Empat

1590 Kata
"Saya tidak mau. Untuk dua alasan. Pertama, saya tidak tahu apa-apa tentang kamu. Kecuali tadi pagi. Begitupun sebaliknya. Yang kedua, kami tidak punya banyak uang." "Anda salah, Nyonya. Untuk dua alasan. Pertama, saya sangat mengenal Anda. Saya bisa menyebutkan hal detil dalam hidup Anda dan mungkin Anda tidak ingat pernah melakukannya. Begitupun sebaliknya. Anda mengenal saya, hanya belum waktunya untuk mengerti. Yang kedua, uang bukan masalah. Yang penting kita harus pergi secepatnya dari Stutgart." Hastuti memandangi Wijat sekilas dan balik memandangi perempuan muda di hadapannya. Dia bilang tahu segalanya tentang Hastuti. Itu ... itu mengerikan! Bahkan dia tahu hal-hal yang tidak disadari Hastuti. Bagaimana bisa? Ah! Tentu saja bisa. Semua hal bisa menjadi mungkin jika dia adalah ... "Kamu orang suruhan Margono, kan?" Pertanyaan Wijat membuat Hastuti menatapnya dengan cemas. Namun dia tidak bisa menemukan manik mata Wijat yang bisa menjawab pertanyaannya. Manik itu sedang menatap tajam pada Zea. "Ya. Aku memang orang suruhan Margono." Secara reflek Hastuti menutup mulutnya yang membentuk huruf 'o'. Dadanya berhenti berdegup sesaat. "Apa ini metode pelenyapan yang terbaru? Kalian membujuk dan mendekati korban lalu membawa mereka entah kemana untuk kemudian dibungkam selamanya?" "Tidak, tidak, percayalah pada saya. Tidak pernah ada niat untuk melenyapkan Ibu Hastuti sejak saya menerima tugas ini. Sebaliknya saya justru ingin menyelamatkannya. Saya perlu waktu untuk mendekati dan membujuk Ibu Hastuti agar percaya pada saya. Tapi waktu saya tipis. Saya khawatir mereka akan mencelakai Ibu Hastuti sebelum saya bisa membuatnya aman." "Ka-kamu sungguh-sungguh suruhan Margono?" Hastuti berjalan selangkah mendekati Zea. Zea mengangguk dan memandang sendu perempuan yang diam-diam dirindukannya. "Kamu membahayakan nyawamu, Nak. Menolak perintah Margono sama artinya dengan mati. Kamu pasti tahu, kan?" Pandangan Zea kabur. Satu kata dari mulut Hastuti hampir meruntuhkan semua benteng yang telah dibangunnya. Tidak! Jangan sekarang! Belum waktunya! "Anda benar. Karena itu kita harus bergegas. Saya mohon, kita tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Mereka akan tiba kapan pun!" "Ke mana kamu akan membawa kami?" Zea terdiam. Hastuti menatapnya lembut. Bayangan pada mata Zea mengingatkannya pada sesuatu. Sesuatu yang gelap dan liar. Sesuatu yang pernah singgah pada satu masa kehidupan Hastuti dan ingin dia benamkan dalam-dalam. Tapi sesuatu itu seperti menyembul lagi menyembul lagi. Seolah menolak untuk dibenamkan apalagi dimatikan. Bukankah seperti itu dirinya kini? Menjadi sosok yang ingin dibenamkan Margono tapi tak pernah tenggelam. Hastuti seperti pelampung di laut lepas yang dipermainkan gelombang dan arus pasang. Kadang timbul kadang menghilang. "Entahlah. Mungkin kita akan keliling Eropa lalu Amerika bahkan Australia. Ke mana pun asal jangan Asia. Mata-mata Margono kuat sekali di sana." "Sampai kapan?" Lagi-lagi kebisuan yang dingin sebelum Zea menjawab pertanyaan Hastuti. Pernahkah dia tanpa rencana yang matang sebelumnya? Tidak pernah. Zea selalu merencanakan setiap perjalanannya dengan cermat dan penuh perhitungan. Tapi sekarang? Disaat dia sedang bermain-main dengan nyawa, dia tidak punya rencana sama sekali. Hanya ada satu rencana yang Zea ketahui, membawa Hastuti sejauh mungkin ke tempat yang seaman mungkin. "Saat ini saya tidak bisa bilang sampai kapan kita akan lari. Tapi setelah kita berada di tempat yang aman, saya akan memperhitungkan segala kemungkinannya." "Zea ..., jika memang Margono atau antek-anteknya akan datang, biarkan dia datang. Saya sudah bertahun-tahun berlari. Dari waktu ke waktu saya bersembunyi. Bahkan dari ketakutan saya sendiri. Saya lelah Zea. Biar saja orang suruhan Margono datang mencari saya dan melaporkan ketiadaan saya kepadanya. Jika itu membuat dia tenang dan bahagia, biarkan terjadi. Saya terlalu sibuk memikirkan nyawa saya hingga lupa untuk merasa bahagia." Tidak! Jangan! Hastuti meraih tangan Wijat dan menggenggamnya erat. Mata keduanya bertemu. Sesaat Zea merasa mereka membangun dunia sendiri dan memiliki suaka sendiri. Bertahun-tahun keduanya memohon kekebalan dari beberapa negara, tanpa mereka sadari kekebalan itu tercipta ketika hati mereka bercerita tanpa kata. Seperti saat ini, Zea hanya bisa berdiri terpaku di tempatnya tanpa bisa menembus dinding kasat mata yang melingkupi Hastuti dan Wijat. "Nyonya ... tolonglah mengerti keadaannya. Margono a--" "Ssstt! Kemarilah Zea!" Hastuti mengulurkan tangannya pada Zea, menyuruhnya mendekat. "Saya mengerti ketakutanmu. Paham sekali. Walau saya belum mengerti kepedulianmu. Tapi percayalah, Zea, hidup dalam pelarian tidak menyenangkan. Kita dipaksa untuk mengenakan topeng yang lain. Topeng yang dipasang seolah untuk mengelabui lawan. Nyatanya, topeng itu hanya topeng kebencian kita, topeng kemunafikan kita. Topeng yang kita pikir mampu menyembunyikan kepedihan dan menampilkan kebahagiaan. Tapi sebenarnya kita tidak bahagia." Hastuti membawa Zea ke dalam pelukannya. Ahh, seperti tenggelam dalam aroma cokelat yang memabukkan. Sejuk. Seperti berada dalam lautan yang tenang. "Ja-jadi ..., apa yang akan kita lakukan? Tidak mungkin kita pasrah menunggu mereka mencabut nyawa kita satu per satu?" "Lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan Zea. Begitu pun dengan kami. Saya dan Wijat akan menjalani hari seperti biasa." Hastuti melepaskan pelukannya dan mengecup kening Zea. "Terima kasih," bisiknya, "untuk semua kepedulianmu." ~o0o~ Menyerah begitu saja? Hastuti boleh memutuskan begitu. Tapi Zea tidak. Hastuti benar untuk satu hal, Zea sudah lupa rasanya untuk bahagia. Dia terlalu sibuk mengurusi kepentingan Margono sekaligus menjadi anjing peliharaannya. Dia ingat rumah tempat dia dibesarkan dan dilatih. Rumah mengerikan tempatnya kehilangan eksistensinya sebagai manusia. Yang dia pelajari hanya keharusan untuk mematuhi perintah Margono. Menjadi pemuas napsu bejatnya sejak usia 12 tahun, menjadi pemuas napsu haus darahnya sejak usia 17 tahun. Zea tidak pernah mengenal dunia sekolah seperti anak-anak seumurannya. Dia belajar dengan teman-teman yang lain di rumah pelatihan. Belajar dan bersaing. Saling dukung sekaligus saling tusuk. Pada akhir masa pelatihan, mereka harus menempuh ujian untuk menerapkan hasil pelatihan mereka. Ujian dengan nyawa taruhannya. Telepon genggamnya berbunyi. Sebuah pesan WA baru masuk. Bodoh! Bunyi pesan tersebut. Seseorang masih mengetik. Kamu sekarang jadi target. Terlalu gegabah! Siapa yang ditugaskan melenyapkanku? Balas Zea. Kamu tebak saja sendiri. Setelah kamu bukan lagi Si Nomor Satu. Zea mendesah. Kekhawatirannya terbukti sekarang. Sambil merebahkan diri di atas kasur, Zea mencoba mengingat hal-hal buruk yang membuatnya punya alasan untuk membenci Cakra. Tapi tidak ditemukannya. Cakra Mahesa. Sejak kecil mereka selalu bersama di rumah pelatihan. Bangun tidur, mereka berbaris setengah mengantuk di aula. Suara pelatih menggelegar seperti guntur dalam hujan deras. Zea selalu mengkerut setiap kali suara itu mendekat. Tapi suara itulah yang selalu dia dengar sejak Bu Ice, pengasuhnya, meninggalkannya di sebuah ruangan berisi lima belas anak ketakutan. Usianya lima tahun. Dan dia sendirian sejak itu. Cakra setahun lebih tua dari Zea. Cakralah yang menggenggam tangan Zea ketika dia menangis pertama kali karena dibentak pelatih. Cakra yang membantu Zea terlelap di hari pertama dia tidur tanpa Bu Ice. Cakra yang mengobati luka-luka Zea karena kerasnya pelatihan. "Tidak ada gunanya menangis atau minta dikasihi di sini Zi. Semakin keras kamu menangis, semakin keras mereka memukulmu. Semakin kamu menunjukkan wajah ketakutan, semakin berani mereka menghukummu. Kamu harus kuat Zi. Semakin cepat kamu kuat, semakin cepat kamu keluar dari rumah ini." "Seperti apakah di luar sana?" "Mengerikan. Pasti mengerikan. Karena itulah mereka melatih kita sedemikian keras." "Aku tidak mau keluar!" "Kamu harus Zi. Keluar lebih baik daripada membusuk di sini!" "Kamu tidak tahu apa-apa, Cakra! Kamu sendiri tidak pernah keluar!" "Percayalah, Zi, kamu tidak ingin berada di sini selamanya. Setahun lagi kamu akan mengerti." Setahun kemudian, ketika Zea berusia sepuluh tahun, ketika seharusnya dia merayakan ulangtahun dengan sepuluh lilin menyala di atas kue tart bergambar kartun kegemarannya, Zea merayakan pertambahan usianya dengan melihat leher seorang pria disembelih di hadapannya. Darah menciprati wajahnya. Zea tak bisa berpaling apa lagi berkedip. Seorang lelaki memegang rahangnya sedemikian keras dan memaksanya membuka mata untuk melihat kekerasan yang seharusnya tidak dia lihat di usianya yang kelewat belia. Malamnya Zea bermimpi buruk. Berteriak ketakutan dan ingin seseorang membawanya pergi saat itu juga. Lima belas anak tidur bersama dalam ruangan itu. Laki-perempuan meringkuk dalam ranjang besi bertingkat beralas kasur keras. Empat belas anak mendengar jerit pilu Zea tanpa tahu harus berbuat apa. Mereka pernah mengalami ketakutan yang sama seperti Zea. Dan mereka sendirian saat itu. Tak ada yang menjelaskan mengapa dan harus apa, apa lagi menghibur atau menguatkan. Yang mereka tahu, mereka tidak boleh lemah atau mereka akan mengalami sesuatu yang lebih buruk lagi. "Jangan takut. Kita semua pernah mengalaminya." Cakra membungkuk di tepi ranjang Zea dan mengusap lembut rambutnya. Suara bisikannya sehalus angin, sejelas mata memandang mata. Empat belas anak terjaga di ranjangnya, hanya satu yang berani mengambil resiko mendekati ranjang Zea dan menghiburnya. Wajah sembap berurai air mata Zea menyembul dari balik selimut. Dalam pekatnya malam, dia bisa menangkap sinar ramah menenangkan dari mata Cakra. "Kita semua pernah mengalaminya, Zi. Kamu yang terakhir karena kamu yang termuda. Jadikan apa yang kamu lihat hari ini sebagai motivasi untuk keluar dari rumah ini, Zi. Di luar buruk tapi setidaknya kita bisa menghirup udara segar. Tidak bau busuk seperti di rumah ini." Zea membuka matanya. Dia seolah dipaksa keluar dari mimpi buruk puluhan tahun silam. Wajah Cakra menghilang. Buyar. Namun suaranya seolah masih terdengar di telinganya. Di luar buruk, tapi setidaknya kita bisa menghirup udara segar. Dan kini udara luar pun terasa sesak dan mulai berbau busuk. Bagaimana caranya dia bisa menyelamatkan Hastuti tanpa melukai Cakra? Atau sebaliknya, membuat Cakra memihak padanya tanpa harus menyerahkan Hastuti pada Margono. Dia tidak bisa memilih mereka berdua. Cakra tidak tahu apa-apa tentang Hastuti dan demi kebaikan Cakra, lebih baik dia tetap tidak tahu apa-apa. Berapa waktuku? Ketik Zea sebelum menekan tombol send. Berapapun yang kamu ajukan. Kamu tahu perasaanku. Ah, perasaan. Perasaan itu. Perasaan yang tidak seharusnya tumbuh dalam diri Cakra. Karena perasaan itu nyatanya tidak pernah tumbuh dalam diri Zea. Membuat Zea tidak tahu harus bersikap bagaimana, selain menganggap Cakra sebagai kakak yang selalu melindunginya. Zea memahami Cakra. Meskipun dia bilang akan memberikan waktu sebanyak-banyaknya untuk Zea, tapi Cakra tetap anak buah Margono yang memiliki sebuah misi. Setelah Zea menunjukkan tanda-tanda membangkang, maka sesuai aturan, Si Nomor Dua harus melenyapkan Si Nomor Satu.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN