23. BARU SEHARI

2110 Kata
"Sia, lo udah ditunggu tuh di depan kelas, katanya kalo lo nggak keluar dia bakal nangis," ujar Amel, salah satu teman kelas Sia. Spontan gadis yang masih sibuk menyalin cacatan segera mendongakkan wajahnya, keningnya terlihat menunjukkan sebuah beberapa kerutan. Sia sudah memberhentikan aktivitas menulis dibuku catatan miliknya. "Emang di sana siapa?" tanya Sia, tangannya masih sibuk merapikan mejanya, buku yang tadi berserakan di mejanya kini sudah beralih di laci. "Kak Elgo, buruan lo ke sana, nanti dia nangis loh," ucap Amel lagi, cengiran jailnya masih dia tunjukkan. Selepas itu Sia mengangguk sekali dengan cepat dan mulai berjalan keluar. Sia bosan mendengar alasan klasik Elgo seperti itu, jika dirinya tidak menuruti kemauannya, pasti cowok itu akan mengeluarkan jurus andalannya. Memangnya kalau dia bakal menangis, Sia hsrus ngapain? Elgo tersenyum lebar saat mendapati Sia sudah berdiri disampingnya, seolah dengan tatapan mata itu, Sia memerlukan jawaban segera. "Eh lo udah dateng, nggak jadi nangis deh." "Nangis juga nggak pa-pa, yang malu sendiri kan kak Elgo, bukan aku." Sia membalasnya dengan jutek. "Ke kantin yuk, gue yang bakal bayarin. Lo tenang aja, lo mau pesen apa aja terserah, gue masih sanggup kok bayarin lo makan," kata Elgo sembari melangkah maju, Sia terpaksa ikut berjalan. "Gimana? Udah nemu jawab yang pas? Kalo lo nerima gue, seluruh siswa di sini bakal gue bayarin uang bulanan sekolah deh," celetuk Elgo setelah mendudukkan bokongnya di kursi kantin. Diikuti oleh Sia setelahnya. Sia membalasnya dengan dengkusan kasar, bola matanya berputar cepat, kali ini ia sangat malas. "Dih, sombong amat," cibir Sia. Sebelum kembali menyahut, Elgo menghela napasnya. "Gue masih nunggu, waktu terus berjalan dan gue nggak mau lo gantungin gue terus, bisa mati gue," ujar Elgo bertopang dagu, tangan yang lainnya sibuk mengaduk jus mangga. Seketika wajah Sia menoleh ke sembarang arah, detik ini juga ia belum menemukan jawaban yang tepat. Sia harus mengikuti hati atau pikirannya? Kalau dirinya menerima Elgo, tentu saja banyak orang yang tersakiti dibelakangnya. Namun, tak mungkiri, jika perasaan Sia sudah terikat dengan Elgo. "Iya kak, aku mau." Akhirnya Sia berkata, ia tahu ini sangat sulit. Dan, ia harap lewat cara inilah sedikit demi sedikit ia dapat mengubur masa lalunya, Sia sudah tidak terlalu berharap Elgi-nya akan datang. Sudah cukup sampai sini dirinya terjebak di masa lalu, ia tidak ingin melakukannya, terlalu sakit jika harapan itu tidak terwujud. "Mau apa sih emangnya? Mau dibelikan es cinta? Atau martabak taburan parutan hati?" Elgo terkikik geli, cengiran khasnya sudah keluar. "Ih kak, aku serius," ujar Sia berdecak kesal, kakinya mengentak-entakan di lantai. "Aku juga serius sayang." Bibir Sia seketika terkatup rapat, ekor matanya ia alihkan dari Elgo, dan kini sepenuhnya terarah ke samping, lalu terpejam. Sia tidak tahu perasaan apa yang kini menggelitik perutnya, Elgo sudah membuat dirinya merasa malu. Tetapi Sia juga tidak bisa menolak kalau dirinya senang Elgo berkata seperti itu. "Eh udah bel kak, aku mau ke kelas dulu. Sampai ketemu nanti," ujar Sia begitu cepat. Tak menunggu balasan dari Elgo, gadis itu sudah berlari meninggalkan cowok itu dengan pipi yang masih semerah tomat. Elgo hanya menunjukkan senyuman tipis, ia juga tidak sadar kalau perasaannya kepada gadis itu sudah besar, seperkian detik berikutnya Elgo sudah memilih meninggalkan kantin dan menuju kelasnya. Selama perjalanan, Elgo tak henti-hentinya bernyanyi dengan suara yang menggelegar, untung saja suaranya lumayan. Tingkah konyolnya itu tentu saja mendapat perhatian khusus dari siswa lain, sebuah lagu terus saja beralun dari bibir Elgo, tak lupa, cowok itu mengikat dasinya didahi. Benar-benar cowok paling absurd di sekolah ini. "Gue tebak, lo sekarang jadi gila ya Go?" Pertanyaan itu melayang dari Raja setelah Elgo sudah duduk di bangkunya, tepat di samping Raja. Spontan Elgo langsung menoleh ke samping, tangannya terlipat di depan d**a. "Iya, gue sekarang gila, kenapa?" Elgo berkata sinis, seperkian detik berikutnya ia kembali ke ekspresi sebelumnya, senyum-senyum tidak jelas. "Dasar sinting, lo beneran gila tuh, perasaan nggak ada yang lucu di sini," kata Raja, ia mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas dan ia tidak menemukan sesuatu berbau humor. Kemudian kepalanya ia tolehkan lagi ke arah Elgo. "Iya, hati gue udah gila." "Kenapa sih lo? Jangan bikin gue mati penasaran deh, cepetan kasih tahu gue, kalo nggak gue bakal buka celana di sini biar cewek-cewek pada jerit-jerit histeris." Elgo terkekeh ringan. "Ya udah sana lepas aja sekarang, coba gue mau lihat, yang ada elo malu sendiri, eh tapi gue lupa sesuatu. Lo kan, emang nggak punya malu, rasa malu lo udah mati semenjak umur lo sepuluh tahun." Raja mencibir kesal, sekarang bibirnya manyun ke depan, benar-benar seperti seorang cewek yang lagi ngambek. Elgo yang melihat ekspresi Raja yang sungguh menggelikan itu hanya menggeleng pelan. "Lo kapan punya pacar Ja? Jangan kalah sama gue lah, sono buruan cari pacar, nanti kita double date," ucap Elgo memosisikan tubuhnya agar lebih nyaman. "Hah?! Lo udah punya pacar? Gebetan aja kali!" Raja tidak percaya begitu saja akan ucapan Elgo. Tentu saja Raja shock bukan main, bagaimana bisa seorang Elgo yang otaknya setengah matang itu bisa mendapatkan seorang cewek? Raja masih belum mempercayainya, ia memang tahu kalau Elgo banyak fans di sini, tetapi Elgo tidak pernah menggubris mereka. "Udah jadi pacar kali, gue udah jadian sama dia," sanggah Elgo cepat. Raja merespons ucapan Elgo dengan mata menyipit, masih berusaha menemukan celah kebohongan lewat manik mata Elgo, tetapi ia tidak bisa menemukannya. Apa berarti Elgo memang sudah punya pacar? Tapi siapa cewek itu? "Emang siapa cewek lo? Palingan otaknya juga sama greseknya kayak lo, pasti nggak jauh beda lah," ujar Raja dengan remeh. "Terserah lo aja lah, yang penting gue nggak jomlo kayak lo, dasar jomlo karatan, jomlo kutilan, jomlo kere, jomlo aja lo sampe tua." "Buset, lo kok nyolot gini sih mentang-mentang udah punya pacar, lihat aja gue juga nggak mau kalah sama lo," sangkal Raja sembari memijit pangkal hidungnya sebentar. "Ya udah sana cari, emang ada yang mau sama lo?" Elgo berdecih kecil, senyuman remeh langsung tercetak, selepasnya ia memainkan kuku jarinya. "Cih, dasar! Emang pacar lo siapa sih? Gue bakal cari setelah lo kasih tahu pacar lo itu siapa." Raja sudah tak sabar lagi, ia terlalu ingin tahu siapa cewek yang sudah mengisi hati seorang Elgo. "Lo juga pernah lihat, dia lumayan kok." "Emang siapa sih? Atau jangan-jangan Bu gendut lagi yang elo pacarin? Omegat! bener Go? Lo pacaran sama Bu gendut? Wah wah wah, harus traktir gue makan di kantin sepuasnya nih," ujar Raja terus menggebu, matanya berbinar senang. "Jangan alay dan jangan ngaco deh lo, Bu gendut tuh cocoknya sama satpam cungkring pak Tegar itu." Elgo menyangkal perkataan Raja lagi, ia sudah berdecak kesal untuk kali ke sekian. *** "Lin, jangan ngambek gitu lah," ujar Sia masih berusaha mengalihkan wajah Elin agar menatap wajahnya, entah sebab apa tiba-tiba sahabatnya itu bertingkah aneh. "Gue nggak ngambek, tapi lagi marah sama lo," sanggah Elin, sekilas ia melirik Sia, lalu seperkian detik berikutnya ia sudah kembali merotasikan kedua bola matanya, tangannya bersedakep di atas d**a. Sia mendesah, lalu berkata karena dia butuh kejelasan. "Gue ada salah sama lo Lin? Ayolah lo ngomong sama gue, gue janji bakal lakuin apapun permintaan lo asalkan lo maafin dan nggak marah sama gue lagi." Sia menarik-narik seragam Elin, tetapi usahanya gagal, Elin malah menepis tangan Sia dengan kasar. "Gue marah sama lo karena lo nggak traktir gue, lo kan udah pacaran sama kak Elgo," sinis Elin masih dengan wajah juteknya. Seketika alis Sia hampir tertaut, Elin marah hanya karena masalah itu? Sia mendesah lagi, kemudian ia tersenyum kecil sambil menggeleng pelan. "Ya ampun Elin, kirain apaan. Lo udah bikin gue takut aja tau nggak?!" Bibir Sia nampak mengerucut ke depan, perasaan sebal masih menyerangnya. "Pokoknya lo harus traktir gue di kantin titik, nggak ada tapi-tapian lagi, ayo sekarang!" Elin menggandeng tangan Sia, berusaha menariknya untuk keluar dari dalam kelas dan menuju kantin untuk mencari santapan makanan yang sekedarnya sukses untuk mengganjal perut yang sudah keroncongan. Sebelum sampai di ambang pintu, Sia segera menepis tangan Elin. Gadis itu mundur satu langkah, sementara Elin membalikkan badan sembari menatap Sia dengan sepasang alis yang hampir bersentuhan. "Kenapa? Lo nggak mau traktir gue makan?" Elin langsung menebak, bersamaan dengan itulah ia sudah merubah mimik wajahnya, ekspresi memelas sudah Elin tunjukkan agar Sia luluh dan langsung menuruti permintaannya. "Bukan gitu. Ini kan belum waktunya istirahat. Lagian gue sama kak Elgo kan belum ada satu hari jadian. Kok lo udah nagih traktiran aja sih? Siapa tau nanti atau besok gue bakal putus." "Jangan ngomong gitu, gue yakin kak Elgo setia sama lo. Yuk ah buruan, gue udah kelaparan nih, udah satu minggu nggak makan," cerocos Elin, perutnya ia usap berulang kali. "Tapi lo kok di sini? Harusnya kalo orang nggak makan selama satu minggu udah ada di kuburan, atau jangan-jangan lo arwahnya Elin, ya?" Sia sudah mendelikan matanya tajam, dan setelah itu ia mendapatkan satu jitakan keras tepat di puncak kepalanya. "Buruan ah, nggak usah banyak ngeles lagi, lagian ini juga jam kosong." "Tapi kita kan diberi tugas." Sia selalu bisa membalas perkataan Elin, hal itu pula yang membuat Elin berdecak sebal. Poni yang menutupi dahinya ia tiup lewat mulutnya. "Ih Sia, lo kok berubah jadi nyebelin gini sih? Lo udah ketularan kak Elgo tau." Elin berdesis, tak mau ucapannya disanggah Sia lagi, Elin langsung mengambil tangan Sia, menggenggamnya sangat erat, dan detik berikutnya Elin menyeretnya membawa ke arah kantin. Setelah sampai di kantin dan makanan sudah terhidang, Sia memandangi Elin dengan mata memicing. "Itu perut karet atau apa sih? Lo makannya banyak amat, nggak nyangka lo serakus itu Lin." Sis takjub dengan tingkah Elin, ia sudah menggelengkan kepalanya beberapa kali, bagaimana mungkin Sia tidak merasa heran kalau Elin sangat rakus bak orang tidak makan selama satu bulan penuh? "Udah gue bilang kalo gue itu belum makan satu minggu ini, uhuk!" Elin segera mengambil jus rasa alpukatnya, menyeruputnya hingga tersisa setengah gelas, lalu cewek itu beralih pada baksonya lagi, menyantapnya dengan rakus. Tak peduli dengan Sia yang sudah geli menatap dirinya seperti itu. Bahkan, Sia masih belum menyentuh makanannya sama sekali, tetapi Elin sudah menghabiskan dua mangkok bakso ekstra pedas, dan satu gelas jus alpukat. Benar-benar cewek yang rakus. Tapi tak apalah, Sia suka Elin yang seperti itu, menunjukkan kepribadian apa adanya, tanpa perlu menutup-nutupi. "Segitunya ya lo laper? Gue kok jadi kasihan lihat lo, kalo lo mau pesen lagi boleh kok," ujar Sia prihatin, ia tersenyum ceria sembari menyuapkan satu bola bakso ke mulutnya. "Beneran? Serius nih? Ah, jangan becanda lo, nggak lucu." Kedua kalinya, Sia mengangguk kecil, sementara Elin sudah berbinar, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya, bahkan cewek itu sudah berjoget riang. Untung saja ini masih jam pelajaran, keadaan kantin masih sangat sepi. Setelah selesai makan, dengan tanpa malunya Elin tiba-tiba bersendawa dengan sangat keras. Ini untuk kedua kalinya Sia menutup lubang hidungnya sembari mengibaskan tangannya ke udara. Sia berdecak, lalu menoleh ke samping. Sia segera angkat suara, "Elin, lo nyebelin banget sih? Mulut lo bau tau, nggak sopan sendawa sembarangan. Lo itu cewek, harus pandai-pandai jaga etika," ucap Sia dengan suara sumbang, tentu saja terdengar sangat aneh karena tangannya masih menutupi lubang hidung. Tak menyangka mendapati cengiran lebar dari Elin, Sia hanya sedikit mendelik dan terkejut, ia lalu menggeleng pelan. Namun, tiba-tiba tak sengaja matanya menangkap pemandangan yang seharusnya ia tidak lihat. Sia meneguk ludahnya dengan susah payah, ia membiarkan Elin berjalan terlebih dahulu ke kelasnya, dengan langkah tertatih, Sia berusaha mendekat ke arah dua remaja yang sedang berpelukan itu. Napasnya sudah ngos-ngosan, dan Sia sudah meyakinkan diri kalau apa yang kini dilihatnya adalah kesalahan besar, matanya sudah ia kucek beberapa kali, dan tetapi wujud Elgo terlalu nyata untuk dibilang imajinasi. Tangan Sia semakin bergetar, hatinya seketika merasakan remuk, ini masih hari pertama dirinya berpacaran dengan Elgo, tetapi kenapa cowok itu seakan bertindak seenaknya sendiri dan tidak peduli akan perasaan Sia? Semakin cepat, langkah Sia kini mengikis jarak diantara dirinya dan Elgo yang membelakanginya, ia sudah mengenal postur tubuh cowok itu, dari belakang seperti ini juga Sia sudah hapal, tetapi siapa yang berada di pelukan cowok itu? Hal yang lebih menyakitkan lagi adalah Elgo malah tidak memberontak sama sekali, membiarkan cewek itu tenggelam dalam d**a bidangnya. Bahkan Sia yang sudah menjadi pacarnya saja belum merasakan hal macam itu. Hatinya sakit, remuk menjadi beberapa keping. Walaupun air matanya tidak bisa di bendung lagi, kemudian Sia menggeleng pelan. Ia harus berpikir positif, Elgo pasti punya alasan untuk menjelaskan ini padanya. Dia tahu cowok itu, Elgo cowok yang baik. Dan siapapun yang berada di pelukannya itu, Sia harap itu adalah sebuah angan semata, walaupun memang terasa sangat nyata. Sia berdiri tepat satu meter dibelakang Elgo, pipinya yang terasa hangat karena air mata turun dalam hitungan detik saja, beberapa saat kemudian ia mundur secara perlahan, sebisa mungkin agar tidak menciptakan suara yang mengalihkan fokus Elgo. Setelah beberapa meter menjauh, Sia berlari dari sana, ia tidak mau terlalu sakit memikirkan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN