Tiga Belas

1610 Kata
Dua lelaki tinggi dan kekar berdiri tegap di belakang Zea. Satu orang menempelkan moncong pistol di pinggang Zea. Satu lagi menyisiri tubuh Zea dengan cepat dan melucuti semua senjata miliknya. Mata Zea menatap dingin dan lurus. Pada satu orang yang ingin dia ketahui alasannya. Mengapa? Benarkah aku dikhianati? Mengapa? Seolah merasakan tatapan menusuk Zea, Arjuna memalingkan wajahnya. Tatapan menyesalnya memberikan jawaban atas pertanyaan Zea. Tapi mengapa? "Gue minta pengampuan dari bokap supaya lu nggak diapa-apain. Semua uang dan surat penting bokap yang lu ambil bakal lu balikin. Sebagai gantinya, lu harus pergi dari Jakarta. It's oke. I'll be with you." Arjuna berkata keras di telinga Zea. Mencoba mengalahkan ingar bingar musik klub yang berdentum memukul-mukul gendang telinga. Zea mengerling sinis. Bibirnya tertarik naik ke satu sisi. "Kamu percaya? Sedang ibumu saja dia lenyapkan apa lagi aku? Orang yang mencoreng mukanya dengan kotoran. Tidak ada pengampunan buatku Juna. Kupikir kamu sudah paham. Iblis tidak pernah memberi hati pada manusia. Dia licik! Dan kejam!" "Dia sudah berjanji." "Pasti diingkari." 'Prok! Prok! Prok!' "Well done Arjuna! Kamu memang anak bapakmu. Cocok menjadi penerus kerajaan Baskoro. Dengan sedikit pelatihan, kamu bisa menjadi kepercayaan dan andalanku." Zea memandang jijik pada Margono yang berdiri di belakang Arjuna. Di sampingnya, Baskoro tertawa puas. "Kamu mirip sekali ibumu. Apa kabar dia?" tanyanya sinis sambil mengepulkan asap cerutu. "Sangat merindukanmu. Dia mengirimimu satu tiket ke neraka! Mau kau pakai kapan?" "Hahaha! Zea, Zea! Sayang sekali kamu memilih membangkang padaku. Jika tidak, kamu akan jadi anak buahku yang sangat berharga. Dan sudah pasti bergelimang harta. Hahaha!" "Hhhh! Seharusnya aku memang berharga ..., Ayah. Karena aku anak perempuanmu. Bukan begitu?" tanya Zea sinis. "Apa!?" "Kenapa? Heran? Apa perlu test DNA untuk membuktikannya? Tapi sudah terlambat. Seharusnya kamu mengeceknya sebelum memperkosaku. Atau ..., kamu sebenarnya sudah tahu tapi tetap meniduriku karena kamu memang b***t?! Ayah?" "Tidak mungkin!" "Aku memang anakmu. Suka atau tidak. Tapi jangan khawatir, aku tidak akan minta tunjangan apa-apa darimu. Karena aku juga tidak mau mengakuimu sebagai ayah. Andilmu cuma setetes s****a pada rahim ibuku. Tidak lebih! Sama seperti ceceran spermamu di rahim perempuan lain yang kau tiduri. Apa sudah kau hitung berapa anakmu, Margono? Sebaiknya cepat kau datangi mereka satu per satu sebelum mereka mendatangimu dan mencingcangmu untuk diumpan pada buaya lapar!" "b*****t! Cepat singkirkan dia dari hadapanku!" Suara Margono menggelegar mengalahkan dentuman musik yang diputar semakin keras. Dengan terburu-buru, Mandor yang sedari tadi berada di belakang Zea mendorong ujung pistolnya dan mendesak Zea untuk menjauh dari hadapan Margono. "Pa, Papa sudah janji akan membiarkan Zea bebas asal uang Papa kembali. Uang Papa pasti kembali. Saya tahu tempatnya. Bebaskan Zea, Pa!" Arjuna menghadang Baskoro yang hendak berjalan kembali pada gadis-gadis yang menunggu di sofa empuk. "Seharusnya kamu mempercayai kata Zea. Iblis tidak pernah menepati janji," ujar Baskoro. Senyum sinisnya mengawali tawa panjang menjijikkan yang dibenci Arjuna. "O, ya, Juju. Kamu itu banci. Tidak pernah pantas menjadi pewaris Papa. Bahkan kamu tidak pantas dilahirkan. Sayang mamamu sudah keburu mati sebelum memberi tahu siapa laki-laki yang berani menidurinya sehingga dia hamil kamu. Hhh!" "Papa bohong! Tidak mungkin mama seperti itu!" "Tidak mungkin apa? Tidak mungkin kalau mamamu itu p*****r? Kenyataannya memang begitu, kok. Aku mandul Juju. Sedari lahir. Jadi tidak mungkin kamu itu anakku. Kalau sekarang kamu masih aku pelihara, itu karena aku ingin melihat kamu semakin rusak. Sebagai pembalasan atas pengkhianatan mamamu." Kalimat terakhir dibisikkan Baskoro dengan perlahan di telinga Arjuna. Seketika, darah di tubuh Arjuna berhenti mengalir. Dia merasa api kemarahan sedang membakar sel-sel tubuhnya secara perlahan. 'BUG!' Tinju Arjuna menghantam rahang Baskoro. Membuat Baskoro terhuyung ke belakang. Beberapa anak buah Margono mendekati mereka dengan cepat dan seseorang menahan tubuh Baskoro agar tidak jatuh. Tidak suka terlihat lemah di hadapan anaknya, Baskoro menepis lengan penolongnya dengan kasar. "Hah! Ternyata kamu punya nyali juga. Sayangnya, itu tidak seberapa. Cuih! Sekali banci tetap banci!" Panas mendengar ejekan Baskoro, Arjuna mengayunkan tangannya menyasar rahang Baskoro lagi. Tapi kali ini Baskoro lebih siap. Tangan Arjuna ditahan di udara. Wajah mereka saling berhadapan. Mata mereka bertatapan begitu lekat. Kebencian, kemarahan, jijik, dan muak bercampur aduk. 'DUG!' Arjuna menendang s**********n Baskoro. Membuat Baskoro melepaskan cengkeramannya pada tangan Arjuna. Dia mengaduh kesakitan. Kedua tangannya menutupi s**********n dan kakinya mengepit erat berusaha menahan rasa ngilu yang berkedut-kedut cepat. "Sial! Sial! Kurang ajar! Dasar anak jalang!" Baskoro mengokang senjata yang diselipkan di pinggangnya. Letusan dan bunga api terarah lurus ke tubuh Arjuna. Timah panas menancap di dadanya. Arjuna ambruk, tanpa sempat membela diri atau memekik. Seperti melempar Gandiwa untuk diserahkan kembali pada Baruna, Arjuna tak berdaya. Jatuh ke lantai bersimbah darah. Samar-samar dia mendengar jeritan pilu Zea. ~o0o~ Letusan senjata api itu didengarnya ketika dia digiring Mandor ke belakang bangunan klub. Secara pribadi, dia tidak mengenal Mandor. Tapi reputasi preman gaek itu sudah sering didengarnya. Sama sekali tak terselip dalam pikirannya, jika Margono akan menggunakan kemampuan Mandor untuk menaklukannya. Satu yang dia yakini, Mandor pasti punya kecakapan khusus jika sampai dipercaya Margono untuk menangkapnya. Alih-alih melawan dan menaklukan Mandor, Zea memilih mengikuti permainan Mandor dan berpura-pura kalah. Dia ingin tahu apa rencana Mandor selanjutnya. "Aku nggak percaya kalau pekerjaan ini gampang banget. Kupikir sesulit apa menangkap cewek yang bikin onar di tempat Baskoro. Cuma segini aja mereka nggak bisa. Huh!" "Level Bos masih lebih tinggi dari cewek ini. Sekarang mau diapakan dia, Bos?" Anak buah Mandor menusuk punggung Zea dengan tongkat berujung tumpul. "Bos besar minta cewek ini dihabisi. Tapi sayang juga kalau langsung di penyet. Kamu punya ide?" Seringai licik membayang di wajah kasar Mandor. Anak buahnya membalas seringai Mandor dengan kekehan gembira dan penuh gairah. Kedua telapak tangannya diusap-usapkan seolah banyak butiran tepung di sana. "Bawa ke markas, Bos! Kita bisa pesta di sana." Tepat saat Mandor dan anak buahnya berangan-angan menindih tubuh molek Zea, pintu berat di belakang mereka membuka keras. Mengeluarkan bunyi berdebam yang sempat membuat anak buah Mandor melonjak. "Siapkan mobil! Cepat!" Seorang anak buah Margono memberi perintah pada Mandor. Jarak mereka dengan mobil van sudah lumayan dekat. Dengan kasar, dilemparnya Zea yang dalam keadaan terikat tangannya ke belakang van. "Ada apa?" tanya Mandor pada anak buah Margono yang menahan pintu belakang agar tetap membuka. "Baskoro nembak anaknya." Zea yang menguping dari dalam van langsung bangkit mendengar kabar itu. Juna tertembak! Juna si bodoh kena tembak Baskoro! Tidak! Tidak! Jangan Juna! Jangan! Zea berlari ke arah pintu hendak masuk dan menemui Juna. Pengawal Margono dibantu Mandor segera menahannya. Teriakan dan racauan histeris Zea tak digubris mereka. Tubuh kecil Zea tak sanggup melawan tubuh besar para pengawal Margono. Jangan Juna! Jangan! Tolong jangan sampai terjadi apa-apa padanya! Saat dua orang pengawal Margono menggotong tubuh Juna yang bersimbah darah, Zea dengan berurai air mata mengikutinya masuk ke dalam van dan duduk di samping Juna sambil terus memanggil-manggil namanya. "Kumohon. Lepaskan ikatan tanganku. Aku tidak akan lari. Aku hanya ingin menyentuh dia," pintanya pada pengawal Margono yang berjaga di belakang. Permintaan Zea tidak dikabulkan. Pengawal itu membuang muka seolah permintaan Zea hanya suara kentut yang harus diabaikan. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Zea terantuk-antuk di dalam mobil tanpa bisa berpegangan pada apa pun. Jika laju mobil lebih tenang, dia menempelkan pipinya pada pipi Juna. Berbisik di telinganya dan memanggil lembut namanya. Pada satu kesempatan, Zea membaringkan tubuhnya di sisi Juna. Bibirnya tepat berada di telinga Juna. "Aku tahu engkau masih ada di dalam sana. Mendengarku dan ingin keluar. Bukankah selalu begitu? Kau ingin keluar dan menjadi dirimu sendiri. Juna, kamu masih ingat mimpi kita? Pergi ke tempat di mana tidak ada seorang pun yang mengenal kita. Kamu bilang, berada di tengah orang asing akan membuat kita saling mengenal lebih dalam. Kamu juga bilang keterasingan membuat kita kuat dan saling menguatkan. Seperti Ibu Hastuti dan Papa Wijat." Air mata mengalir deras tanpa suara. Mata Zea tertutup membayangkan hari-hari pendek kebersamaan mereka. Senyum Juna dan ucapan selamat pagi setiap kali dia terbangun. Kopi panas dan roti panggang yang gosong pinggirannya. Bersama Juna, Zea bisa tertidur nyenyak. Bersama Juna mimpi buruknya pergi. Juna juga punya mimpi buruk. Tapi bersama Zea dia bisa bermimpi indah. Dua orang terluka yang saling mengobati dan menyembuhkan. Mencoba bangkit dan membuka ladang kebahagiaan mereka sendiri. Tapi menanami ladang sendiri tidak semudah berbagi hasil dengan orang lain. Cuaca juga tidak selamanya cerah. Kadang badai kuat membuat ladang tidak jadi bersemi. "Juna, jika kamu masih di dalam sana ...." Kata-kata Zea menyumbat tenggorokannya. Asin yang kental menyelinap di antara bibirnya. Membuat Zea teringat pada bibir Juna, tubuh Juna, dan semua sentuhan-sentuhannya. "Aku mencintaimu. Itu yang selalu ingin kamu dengar dariku, kan? Aku berjanji, Juna, seseorang akan membayar lunas semua yang telah dilakukannya padamu." Mobil mengerem tiba-tiba. Membuat tubuh Zea terdorong dan bibirnya menyentuh pipi Juna. Asin. Zea terkesiap. Dia melihat selarik air mata menuruni pipi Juna. "Juna ...," bisiknya. "Cepat turunkan dia!" Seseorang membuka pintu belakang mobil dan menarik keluar tubuh Juna. "Bagaimana dengan dia?" tanya pengawal yang sedari tadi berada di dalam mobil. "Kamu awasi terus jangan sampai lengah. Dia ini licin dan banyak akalnya! Sudah, cepat bawa dia ke UGD!" Zea melihat tubuh Juna dibawa pergi dan menghilang di balik sebuah pintu. Rasa sepi merayapi dadanya. Dia terbaring miring di lantai mobil. Memandangi genangan darah Juna yang mengental dan berbau anyir. "Juna ...," bisiknya lirih. Air mata masih menggenangi matanya. "Juna?" Seolah baru tersadar dari tidur yang panjang, Zea bangkit dan menatap tajam pengawal yang berada di dalam mobil. Hanya dalam satu kali tendang, Zea membuat pengawal itu terdiam tak berkutik. Dengan tangan terikat, bersusah payah dia berusaha membuka pintu mobil dan berlari keluar. Ke arah pintu tempat Juna menghilang. Tubuh Zea kaku ketika tiba di depan kerumunan orang yang mengelilingi sebuah ranjang. Seorang perawat mendorong ranjang itu pergi. Membawa sesosok tubuh yang tertutup selimut hingga kepala. Dan Zea tahu, itu tubuh Juna.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN