Azan Maghrib telah berkumandang. Danu dan Romi masih berada di jalanan. Sementara jalanan semakin dipadati kendaraan, baik roda dua ataupun roda empat. Danu tak bisa melajukan motornya cepat. Kendaraan yang hanya berjarak 1 meteran, tak memungkinkan Danu untuk bisa bergerak cepat melewati jalanan.
Danu kembali menghentikan motornya di jalanan. Situasi lalu lintas yang begitu padat, Danu pun memutuskan berhenti di tempat beribadah.
“Kita shalat Maghrib dulu di sini! Jalanan macet banget, gak mungkin keburu kalau kita shalat di rumah!” Danu melepas pelindung kepala lalu meletakannya di atas tiang spion.
“Tapi papamu gimana? Kamu teh bilang, kalau papamu galak. Terus suka marah kalau pas pulang, kamu gak di rumah. Tapi kok kita malah kembali berhenti.” Romi masih heran.
“Iya, tapi gak mungkin kalau kita tetap menerobos pulang. Waktu Maghrib kan pendek, gak sempat kalau di rumah. Dan kalau papi gua marah, tinggal bilang aja kalau kita mampir ke masjid dulu! Gampang kan? Romi, gua memang gak sempurna. Masih suka pergi ke tempat yang dilarang, masih suka mengonsumsi alkohol, tapi kalau urusan sama Tuhan, tetap gua utamakan.” Ucap Danu sembari berjalan menuju masjid.
Romi kembali kagum dengan Danu. Romi merasa beruntung bisa mengenal Danu. Selain humoris, Danu juga tak pernah meninggalkan kewajibannya pada Tuhan. Romi hampir tak percaya, Danu yang suka pergi ke klub malam lebih mengutamakan beribadah dari segalanya.
“Nah, kalau sudah gini kan tenang. Ayo kita lanjut pulang, keburu papi gua sampai duluan! Nanti papi marah-marah lagi, karena gua gak di rumah. Bisa-bisa lo ikut jadi sasaran kemarahan papi gua!” Danu mengambil helm, dengan kedua tangannya memasukkan helm ke kepala. Tidak lupa Danu mengaitkan kancing helmnya.
Danu sudah siap duduk di depan untuk menjalankan motornya.
“Ayo buruan!” Danu kembali mengajak Romi.
“Iya sebentar atuh. Iye teh gimana ngebukanya?” Kedua tangan Romi terlihat kesulitan membuka kaitan helm.
“Iya ampun, dasar anak mama! Buka helm aja gak bisa, gimana mau jadi anak motor!” Danu geleng-geleng kepala disertai tawa geli.
“Memangnya teh saha yang mau jadi anak motor? Aku mah gak hobi naik motor, enak pakai mobil dingin!” Romi memberikan helmnya pada Danu.
“Ini, orang tinggal tekan aja loh gak bisa!” Danu memperlihatkan cara membuka. Dengan gampangnya Danu bisa membuka kaitan helm.
“Tadi teh sudah aku tekan-tekan, tapi tetap gak bisa.” Romi beralasan.
“Iya sudah ayo buruan naik! Alamat papi sampai duluan ini! Lo tanggung jawab loh kalau papi nanti mengamuk!” Danu terlihat serius.
Romi melangkahkan kaki kanannya lalu duduk kembali di belakang. Romi merasa Danu benar-benar serius kalau papanya galak dan suka marah-marah.
“Sudah!” Tanya Danu lagi.
“Siap” Jawab Romi.
“Berangkat!” Ucap Danu mengikuti logat dalam sebuah acara TV. Diikuti tangan kiri memukul pelan kepala motornya.
“Eh... kamu teh ikut-ikut aja acara di TV. Suka nonton juga ya acaranya?” Romi paham gaya bicara Danu barusan. Mengingatkan Romi pada acara kesukaannya, tentang kehidupan orang sunda.
“Gak sengaja lihat! Kebetulan lo kan orang Bandung, cara bicaranya sama kaya acara Tukang Ojek Pengkolan.” Danu terkekeh geli.
“Berarti kamu teh tukang ojeknya!” Gantian Romi tertawa renyah.
“Enak aja! Dah buruan... buruan!”
Danu pun melajukan motornya melewati jalanan yang sudah dipenuhi lampu-lampu jalan. Kebetulan jalan sudah tak sepadat tadi sore saat jam pulang kerja. Danu pun bisa mempercepat laju motornya.
***
Setelah menempuh perjalanan udara kurang lebih 2 jam, Anwar pun tiba di Bandara Soekarno Hatta. Sopir pribadi telah menunggu kedatangan Anwar dari setengah jam yang lalu. Anwar pun masuk ke dalam mobil jemputannya.
Setengah jam kemudian, Anwar telah tiba di rumahnya. Di rumah hanya ada mbok saja. Sementara anak laki satu-satunya sedang berada di luar rumah.
“Mbok, Danu belum pulang? Apa Danu sering pergi-pergi seperti ini?” Tanya Anwar pada Mbok.
“Belum, tidak kok Pak. Kebetulan Mas Danu sedang ada temannya yang baru datang semalam dari Bandung. Mas Danu bilang, ingin mengajak jalan-jalan temannya mengelilingi kota Jakarta.” Mbok menjelaskan.
“Teman? Teman yang mana? Laki-laki apa perempuan Mbok?” Anwar memberondong Mbok dengan sederet pertanyaan.
“Katanya sih, mereka baru kenal di Bandung. Laki-laki Pak.” Jawab Mbok.
“Bisa ya baru kenal, mau langsung ikut ke Jakarta? Kadang saya itu heran sama Danu. Kalau teman laki-laki gampang dekat, tapi suruh cari istri susahnya minta ampun!” Tangan kanan Anwar menepuk jidat sendiri.
Danu yang saat ini usianya sudah 31 tahun, memang belum mau mencari pendamping hidup. Padahal Anwar sudah sering meminta Danu untuk mencari pendamping. Tapi Danu selalu beralasan. Yang Anwar lihat teman Danu cukup banyak, namun dari sekian banyak teman Danu, sebagian adalah laki-laki.
Kalau dilihat dari segi fisik ataupun materi, sebenarnya mudah saja bagi Danu untuk mencari calon istri. Tapi Anwar kurang paham, perempuan seperti apa yang diinginkan Danu. Karena Anwar sering memperkenalkan anak perempuan dari rekan kerjanya, tapi Danu selalu menolak.
Terakhir kali Danu berhubungan dengan perempuan 3 tahun yang lalu. Namun hubungan Danu harus kandas dengan kekasihnya karena sebab yang gak jelas.
“Maaf Pak, kalau gak ada yang ditanyakan lagi Mbok mau permisi ke dalam dulu.” Mbok berpamitan.
“Oh ya Mbok silakan!”
Anwar adalah papi Danu, yakni duda kaya raya yang punya perusahaan tambang di Kalimantan. Masa lalunya yang kelam membuat Anwar menjadi orang yang selalu bekerja keras demi kesuksesan dalam hidupnya. Anwar tak ingin terus diremehkan orang lain. Anwar juga tak ingin direndahkan orang lain. Karena direndahkan orang itu rasanya sakit. Bahkan rasa sakit hati itu masih ada hingga sekarang ini.
Sejak ditinggal istrinya yang lebih memilih harta. Anwar pun bertekad dan membuktikan bahwa Anwar juga bisa sukses seperti orang lain. Anwar terus bekerja keras. Dan usahanya saat ini juga telah membuahkan hasil. Anwar telah memiliki perusahaan sendiri dengan omzet ratusan juta per bulannya. Anwar tidak suka dengan orang yang kerjanya hanya ongkang-ongkang kaki ataupun hanya berpangku tangan.
Anwar juga mengajarkan Danu untuk bekerja keras demi masa depannya nanti. Anwar tak ingin Danu mengandalkan kekayaan orang tuanya dengan bermalas-malasan. Anwar mengajarkan Danu kemandirian yang tinggi. Hingga saat ini, Danu yang masih muda sudah punya usaha sendiri. Bahkan dari usaha Danu, Danu bisa memberikan lapangan pekerjaan pada orang lain.
***
Danu dan Romi akhirnya tiba di rumah. Setelah memarkirkan motornya di garasi samping rumah Danu bergegas masuk. Danu sudah yakin kalau papinya telah tiba duluan di rumah. Karena Danu melihat mobil papinya sudah berpindah posisi. Kalau papinya berada di Kalimantan, mobilnya selalu terparkir rapi di parkiran. Tapi malam ini, mobil itu terparkir di depan rumah.
“Lo siap-siap ya, kalau papi marah-marah! Soalnya papi gua dah sampai duluan. Mobilnya dah di depan rumah, bukan di garasi lagi!” Danu kembali memperingatkan Romi.
Tanpa mengetuk pintu, Danu langsung saja masuk ke dalam rumah diikuti Romi di belakangnya. Romi masih teringat ucapan Danu soal papanya yang katanya galak. Tubuh Romi seakan bergetar saat memasuki rumah Danu malam ini. Tidak seperti malam pertama saat Romi baru tiba di rumah Danu.
“Papi!” Danu mencium punggung tangan kanan Anwar lalu memeluknya erat. Pelukan rindu seorang anak pada orang tuanya. Orang tua tunggal, yang selalu terpisah jarak dan waktu dengan Danu.
“Kamu dari mana saja? Papi pulang gak ada di rumah! Memang kamu gak kangen sama Papi?” Anwar mengacak rambut Danu, hingga rambut yang sudah berantakan semakin tak beraturan
“Habis jalan sebentar Pi. Oh ya, Papi kenalin teman baru Danu! Namanya Romi, Romi dari Bandung Pi. Romi pengin menenangkan pikirannya di Jakarta. Mungkin akan tinggal sementara di sini, boleh kan Pi? Sekalian temani Danu! Kalau pas Papi gak di rumah kan sepi, Danu gak ada teman.” Danu mengenalkan Romi pada Anwar.
“Romi Om!” Romi mencium punggung tangan kanan Anwar. Romi terlihat gugup saat itu. Romi cemas, kalau ucapan Danu tentang papanya benar. Saking cemasnya, kedua tangan Romi terasa begitu dingin.
“Anwar, papinya Danu! Tangan kamu kok dingin gini? Kamu sakit?” Anwar memperkenalkan dirinya pada Romi.
“Ehm... gak Om!” Mulut Romi terasa bergetar.
“Romi takut kali sama papi? Itu lihat aja wajahnya pucat gitu!” Romi tertawa senang.
“Kamu takut kenapa?” Anwar heran sekaligus penasaran.
“Romi takut papi! Romi takut dimakan hahaaa...!” Danu semakin tak bisa menahan tawa melihat ekspresi Romi yang terlihat ketakutan.
“Dimakan? Danu maksud kamu apa, pasti kamu ngomong yang gak-gak tentang papi sama Romi!” Anwar memutar kepala ke arah Danu.
“Danu hanya becandaain Romi Pi. Danu bilang Papi galak, suka marah-marah. Eh, Romi percaya aja!” Romi masih menahan tawa.
“Danu... Danu, kamu itu kebiasaan iseng sama teman sendiri!” Tangan kanan Anwar menarik telinga kiri Danu.
“Aw... sakit Pi, ampun!” Danu menyatukan kedua telapak tangan di depan wajahnya.
“Makanya jangan suka isengin orang! Kasihan kan anak orang dibuat ketakutan begitu!” Anwar melepas jeweran tangannya dari telinga Danu.
“Maafkan Danu ya? Danu memang begitu suka iseng! Tapi kamu tenang aja, Danu sangat baik pada teman-temannya. Apalagi kalau orang itu baik sama Danu.” Tangan kiri Anwar menepuk lengan kanan atas Romi.
“Iya gak papa Om.” Romi tersenyum.
“Kamu asli Bandung? Bukannya enak tinggal di Bandung ya daripada di Jakarta, ke mana-mana macet!” Anwar bertanya pada Romi.
“Asli Om. Romi teh pengin cari suasana baru. Bosan juga di Bandung.” Jawab Romi.
“Semoga kamu betah ya tinggal di Jakarta? o*******g, sekarang Danu punya teman di rumah.” Anwar kembali menepuk pelan lengan Romi.
“Oh ya, kalian sudah pada makan belum? Kita makan bareng yuk!” Anwar mengajak Danu dan Romi.
Mereka pun makan bersama di ruang makan rumah Anwar. Anwar senang kalau Danu ada temannya di rumah.
“Makan yang banyak Danu, Romi!” Ucap Anwar pada Danu dan Romi.
Romi merasa gak enak hati pada Anwar, papanya Danu. Romi telah salah mengira. Ternyata Papa Romi begitu baik dan terbuka pada orang yang baru dikenalnya.
“Hmmm... awas kamu Danu! Hari ini kamu teh sudah berapa kali bikin aku kesel!” Romi berkata dalam hati.
Memang Danu ini paling suka iseng dan suka bikin kesel. Tapi itulah keunikan dari Danu sahabat Romi. Danu selalu bisa bikin Romi kesal ataupun tertawa. Tapi keisengan Danu kali ini telah membuat Romi benar-benar malu dan gak enak hati pada papa Danu. Karena keisengan Danu, Romi telah berprasangka buruk pada orang yang sebenarnya baik.