Bab 4

1161 Kata
Alinka mengelap meja yang saat ini dipenuhi noda saos dan kopi. Jika noda itu tidak segera dilap, pasti nantinya akan jadi lebih susah hilang. “Permisi,” seru suara dari arah sampingnya. Alinka menoleh dan mendapati segerombol anak sekolah tengah duduk di meja bernomor 17 yang ada di samping kanannya. Alinka tersenyum ramah seraya mengampiri meja tersebut. “Selamat sore, Kak. Ada yang bisa dibantu?” tanya Alinka. “Mau pesan, Kak.” “Baik, Kak. Sebentar ya, saya ambilkan buku menunya.” Kemudian Alinka berjalan meninggalkan meja itu untuk pergi ke meja kasir, di mana buku menu dan catatan pesanan berada. Setelah itu, ia mengambil benda-benda itu dan membawanya ke meja bernomor 17 tadi. “Silakan, Kak,” kata Alinka meletakkan dua buah buku menu ke atas meja. “Mau pesan sekarang atau nanti?” “Biar kami catat sendiri boleh?” tanya seorang cewek berambut sebahu. “Boleh. Ini, Kak,” kata Alinka menyerahkan kertas serta pen kepada cewek tersebut. “Nanti kalau sudah silakan panggil saya atau pelayan yang lain, ya. Terima kasih.” “Iya, Kak. Makasih.” “Sama-sama,” balas Alinka. Setelah itu Alinka berjalan ke arah meja nomor 7 yang baru saja ditinggalkan pelanggannya. Ia segera membersihkan meja itu dan membawa piring dan gelas ke belakang agar segera dicuci. “Lo hari ini sampai jam berapa?” tanya Berta, salah satu pelayan yang bekerja di bagian kasir, kepada Alinka. “Nanti malam nonton, yuk?” “Nggak bisa. Harus segera pulang gue,” jawabnya. “Ah, jagain Oma?” Alinka tersenyum lalu mengangguk. “Iya. Jagain Oma,” katanya. “Baiklah. Jadilah cucu yang berbakti buat Oma temen lo.” “Iya,” balas Alinka. “Kali aja gue kecipratan warisannya nanti ya,” candanya sambil tersenyum lebar. “Wah iya juga, ya. Jangan lupain gue ya,” ucap Berta menepuk pundak Alinka dengan dramatis. “Alinka, dicariin,” seru Halim, salah satu pelayan di kafe ini juga. “Oke,” balas Alinka seraya keluar dari area dapur. Alinka berjalan menghampiri menghampiri meja nomor 17 di mana segerombol anak sekolah tadi berada. Ia menanyakan apakah mereka sudah selesai menulis pesanan mereka. Namun, ternyata mereka sudah memberikan catatan pesanan ke pelayan yang lain. Alinka pikir segerombolan anak sekolah ini yang mencarinya, tapi tampaknya bukan. Lalu, di meja ujung samping jendela besar, Alinka melihat seorang pria yang mengenakan jas tengah mengangkat tangan kanannya. Posisinya yang membelakangi Alinka tidak memungkinkan bagi Alinka melihat wajah pria itu. Rasanya agak aneh melihat orang kantoran mampir ke kafe yang biasanya ramai oleh anak sekolahan dan anak kuliahan. Sebelum menghampiri pria itu, Alinka terlebih dahulu mengambil buku menu serta kertas untuk mencatat pesanan. Setelahnya, Alinka berjalan menghampiri pria itu. “Selamat sore, silakan,” kata Alinka seraya meletakkan buku menu ke atas meja. Pria yang berada di depannya itu mulai mengangkat kepala. Tatapan mereka pun bertemu. Sontak saja Alinka membelalakkan mata karena terkejut. Alinka tidak menyangka akan bertemu dengan pria gila semalam. Ya, benar. Alinka tidak salah lihat. Pria di hadapannya ini adalah pria yang sama yang sudah menciumnya secara tiba-tiba. “Sepertinya kamu ingat dengan saya,” kata pria itu. Suara berat itu membuat Alinka bergidik ngeri. “Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Alinka panik. “Apa Anda sedang membuntuti saya? Jangan-jangan Anda seorang penguntit? Dasar pria m***m!” Pria itu menghela napas dalam, tampak malas meladeni omelan galak Alinka. Lalu, sebelah tangan pria itu merogoh sesuatu di saku bagian dalam jasnya. “Ini,” kata pria itu menyerahkan sebuah kartu nama kepada Alinka. Alinka hanya mengamati kartu nama yang masih terulur ke arahnya tanpa berniat mengambilnya. “Silakan ambil. Kamu akan tahu siapa saya,” kata pria itu lagi. Diam-diam Alinka membaca nama yang tertera pada kartu yang disodorkan kepadanya. Nayaka Tamawijaya, gumamnya dalam hati. Alinka merasa asing dengan nama itu. “Saya tetap nggak kenal,” balas Alinka skeptis. “Kalau Anda tidak berniat memesan sesuatu, sebaiknya Anda pergi dari sini,” lanjutnya menatap pria bernama Nayaka itu dengan ekspresi wajah menahan kesal. Nayaka kembali menghela napas dalam. Pria itu kemudian melirik buku menu yang berada di meja dengan malas. “Black coffee,” katanya singkat. “Baik. Mohon ditunggu. Terima kasih,” ucap Alinka buru-buru mengambil buku menu kemudian berjalan cepat ke arah dapur. Setelah menyampaikan pesanan Nayaka ke Marni, pelayan yang bertugas di dapur, Alinka langsung berlari ke arah loker. Ia mengambil ponselnya yang berada di sana lalu mengetikkan pesan untuk Tamara. Tam, lo nggak akan percaya. Gue ketemu lagi sama orang gila semalam! Kirim. Setelah mengirimkan pesan itu kepada Tamara, Alinka segera mengantongi ponselnya dan ke dapur. Dari dapur, ia mencoba mengintip ke arah Nayaka yang ternyata masih berada di tempatanya. Pria itu tampak sedang menyesap kopi pesanannya yang sudah diantar. “Orang itu nyeremin banget,” gerutu Alinka bersembunyi di balik tembok dengan kepala menyembul di samping pintu dan tatapan masih mengarah pada Nayaka. “Lo kenal?” tanya Berta yang membuat Alinka terlonjak kaget. “Lo ngagetin lo!” sembur Alinka menoleh ke arah temannya itu. “Pria tampan itu siapa? Lo kenal?” tanya Berta lagi. Alinka menggelengkan kepala. “Nggak kenal lah. Mana mungkin gue kenal sama pria tampan kayak gitu,” katanya sewot. “Kali aja. Kan lo tinggal di rumah orang kaya. Terus, temen lo si Tamara juga kaya. Kali aja kan kenalan dia pria-pria tampan yang kaya raya, kayak pria itu.” “Ngaco. Mana ada kayak gitu,” balas Alinka. “Tuh, ada yang mau bayar,” lanjutnya ketika melihat seorang pemuda berdiri di depan kasir. “Ah iya,” ucap Berta buru-buru pergi ke meja kasir. Alinka kembali menatap ke arah Nayaka berada. Tiba-tiba saja Nayaka menoleh ke arah Alinka. Tatapan mereka kembali bertemu yang membuat Alinka tiba-tiba panik sendiri. Ia tidak suka ketahuan mengamati pria m***m itu. Pria itu menunjuk ke arah meja di depannya sebelum akhirnya bangkit berdiri lalu berjalan pergi meninggalkan kafe. “Memangnya dia udah bayar?” gumam Alinka seraya berjalan keluar dari tempat persembunyiannya. “Awas aja kabur tanpa bayar pesanannya!” Alinka buru-buru menghampiri meja kosong, tempat di mana tadi Nayaka berada. Di atas meja itu kini ada selembar uang seratus ribu yang beserta secarik kertas yang membuat Alinka mengernyitkan dahi. Saya punya tawaran menarik buat kamu. Hubungi saya segera. Oh ya, kembaliannya buat kamu. Itu tips dari saya. “Tawaran menarik?” gumam Alinka melirik ke arah kartu nama yang berada di bawah kertas itu. “Nayaka Tamawijaya. Ceo,” katanya membaca kartu nama yang berada di tangannya. Alinka mendengus. “Pantas aja seenaknya sendiri. Berasa kaya dan ganteng, sih. Dasar!” omelnya seraya meremas kartu nama milik Nayaka lalu membuangnya ke dalam cangkir kopi bekas Nayaka. “Gue paling benci orang sok kayak gini.” Alinka benar-benar tidak berminat dengan tawaran apa pun yang Nayaka tawarkan. Malahan, kalau bisa, Alinka tidak mau bertemu dan berurusan dengan Nayaka lagi. “Dasar orang gila m***m!” gerutu Alinka seraya membersihkan meja di mana tadi Nayaka berada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN