Delapan

1512 Kata
Jakarta .... Aku datang. Bersiaplah terbakar jika tak mau menyerah. Mungkin aku hanya pejuang kecil dengan misi bunuh diri. Tapi seumur hidupku, baru kali ini aku memiliki misi dengan alasan yang jelas. Bukan sekedar perintah yang harus dijalankan. Seharusnya laki-laki itu sedang menikmati malamnya dalam sebuah ruangan kecil dengan penjagaan ketat dan fasilitas yang minim. Seharusnya dia sedang menggores dinding, menghitung hari-hari yang telah dihabiskannya dalam bilik kecil yang dingin. Seharusnya dia juga sedang mengurai tangis dan menyesali semua perbuatan busuknya dan mohon ampun, berjanji tidak akan mengulangi lagi. Seharusnya dia jera. Kapok! Sedih! Dan menundukkan kepala. Bukan seperti saat ini, dikelilingi gadis yang membuat kedua tangannya sibuk. Dan mulutnya tak pernah berhenti mengeluarkan tawa. Hak..Hak..Hak...Hak... Tawa yang mirip suara burung gagak sehabis memakan bangkai. Dengan pandangan jijik, Zea berusaha mendekati Margono. Cukup sulit, mengingat kabar tentang kematian Cakra sudah sampai ke telinga Margono. Hal ini membuat Margono memperketat penjagaan atas dirinya. Sebenarnya, jika dia mau mendekam di balik jeruji besi, jauh lebih sulit bagi Zea mendekatinya. Sayangnya Margono bukan tipe laki-laki yang bisa hidup dalam kesunyian dan tanpa wanita. Dia rela menghabiskan uangnya untuk menyogok petugas penjara dan membiarkannya menikmati udara bebas setiap malam. Lihat saja! Centeng dan polisi korup yang mengelilingi Margono. Badan besar mereka siap menahan serangan yang akan melukai Margono. Zea memundurkan langkahnya. Dia memutuskan kembali ke bar dan memperhitungkan tindakannya lagi. Bukan rasa takut yang membuatnya mundur. Zea sudah memperkirakan semuanya. Empat pengawal di bagian depan bisa dia hadapi sekaligus dengan lemparan pisau dan dua lainnya dengan tangan kosong. Pistol dengan peredam bisa menyelesaikan sisanya. Dan Margono bisa habis dengan satu peluru yang tersisa. Tapi kehadiran seorang pemuda di hadapan Margono membuyarkan perhitungannya. Saksi mata dari karyawan dan pengunjung klub malam sudah cukup banyak dan dia tidak ingin menghabisi mereka semua. Dia butuh orang yang bisa menyebarkan cerita tentang seorang bos besar yang mati di klub malam dengan para pengawal dan polisi bayaran, ketika seharusnya bos besar itu mendekam di penjara. Pemuda yang sedang berbincang dengan Margono tidak bisa dia biarkan hidup. Pemuda itu akan melihat wajahnya dengan jelas. Sedangkan hati nurani Zea mengatakan tidak ingin menambah korban dari pihak yang tak tahu apa-apa. Zea menunggu. Sambil menyesap segelas cocktail perlahan-lahan. Pemuda itu masih berbicara serius dengan Margono. Gelas kedua datang, pemuda itu masih bersikap serius. Margono juga tak kalah seriusnya. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Posisi Zea terlalu jauh dan klub terlalu berisik. Dia mencoba bersabar dan memutuskan menunggu sambil menghabiskan segelas cocktail-nya. Matanya terus mengawasi mereka berdua. Tepat ketika Zea meneguk tetesan terakhir dari gelasnya, mata pemuda itu memandangnya tajam. Sial! Si Nomor Tiga! Bagaimana bisa aku tidak mengenali sosoknya? Zea menerobos kerumunan pengunjung dan pengawal klub yang berjaga di pintu masuk. Teriakan pengawal Margono tak dipedulikannya. Setengah berlari dia mencoba berbaur dengan pejalan kaki yang berada di trotoar depan klub. Dilepaskannya jaket yang dia kenakan dan dengan sekali tarik, dia melepas ikatan rambutnya, berharap penampilannya kini bisa lebih tersamarkan. Zea mencoba melangkah santai, namun kaki-kaki yang mengejarnya semakin jelas terdengar. Sepertinya dia sudah dikenali. Pikirannya bekerja cepat. Tak ada gunanya mencuri kendaraan roda empat di tempat seperti ini. Jalanan macet bukan main. Mengendarai mobil hanya akan membuatnya cepat tertangkap. Dia butuh kendaraan yang bisa melewati antrean mobil dengan lincah dan meninggalkan para pengejarnya dengan cepat. "Minggir!" teriak Zea sambil mendorong seorang pemuda dari atas motor. "Hei! Motor gue!" Pemuda yang tidak terima motornya diambil Zea berusaha mengejar di tengah kemacetan. Dengan lincahnya Zea menaikkan motor 600 cc tersebut ke atas trotoar, membuat beberapa pejalan kaki menjerit. Pemuda pemilik motor masih berusaha mengejar. Sayangnya, kakinya bukan tandingan motornya. Di sebuah area pergudangan, Zea menghentikan motornya. Sambil menghela napas, dia menyandarkan diri di tiang penyangga gudang. Saat ini dia sudah aman. Tapi bisa dipastikan banyak orang yang akan mengejarnya. Anak buah Margono, para polisi korup, dan pemuda yang pasti sudah melaporkan kehilangan motornya. Zea mengeluarkan smartphone dari sakunya dan mengetik beberapa angka pada plat motor. Dia berusaha mencari alamat dan pemilik motor seharga ratusan juta. "Hhmm ... pemiliknya Arjuna. Rumahnya di kawasan elit. Cocoklah! Nggak sembarang orang bisa punya moge kayak gini," gumam Zea. Dia pun menutupi motor Arjuna dengan terpal dan berjalan melenggang keluar area pergudangan yang sudah lama tak berpenghuni. ~o0o~ "Ck! Kupikir kamu tipe cowok manja yang bakal minta dianter supir karena motornya ilang. Ternyata kamu humble juga. Mau juga naik bus kayak gini. Sumpek!" tegur Zea sambil mencoba menjaga keseimbangan dengan berpegangan pada gelang-gelang. Pemuda yang memunggunginya memalingkan wajah. Menelisik penampilan Zea. "Lu! Lu, kan yang semalem ngambil motor gue. Di mana motor gue sekarang? Balikin!" Sikapnya berusaha mengintimidasi Zea. "Relaks, Brother! Ini di dalam bus. Motor kamu pasti aku balikin, kok. Tapi ada syaratnya." Zea berusaha menampilkan senyum manisnya yang ditanggapi dingin oleh Arjuna. "Lu maling tapi masih coba memeras!" "Halte berikutnya kita turun. Kita ngobrol di tempat yang lebih enak. Oke?" "Gue dah laporin lu ke polisi. Gue kagak perlu nurutin permintaan lu!" "Oh, yeah! You should! Karena gue kebal hukum dan kalau lu nggak nurut, motor lu tinggal puing. Terserah lu!" ujar Zea sambil menyenggol bahu Arjuna dan menerobos penumpang bus untuk turun di halte depan. "s**t!" Zea tersenyum mendengar umpatan di belakangnya. Dan dia merasakan tubuh Arjuna melakukan hal yang sama dengan dirinya, turun dari bus. "Well, mari kita berbisnis," kata Zea ketika mereka sudah sampai di sebuah kafe yang cukup nyaman. Sengaja Zea mencari tempat duduk di sudut kafe agar tidak terlalu menarik perhatian. "Ayo duduk!" perintah Zea saat dilihatnya Arjuna masih berdiri mematung memandangi Zea dengan tatapan sebal. "Lu dah maling motor gue. Bikin gue telat masuk kantor. Sekarang nyuruh-nyuruh gue kayak lu itu atasan gue!" "Juna ..., nggak ada yang maksa kamu buat ngikutin aku, kok. Kamu bisa memilih nggak ikut. Dan ..., nggak usah sok rajin, deh! Kamu itu kerja di perusahan bapakmu. Biasanya juga kamu jarang kerja. Kalau hari ini kamu terpaksa kerja, itu karena uangmu sudah habis ditambah motormu hilang. Bahkan untuk pemuda kaya seperti kamu, dompetmu ..., menyedihkan." Zea menunjukkan dompet kulit berwarna cokelat tua dan meletakkannya di meja. Arjuna terlihat kebingungan dan mulai memeriksa tas selempangnya. Dompetnya tidak ada! "Siapa lu sebenarnya?" tanyanya sambil menarik kursi dan duduk di hadapan Zea. "Mau minum apa?" Zea menyodorkan daftar menu alih-alih menjawab pertanyaan Arjuna. "Jangan mengalihkan pembicaraan." Arjuna menepis daftar menu yang disodorkan Zea. "Pesanlah minuman dulu. Aku yang traktir." "Gue masih bisa bayarin minuman gue sendiri." Arjuna mengambil dompet di meja dan meminta air mineral dingin kepada pelayan yang datang. "Ini kunci motormu dan juga alamat tempat motormu berada. Atau bisa berikan nomor ponselmu, biar aku kirimkan lokasinya." "Nggak usah. Gue nggak sembarangan ngasih nomor HP." "Oke. Terserah kamu. Tapi kamu nggak bisa pergi gitu aja, Juna." Zea menatap tajam Arjuna ketika dilihatnya pemuda itu hendak meninggalkannya. "Urusan kita belum selesai." "Urusan gue sama lu dah selesai. Gue bebas pergi sekarang juga!" "Kalau kamu pergi begitu saja, kamu nggak akan dapetin motormu dalam keadaan utuh. Aku udah pasang peledak di motormu. Nih, buktinya kalau nggak percaya." Zea menunjukkan sebuah foto pada layar tabletnya. Foto yang membuat wajah Arjuna mengeras dan dia pun duduk kembali di hadapan Zea. "Lu bakal menyesali perbuatan lu. Gue dah laporin tentang pencurian motor ini ke polisi!" "Kamu pikir mereka peduli? Ada puluhan mungkin ratusan kasus motor hilang setiap harinya. Dan kenapa mereka harus peduli pada hilangnya motormu?" "Karena bokap gue--" "Pengusaha terkenal? Banyak duitnya? Juna, aku sudah bilang kalau aku kebal hukum. Kamu tahu artinya? Tidak ada hukum di negara ini yang bisa menyentuhku. Secara tertulis bahkan keberadaanku tidak ada. Aku alien. Bisa menjadi siapa saja. Bisa menjadi apa saja. Kamu tahu apa sebabnya? Karena orang-orang seperti bapakmu yang membuat keberadaanku hilang. Ya, Juna, sebaiknya kamu duduk dan kita bisa berbicara lebih lanjut. Kecuali kamu tidak peduli pada motormu, maka pembicaraan kita berakhir." Arjuna menuruti perkataan Zea. Rasa penasaran mengalahkan kepeduliannya pada motornya. Dia ingin tahu lebih dalam, siapa Zea sebenarnya. Karena di matanya, Zea berbeda dengan perempuan yang biasa ditemuinya. Zea tidak lembek. Zea kuat, punya pendirian, tidak manja. Zea lebih mirip laki-laki dari perempuan. Mungkin ..., perempuan seperti Zea yang dia perlukan. Perempuan yang bisa mengintimidasi. "Apa mau lu sebenarnya?" "Aku dapat informasi, akan ada pesta mewah dan tertutup di Kepulauan Seribu akhir pekan ini. Kamu harus usahakan supaya kita berdua diundang. Aku harus bisa masuk ke sana secara resmi." "Kenapa nggak lu cari aja sendiri? Kan, lu hebat!" "Tempat pestanya tidak diberitahukan kepada tamu undangan. Mereka akan dikumpulkan di suatu tempat dan dibawa dengan kendaraan tertutup ke sana. Tidak akan ada yang tau di mana tempat pestanya direncanakan. Orang-orang mereka begitu loyal pada atasan." "Mereka? Siapa mereka?" "Juna, kamu pikir, bapakmu bisa jadi konglomerat karena kepiawaiannya? Semua usaha konglomerat di negeri ini bersumber dari satu organisasi. Tanpa bantuan organisasi itu, bisnis bapakmu tidak pernah maju!" "Lu, lu, bohong, kan?" "Bilang sama bapakmu kalau kamu ingin datang ke pesta itu. Kita buktikan di sana." "Bokap gue nggak akan ngasih izin!" "Dia akan usahakan!" "Kenapa?" "Karena untuk pertama kalinya, anaknya yang gay akan bawa pacar cewek. Yaitu: aku! Dia akan berusaha untuk mendapatkan undangannya karena begitu bahagia." "Lu..." "Aku tahu semuanya soal kamu, Juna."©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN