapan penuh tanda tanya besar yang terpampang didahinya. "Gue ikut, cuma mau bantu lo doang. Lagian gue udah terlanjur keluar nih." "Ya udah ayo," balas Sia singkat, ia melambaikan tangannya, berusaha mengomando Elgo untuk ikut melangkah maju. Sia benar-benar ditarget oleh waktu, tugas sejarah Indonesia tidak boleh pupus begitu saja, Sia tidak mau hal macam itu terjadi. Kalau nilainya kosong, Sia mungin akan nangis tujuh hari tujuh malam. "Gue tapi capek, kaki gue lemes, nggak ada yang mau mijitin, otot-otot bahu gue juga pada kenceng, apalagi punggung gue terasa remuk kayak remahan kerupuk. Pokoknya sakit semua nih badan gue," adu Elgo dengan tampang memelas, ia meringis menahan sakit. Dan sialnya lagi, Sia tidak bisa membaca ekspresi dari Elgo, cowok itu benar-benar menahan sakit atau hanya untuk mencari sensasi saja. Entah, sia tidak tahu. "Terus, aku harus gimana kak?" "Gendong gue, mau ya?" Sia menahan napas dengan mata yang melotot lebar. Yang benar saja! Sia membuka mulutnya, kalimat macam apa itu yang diucapkan oleh Elgo? Terdengar menggelikan ketika masuk ke telinga Sia. Tidak mungkin, kan, bahwa Sia menuruti kemauannya itu? Mimik wajah yang Elgo tampilkan membuat Sia membentuk garis-garis lurus vertika di keningnya. Bagaimana tidak? Cowok itu menunjukkan ekspresi memelas dengan bibir yang dimonyongkan ke depan, menyebalkan sekali. Dan satu lagi, seharusnya bukannya Sia yang melempar perkataan itu, kan? "Nggak mau ah, kak Elgo kan berat. Ya kali aku mau gendong cowok?" tolak Sia mentah-mentah, ini bukan salah dirinya, melainkan Elgo sendiri yang berkata ngawur seperti itu. Jika Sia menurut untuk menggendong cowok itu sekalipun, mereka berdua akan menjadi bahan sorotan orang-orang yang berlalu lalang. Dan Sia tidak suka akan hal itu, menjadi bahan objek pandangan adalah hal terbesar yang patut ia hindari. Sia merasa malu jika kejadian seperti itu terjadi. "Kok nolak sih? Gue kan belum maafin elo." Apa-apaan itu? Elgo setiap saat melempar kata-kata andalannya jika Sia tidak menuruti kemauannya. Menyebalkan sekali, bukannya ia sudah meminta maaf? Kenapa jadi repot begini? "Nggak mau, aku mau cepat-cepat ambil buku, jangan ngajak ngobrol terus kenapa sih kak?" Sia mendengkus pelan, malas sekali berada didekat Elgo. "Gendong gue dulu kalo gitu, lima langkah juga nggak pa-pa kok," balas Elgo dengan cepat. Kenapa Elgo begitu semangat menyuruh Sia melakukan itu? Aneh sekali. Bukannya dia sendiri juga yang akan menahan malu. Eh ralat, kayaknya Elgo memang tidak punya urat malu, yah tidak salah lagi. Cowok itu sudah stres. Keputusan Sia sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Hei, hanya gadis bodoh yang mau menurut sama permintaan nyeleneh itu. Merasa kesal dan tidak mau memperpanjang urusan dan masalah ini lagi, Sia beringsut melangkah maju. Ia hendak melanjutkan jalan kakinya, tak peduli dengan Elgo lagi. Entah cowok itu mau ke mana, Sia tidak mau peduli. "Gue ikut lo," ucap Elgo keras. Alih alih berbalik badan dan mengangguk setuju, Sia malah berpura-pura tak mendengar suara itu, ia masih terus melangkah ke depan. Sia yakin, tak lama setelahnya Elgo pasti akan mengejarnya. Dan betul saja, firasat Sia sama sekali tidak meleset, Elgo mengikutinya dari belakang. "Ya elah, cepet banget jalan lo, itu kaki atau batangan besi, kuat bener," celetuk Elgo asal. Sia masih tidak peduli, ia terus melangkah, ia juga tak tahu bahwa sejak tadi, sejak dia mendiami Elgo seperti itu, Elgo sudah merajuk, bibirnya ditekuk. Benar-benar seperti anak kecil. Singkat waktu, akhirnya Sia sudah mengambil buku tugasnya, kini ia dan Elgo sedang dalam perjalanan pulang menuju sekolah. "Buku lo udah ada di tangan, kenapa jalannya masih cepet?" Elgo tak habis habisnya menggerutu pada Sia, selepas pulang mengambil buku tugas, cowok itu masih saja merajuk seperti anak kecil. Rasanya Sia ingin menyumpal mulutnya dengan kaus kaki miliknya yang belum dicuci, biar tahu rasa tuh mulut. Tak tahan, Sia mendengkus, memutar kepalanya hingga menghadap ke arah Elgo, matanya begitu merah, menyorot begitu tajam dan menghunus ke manik maya Elgo. Seketika cowok tampan itu menenggak ludahnya dengan ganas. "Terus mau apa? Aku lagi cepet-cepet mau ngumpulin tugas keburu Bu Hilda berubah pikiran," ketus Sia sebal. Sialnya lagi, sejak Sia dan Elgo berjalan menuju rumah Sia untuk mengambil buku tugas itu, angkutan umum sama sekali tidak ada yang lewat. s**l sekali, padahal biasanya banyak yang melaju pada jam segini. "Urusan Bu Hilda gampang, nanti gue sugesti dia biar nerima tugas lo itu," balas Elgo lebih ngawur dan Sia sudah berdecak sebal meladeninya. Ada jeda diantara mereka, Elgo maupun Sia sama-sama mendiami, terlalu larut dalam pikirannya sendiri. Elgo yang sama sekali tidak nyaman dengan situasi yang sedang merayap ini, memilih untuk mengeluarkan suara. "Hei!" Elgo berteriak, menarik-narik seragam yang masih melekat di tubuh gadis itu. Astaga, Elgo lupa nama gadis di hadapannya ini, bersikeras dia mengingat sampai menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tetapi masih saja sama, ia tidak mengingat namanya. Sia menatap Elgo dengan kening bergelombang, menunggu cowok itu berkata, dari gelagatnya ia sudah menyimpulkan bahwa Elgo tengah gugup, entah apa yang akan ia katakan sampai berperilaku aneh macam itu. "Iya, ada apa kak?" "Nama lo siapa? Gue lupa," ucap Elgo sembari nyengir kuda. Giginya yang tersusun dengan rapi turut ia perlihatkan secara terang-terangan. Sia memaksa untuk tersenyum, lalu berkata," Jessia, kakak boleh manggil aku Sia." Selepas berkata seperti itu, Sia membalikkan badan, lalu melanjutkan jalan kakinya. Sedari tadi ia sudah sangat risi berdekatan dengan cowok aneh seperti Elgo. Bukan tanpa sebab Sia menyimpulkan seperti itu, memang nyatanya Elgo spesies manusia aneh. Tingkahnya yang kadang konyol dan jail membuat Sia tidak suka. Kadang cowok itu juga bersifat datar dan biasa saja. "Eh Jes, beliin gue es krim dong," rengek Elgo masih membuntuti sia. Lihat saja, tingkahnya seperti anak kecil. Kenapa harus meminta kepada Sia? Emang Sia orang tuanya? Sia berdecak sebal, lalu ia kembali memutar tubuhnya, kali ini Sia melipat kedua tangannya di depan dadanya. Matanya yang menyala berkobar menatap penuh sinis kepada Elgo. "Kenapa minta ke aku? Beli sendiri lah sana, emang aku babu kakak?" ucap Sia bernada sinis. "Ya udah temenin ayo, gue traktir elo kalo gitu." Sia langsung gelagapan, ia sebenarnya hendak menolak, namun pegerakan Elgo yang tiba-tiba menarik tangannya membuat Sia terseret begitu saja. Sia mengikuti Elgo yang tampak antusias untuk membeli es krim, ia terlalu terburu-buru hingga Sia sulit sekali mengimbangi langkah kakinya. Kalau sudah begini caranya, Sia tidak bisa menolaknya. Lagian Elgo barusan ngomong apa? Dia mau membelikan Sia es krim, bukan? Di dunia ini siapa yang mau menolak pemberian secara cuma-cuma? Setelah sampai didepan gerobak penjual es krim, Elgo langsung tersenyum dengan cerah, wajah tampannya sudah terlihat lebih jelas, tangan kanannya masih saja menggenggam lengan sia dengan erat. "Pak, es krimnya dua. Satu rasa ubi, satunya lagi rasa keju." Elgo tersenyum semangat, dilihatnya penjual es krim yang masih diam di tempat. Tidak hanya orang tua itu saja, nyatanya Sia sendiri juga nampak kebingungan. "Kak, kita harus ngantri. Di sini bukan cuma kita yang beli. Kakak nggak tau kalo kita sudah menyela antrian?" Sia yang nampak tak enak hati langsung angkat bicara, Elgo menoleh ke sekeliling. Benar saja, ada lima pembeli lain selain dirinya. Dan mereka semua sudah lebih dahulu datang ke sini. Elgo tersenyum sinis, lalu mengangkat bahunya tak acuh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN