Bab 12

1393 Kata
“Ibu nggak tahu kalau kamu ternyata kenalannya Nayaka,” kata Bu Claudya yang membuat Alinka meringis, tidak tahu harus menanggapi bagaimana. “Apa jangan-jangan kamu sama Nayaka itu pacaran?” Sontak saja Alinka tertawa canggung sambil menggelengkan kepala. “Nggak, Bu. Kami nggak—" “Nggak perlu malu-malu gitu sama Ibu,” potong Bu Claudya sambil terkekeh. “Ibu tuh, kenal banget sama Nayaka. Dia nggak akan repot-repot datang sendiri ke sini hanya untuk ketemu sama orang kalau orang itu nggak penting buat dia.” Alinka hanya tersenyum lebar mendengar ucapan dosen pembimbingnya itu. Memang benar ucapan Bu Claudya, saat ini Alinka adalah orang yang penting bagi Nayaka. Namun, alasannya sangat meleset dari dugaan dosen pembimbing Alinka itu. Bagi Nayaka, Alinka hanya sebuah kesempatan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Mana peduli orang gila satu itu dengan Alinka dalam artian apa pun. Lihat saja kemarin, dengan seenaknya Nayaka menawari Alinka jadi pacar pura-puranya. Mana dengan gampangnya dia bilang ‘saya akan bayar kamu’, memang Nayaka pikir Alinka cewek apaan! “Nayaka juga berpesan sama Ibu buat nggak nyusahin kamu soal skripsi,” kata Bu Claudya dengan riang. “Ibu mana pernah nyusahin kamu, sih? Kamu kan salah satu mahasiswi kesayangan Ibu.” Bu Claudya tersenyum lebar ke arah Alinka. “Iya, Bu. Makasih. Ibu juga dosen kesayangan saya,” balas Alinka sepenuh hati. Saat ini Alinka merasa sedang berada di kendang singa yang jinak. Dan tentu saja Bu Claudya adalah singa jinak itu. Kalau bukan karena Nayaka, Alinka yakin saat ini dirinya pasti sedang mengemis waktu Bu Claudya untuk bimbingan skripsi. Mungkin kapan-kapan Alinka harus berterima kasih kepada Nayaka. Namun, membayangkan harus bertemu lagi dengan pria itu seraya mengucapkan terima kasih terlalu membuat Alinka tertekan. Jadi, Alinka akan mengucapkan terima kasih lewat Tuhan. Alinka yakin Tuhan akan menyampaikan perasaan terima kasihnya ini kepada Nayaka. “Kalau misal Nayaka ke sini lagi buat jemput kamu, bilang sama dia suruh hubungi Ibu. Ibu udah janji buat traktir dia makan siang,” kata Bu Claudya lagi. Alinka kembali tersenyum seraya menganggukkan kepala. Saat ini, semua ucapan Bu Claudya yang berhubungan dengan Nayaka hanya masuk ke telinga kanan Alinka lalu keluar dari telinga kirinya. Jujur, Alinka bosan mendengar ocehan Bu Claudya mengenai Nayaka dan segala macamnya, tapi demi kelancaran skripsinya, Alinka menguatkan diri untuk tetap menyimak dengan ekspresi pura-pura tertarik. Sambil mendengarkan apa pun yang Bu Claudya ceritakan, Alinka melirik ke arah lembar skripsiannya yang terlihat banyak coretan. Walaupun saat ini Bu Claudya sudah jinak, bukan berarti tidak ada lagi revisi. Skripsinya tetap dikoreksi. Dan kebetulan banyak sekali kesalahan di lembar skripsi Alinka. “Besok siang saya nggak ada jadwal mengajar. Kalau mau kamu besok bisa bimbingan,” kata Bu Claudya yang tentu saja membuat Alinka terkejut. Pasalnya, jarang sekali Bu Claudya menawari bimbingan seperti ini. The power of Nayaka memang luar biasa. “Baik, Bu. Terima kasih banyak,” balas Alinka merasa senang. Setelah selesai bimbingan, Alinka memutuskan untuk pergi ke perpustakaan guna merevisi coretan dari Bu Claudya. Alinka harus segera menyelesaikan revision skripsinya hari ini agar dirinya bisa bimbingan besok siang. Sungguh, Alinka merasa sedang mendapat rejeki nomplok. Ketika Alinka tengah sibuk menatap layar laptopnya, tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Segera Alinka mengambil ponselnya itu dan mengecek notifikasi yang masuk. “Ada email,” gumam Alinka seraya beralih ke laptopnya. Ia berniat untuk membuka email itu di laptop agar lebih mudah membacanya. Helaan napas panjang sontak keluar dari mulutnya ketika membaca nama pengirim email yang baru saja masuk. “Nayaka Tamawijaya Anda mau apa lagi?” tanya Alinka mengamati email dengan subjek Dating Agreement itu. “Saya kan sudah menolak tawaran Anda, Buapak!” kata Alinka gemas sambil mengepalkan tangan dengan gerakkan hendak memukul layar laptopnya. Alinka menarik napas dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Ia mengulanginya beberapa kali untuk meredakan emosinya. Tenang, Alinka harus tenang. “Oke,” katanya menganggukkan kepala. “Anggap gue nggak nerima email dari Nayaka.” Mengabaikan email itu, Alinka kembali menyibukkan diri dengan skripsinya. Lalu, mendadak saja Alinka ingat tentang bimbingan skripsinya hari ini yang sangat lancar seperti naik pesawat dengan cuaca cerah. “Ya udah,” ucap Alinka dengan helaan napas panjang. “Sebagai bentuk terima kasih gue atas status kenalan Nayaka, akan gue baca email ini.” Alinka mengklik email dari Nayaka itu lalu membaca tulisan di badan email. Selamat siang Alinka, Saya Nayaka Tamawijaya. Berhubung kamu belum mendengar semua tawaran dari saya, jadi saya memutuskan untuk mengirim email ini dan berharap kamu dapat membacanya. Berikut saya lampirkan lembar dokumen tawaran yang saya maksud beserta benefit yang bisa kamu dapatkan. Mohon untuk dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum menolaknya. Terima kasih. Salam, Nayaka Tamawijaya. Alinka geleng-geleng kepala membaca paragraph pembukaan dari Nayaka itu. “Formal amat, sih,” gumamnya. “Dia kira gue partner kerjanya apa.” Belum sempat Alinka membuka dokumen yang dikirimkan oleh Nayaka, ponsel Alinka tiba-tiba bergetar. Sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenalnya muncul di layar ponsel. Alinka mengambil ponselnya lalu dengan hati-hati ia menjawab panggilan dari nomor asing itu. “Halo?” sapa Alinka agak berbisik, mengingat saat ini dirinya berada di perpustakaan. “Halo, Alinka. Apa kamu sudah membaca email dari saya?” Pernyataan itu sontak membuat Alinka mengernyitkan dahi. Alinka tidak salah dengar kan? Apa jangan-jangan yang berada di seberang panggilan adalah …. “Saya Nayaka,” kata suara berat itu lagi. “Sehari nggak usah gangguin saya apa nggak bisa?” tanya Alinka merasa sebal. “Saya nggak gangguin,” kata Nayaka santai. “Saya hanya menanyakan apa kamu sudah membaca email dari saya? Takutnya kan email yang saya kirim masuk ke spam.” “Nggak ada email masuk tuh,” balas Alinka berbohong. “Di spam juga nggak ada.” “Oke, kalau begitu akan saya jelaskan lewat telepon,” kata Nayaka. “Jadi, kamu hanya perlu berpura-pura menjadi kekasih saya selama yang saya butuhkan. Mungkin hanya beberapa bulan saja. Kamu hanya perlu hadir di acara-acara tertentu yang mengaharuskan saya datang bersama pasangan. Selebihnya kamu bisa bebas melakukan kegiatanmu sehari-hari. Kamu hanya perlu ada ketika saya butuh kamu.” Sontak saja Alinka berdecak seraya memutar bola mata dengan bosan mendengar penuturan Nayaka itu. “Sebagai gantinya, kamu akan saya bayar. Kamu boleh sebutkan harga yang kamu mau. Berapa pun akan—" “Anda terdengar sedang merendahkan saya,” potong Alinka merasa tersinggung. “Apa?” balas Nayaka terdengar kaget. “Saya tidak sedang merendahkan kamu. Malah, saya sedang menghargai kamu dengan nilai yang bisa kamu tentukan sendiri.” “Anda nggak bisa membeli saya dengan uang,” kata Alinka. “Saya tidak sedang membeli kamu. Saya sedang menawarkan kerja sama.” “Dengan menawarkan uang kepada saya. Itu sama saja kayak Anda sedang membeli saya.” “Jadi, kamu mau bantuin saya secara cuma-cuma?” tanya Nayaka. “Oke. Seperti itu pun saya nggak masalah.” “Nggak. Saya nggak pernah bilang mau bantuin Anda secara cuma-cuma,” timpal Alinka cepat-cepat sebelum Nayaka salah paham. “Lalu?” “Tidak ada lalu,” kata Alinka lagi sedikit memelankan suaranya karena saat ini ada beberapa orang yang tengah menoleh ke arahnya. Jangan sampai Alinka diusir dari perpustakaan. “Saya tidak bersedia membantu Anda gratis ataupun dibayar dengan uang Anda yang sangat banyak itu.” “Nggak harus uang, Alinka. Barang pun akan saya berikan kalau kamu bersedia membantu saya. Atau, kamu mau tiket liburan ke luar negeri, barang branded seperti tas atau sepatu, mobil pun tidak masalah. Apa pun, Alinka,” jelasnya dengan nada angkuh seolah Nayaka dapat memberi semua yang ada di dunia ini untuk Alinka. “Pikirkan lagi baik-baik sebelum menolaknya untuk kesekian kalinya. Kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali.” “Kalau nggak salah hitung, kesempatan yang Anda tawarkan datang berkali-kali,” balas Alinka menyindir Nayaka karena pria itu sudah menawarinya kesempatan ini berulang-ulang kali. Alinka jadi ragu kalau Nayaka itu bisa berhitung. “Benar,” kata Nayaka seoalah sadar dengan perbuatannya. “Mungkin lebih tepatnya tidak akan datang lagi. Jadi, silakan pikirkan lagi. Saya tunggu kabar dari kamu.” “Saya menolaknya lagi,” ucap Alinka dengan tegas. “Kamu bilang apa? Suara kamu putus-putus,” sahut Nayaka pura-pura tidak mendengar ucapan Alinka itu. “Kalau begitu, kabari saya segera. Selamat siang.” Setelah mengatakan itu Nayaka langsung memutuskan sambungan telepon mereka. Alinka mengamati ponselnya dengan ekspresi heran. “Ini orang gila batu amat,” gumamnya seraya geleng-geleng kepala. “Mana nggak tahu malu lagi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN