07. Papa Kembali

1654 Kata
Makan malam telah selesai. Mereka ( Anwar, Danu, dan Romi ) berkumpul di ruang TV. Anwar sengaja mengajak Danu dan Romi berkumpul untuk saling melepas rindu setelah 2 minggu tak bertemu. Selama 2 minggu tak bertemu, pasti banyak hal yang ingin Anwar dan Danu utarakan. Apalagi Danu yang 2 minggu ini menghabiskan liburan di Bandung. Pasti banyak cerita yang bisa diungkapkan Danu dalam perjalanan liburnya. Anwar memang terpaksa jauh dengan Danu. Tapi Anwar selalu memperhatikan Danu. Segala kegiatan Danu selalu Anwar awasi. Meskipun Anwar tak bisa mengawasi secara langsung, namun segala tindakan ataupun kegiatan Danu di Jakarta bisa diketahui oleh Anwar. “Danu, gimana liburannya di Bandung? Mana oleh-oleh buat Papi?” Tangan kanan Anwar merangkul Danu dari belakang. Anwar sengaja duduk di sebelah Danu, agar hubungan mereka selalu dekat meski jarak terus memisahkan mereka. “Asyik Pi, pikiran Danu jadi segar lagi. Rasa bosan berkutik dengan pekerjaan pun jadi hilang. Oleh-oleh? Ups..., Danu lupa. Kirain Papi belum mau pulang sekarang-sekarang. Maafkan Danu Pi? Oh, kalau gak itu... tu oleh-oleh yang awet buat Papi. Danu bawa, asli buatan Bandung!” Tangan kanan Danu menunjuk teman barunya yang duduk di kursi sebelah. Romi merasa ditunjuk Danu. Kedua mata melirik lalu menatap Danu. Dengan refleks, tangan kiri Romi mencubit lengan Danu. “Aw... sakit tahu!” Tangan kanan Danu mengusap-usap lengannya yang terasa sedikit panas karena cubitan kesal dari Romi. “Makanya kamu teh jangan suka bikin kesel! Sakit kan?” Romi tertawa geli. “Sudah... sudah! Danu, Romi kalian ini kenapa berantem terus? Dan kamu Danu, kebiasaan kalau gak isengin orang!” Anwar melambaikan kedua tangan menengahi keduanya. “Iya Pi maaf!” Ucap Danu sembari memeluk Anwar. “Papi sendiri gimana kerjanya di Kalimantan? Kapan Papi bisa menetap di Jakarta dan gak bolak-balik Jakarta Kalimantan lagi? Apa Papi gak capek? Kenapa Papi gak suruh orang saja buat urus di sana? Papa tinggal terima laporan beres aja!” Danu kini bertanya pada Anwar. “Pekerjaan Papi baik-baik saja, gak ada masalah. Ya sih, Papi sebenarnya sudah capek bolak-balik urusi kerjaan! Papa juga sebenarnya sudah pengin istirahat di rumah, kumpul sama kamu. Tapi gimana ya, Papi pinginnya istirahat kalau Papi sudah punya cucu. Kalau sekarang-sekarang kayaknya belum! Makanya buruan kamu nikah, biar Papi cepat punya cucu! Kamu juga ada yang mengurusi, ada yang masakan!” Ucapan Anwar selalu berbuntut pada permintaan agar Danu cepat berumah tangga. “Kenapa mesti nunggu cucu? Danu aja belum ada pikiran untuk nikah, gimana mau punya anak!” Lagian Papi ini kenapa mesti bahas soal nikah, kayak gak ada obrolan lain aja!” Danu sedikit kesal kalau sudah mulai membahas pernikahan. Padahal kalau dilihat dari umur serta kesiapan materi, Danu harusnya sudah siap untuk membina rumah tangga. Tapi entah apa yang membuat Danu paling gak suka membahas soal pernikahan. “Kalau ada cucu, Papi kan jadi betah di rumah karena ada yang temani. Lah kalau kamu masih sendiri, Papi di rumah sama siapa? Kamu aja sibuk ngurusi usahmu!” Anwar terus beralasan. “Kan ada Mbok. Alasan Papi aja, biar Danu mau menikah. Pokoknya ya Pi, Danu belum mau menikah titik!” Danu dengan tegas menolak permintaan Anwar. “Danu ke kamar dulu Pi, Rom! Danu capek pengin istirahat! besok Danu harus ke kerjaan, dah 2 minggu gak ditengok!” Danu beranjak dari duduknya kemudian berlalu meninggalkan Anwar dan Romi. Anwar hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban Danu. Danu selalu kesal saat Anwar membahas soal pernikahan. Seolah pernikahan itu suatu momok yang menakutkan bagi Danu. *** Di ruang TV tinggal Romi dan Anwar berdua. Kedua mata Romi belum merasakan ngantuk, makanya dia memilih bertahan di tempat itu berdua dengan Anwar. Meskipun sebenarnya Romi segan, tapi dia tak enak hati kalau menyusul Danu ke kamar. “Ya begitu teman kamu itu Rom! Kalau Om bahas soal pernikahan pasti dia kesal. Ngambek, terus pergi ke kamarnya. Menurut kamu, apa Om salah menginginkan anak laki-laki Om untuk segera menikah? Usia Danu sudah gak muda lagi, begitu juga dengan Om! Om pingin lihat Danu berdiri berdampingan dengan pasangannya di pelaminan! Itu aja sudah cukup buat Om!” Wajah Anwar berubah muram. “Om gak salah. Setiap orang tua pasti teh ingin melihat anak-anaknya bahagia menikah dengan pasangannya. Tapi mungkin, Danu belum siap Om. Bisa juga Danu teh masih trauma dengan perempuan atau belum ingin menjalin hubungan serius dengan perempuan. Om teh sabar nya?” Danu berusaha memberi pengertian pada Anwar. Namun mengapa, kedua mata Romi justru berkaca-kaca menjawab ucapan Anwar. Ucapan Anwar mengingatkan Romi pada almarhum papanya juga tentang pernikahannya yang gagal. “Om selalu berusaha sabar pada Danu. Tapi Rom, umur manusia kan gak ada yang tahu! Kalau tiba-tiba Om dipanggil Tuhan duluan gimana? Sementara Om belum menyelesaikan tugas orang tua pada anaknya yakni bisa menikahkan Danu dan calon istrinya. Om takut, kalau Om gak bisa menyaksikan Danu mengakhiri masa lajangnya dengan perempuan yang dia cintai.” Anwar semakin terlihat sedih. “Iya sih Om. Om benar usia seseorang memang tidak ada yang tahu! Dan Romi sendiri teh sudah merasakannya. Saat Papa Romi pergi untuk selamanya dari dunia ini. Tapi Om tenang aja, Romi teh akan bantu bicara sama Danu pelan-pelan!” Kedua mata Romi pun tak bisa lagi membendung air matanya. Romi teringat dengan kepergian papanya yang begitu cepat. “Makasih Romi! Maaf, kalau boleh tahu memang papanya Romi sudah... sudah tidak ada? Gimana ceritanya?” Anwar terlonjak kaget saat tahu kalau Romi adalah anak yatim. “Iya Om, saat itu teh menjelang 3 hari pernikahan Romi, calon istri Romi membatalkan pernikahan sepihak. Jantung papa anfal, tepat di hari pernikahan Romi, papa pergi untuk selamanya.” Romi berusaha sabar. “Maafkan Om ya, sudah membuat kamu sedih? Om sudah membuat kamu teringat dengan masa lalu kamu. Bisa-bisanya calon istri kamu membatalkan pernikahan begitu saja. Dasar perempuan, kadang gak jelas maunya apa!” Anwar merasa tak enak hati sekaligus iba mendengar kisah Romi. “Gak papa Om! Romi teh senang bisa berbagi masalah dengan orang lain. Apalagi Om sama Danu juga sangat baik pada Romi. Om sama Danu teh mau menerima Romi dengan baik di rumah ini, padahal Romi bukan siapa-siapanya Om sama Danu.” Romi sedikit mulai tersenyum. Meski dalam hati Romi kembali terluka, namun di depan Anwar Romi berusaha tegar dan tersenyum. Romi tak ingin melihatkan kesedihannya. “Om juga senang kamu mau tinggal di sini! Jadi Danu punya teman, gak sendirian lagi. Ini gak seberapa Romi, sesama manusia kan memang harus saling tolong menolong!” Tangan kanan Anwar memegang pundak Romi. “Kalau Om boleh tahu lagi? Papa kamu kan udah gak ada, terus mama kamu gimana? Maksudnya tinggal sama siapa?” Anwar ingin tahu. “Mama sendiri Om. Tapi ada bibi di rumah, asisten rumah tangga yang temani. Sebenarnya Romi teh punya adik perempuan, cuma masih menyelesaikan kuliahnya di Eropa. Dah semester akhir sih Om. Sebentar lagi pulang ke Indonesia.” Romi menjelaskan. “Oh, memang mama kamu mengizinkan kamu ke Jakarta? Sementara mamamu kan sendirian di Bandung.” Anwar terus bertanya. “Awalnya sih gak mengizinkan Om. Tapi Romi teh terus memohon. Romi teh terus berusaha agar mama mau mengizinkan. Kalau Romi tetap tinggal di Bandung, Romi teh akan terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu Romi yang kelam itu” Romi kini teringat kondisi mamanya. “Kamu kan tahu, mamamu sudah berkorban demi kamu. Mama kamu rela jauh dari kamu demi kebahagiaan kamu. Jadi pesan Om, kamu jangan sia-siakan pengorbanan mama kamu! Kamu jangan kecewakan mama kamu!” Anwar menasihati. “Iya Om, makasih. Romi teh akan buktikan kalau Romi teh bisa bangkit dari keterpurukkan masa lalu! Romi akan buktikan sama mama, kalau Romi teh tidak sia-sia meninggalkan mama!” Romi bersemangat. “Bagus, Om dukung kamu! Kalau kamu butuh apa-apa, jangan sungkan bilang aja sama Om. Kalau Om bisa bantu, pasti Om bantu!” Anwar kembali menepuk pundak Romi. “Iya Om, sekali lagi Romi teh makasih pisan!” Romi menyatukan kedua tangan di depan wajahnya sebagai ungkapan terima kasih. “Dan satu lagi, kamu boleh anggap Om seperti papa kamu sendiri! Apa pun keluh kesah kamu, bicara saja sama Om! Om siap mendengarkan! Sama seperti Om ke Danu.” Anwar mengacungkan jari telunjuknya ke atas di depan wajahnya. “Makasih Om! Apa Romi teh boleh memeluk Om?” Romi bertanya pada Anwar. Anwar mengangkat kedua tangannya ke arah Romi. “Boleh” Romi pun memeluk erat tubuh Anwar. Tubuh seorang papa yang selama ini telah hilang, namun kembali lagi ke pelukan Romi. Tiada kebahagiaan lagi selain berkumpul dengan orang yang disayangi. Seperti saat ini, Romi merasa bahagia karena bisa berkumpul dengan papi Danu yang sudah menganggap Romi seperti anak sendiri. Begitupun Anwar yang sudah menganggap Romi seperti anaknya sendiri. “Sekarang sudah malam, sebaiknya kita tidur!” Anwar mengakhiri obrolannya dengan Romi malam itu. Obrolan yang membuat hati Romi sedikit tenang dan lega. Romi seperti menemukan sosok papanya yang kembali dalam kehidupannya. Sosok papa seperti melekat pada papi Danu. *** Romi memasuki kamar Danu. Danu masih terlihat memainkan ponselnya. Kedua mata Danu juga masih terlihat lebar. Tidak tampak kalau Danu sudah mengantuk. Danu juga tak terlihat capek. Benar kata papi Danu, Danu hanya alasan untuk menghindari obrolan tentang pernikahan. “Tadi kamu teh bilangnya capek, kok masih melek! Kamu teh gak boleh gitu kalau orang tua sedang ngomong, mesti didengar!” Romi duduk di pinggir ranjang Danu. “Gua malas dengar obrolan papi! Pasti gak jauh-jauh dari pernikahan! Memangnya nikah itu gampang! Lo sendiri sudah merasakan kan?” Danu menutup ponselnya, lalu meletakkan di atas nakas. “Setidaknya kamu teh dengarin dulu sampai selesai! Gak sopan itu teh!” Iya, pernikahan itu teh bikin kepala pusing! Aku teh juga malas!” Romi mengiyakan ucapan Danu. “Iya kan? Makanya gak usah ngomongin nikah-nikah mulu! Udahlah sekarang kita tidur! Besok kita bangun pagi, lo jadi ikut gua ke kerjaan gua kan?” Danu bertanya pada Romi. Romi mengerutkan kedua alisnya. “Iya ikut” Romi dan Danu meluruskan tubuhnya di tempat tidur. Keduanya mulai mencoba menutup matanya pelan-pelan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN