Bab 14

1425 Kata
Nayaka memarkir mobilnya di halaman depan rumah orang tuanya. Di samping mobilnya terparkir sebuah mobil BMW yang Nayaka tahu adalah milik adiknya, Nayana. Jadi, Nayana sudah sampai di rumah orang tua mereka. Nayaka yakin, Naraya pun mungkin juga sudah duduk manis di meja makan. Dengan enggan Nayaka turun dari mobil dan langsung berjalan menaiki tangga teras depan rumahnya. Sebelum Nayaka sempat membuka pintu ganda ruang tamu, Nayaka melihat pintu itu terbuka. Wajah mamanya yang tengah tersenyum lebar menyambut kehadiran Nayaka. “Kamu ini, masih tinggal di satu kota tapi jarang banget mampir ke sini,” kata Adya, mama Nayaka. “Nayaka kan sibuk, Ma,” balas Nayaka seraya memeluk mamanya singkat. “Masak sibuk terus-terusan? Kamu kan juga harus luangin waktu buat main ke sini, ketemu sama mama.” Nayaka melepaskan pelukannya lalu tersenyum ke arah mamanya. “Iya, Mama. Besok-besok akan Nayaka luangkan waktu buat main ke sini ketemu Mama,” ucapnya menenangkan hati mamanya. “Nah gitu dong,” kata mamanya tampak senang. “Ya udah, ayo masuk. Udah pada nungguin di ruang makan. Ada Anjana juga.” “Anjana juga diundang? Nayaka pikir hanya akan makan malam keluarga, papa, mama, Kak Naraya, Nayana sama Nayaka.” “Anjana kan juga keluarga.” Nayaka menggelengkan kepala. “Sepupu,” katanya. Adya mengaitkan lengannya ke lengan putranya. “Itu juga namanya keluarga,” ucapnya membimbing Nayaka untuk pergi ke ruang makan. Bahkan sebelum sampai di ruang makan Nayaka sudah mendengar obrolan dan kekehan yang Nayaka duga berasal dari adik dan juga sepupunya. Nayaka sama sekali tidak mendengar suara kakak laki-lakinya yang memang irit omong itu. “Akhirnya yang punya pacar baru datang!” seru Nayana seraya menunjuk Nayaka ketika pria itu memasuki ruang makan. “Pacar baru?” tanya Anjana tampak bingung. Sepupu Nayaka itu saat ini duduk di samping kiri Naraya. “Lo putus dari yang kemarin lo kasih surprise?” “Kamu ngasih surprise siapa? Rosalia?” tanya Mamanya menoleh ke arah Nayaka dengan ekspresi bingung. “Hubungan kalian sudah serius?” Papanya pun, Arawan, ikut bertanya. Nayaka menarik napas dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Belum juga pantatnya menyentuh kursi, pertanyaan demi pertanyaan sudah berhamburan di sekitarnya. Memang makan malam kali ini bukan sekadar makan malam biasa. “Nayaka lapar, Ma,” kata Nayaka kepada mamanya. “Ah, iya ayo duduk. Kita makan,” ucap Mamanya mempersilakan Nayaka duduk. Awalnya Nayaka berniat untuk duduk di samping kanan Naraya yang tampaknya tidak akan banyak omong ataupun tanya-tanya. Nayaka akan merasa agak damai jika duduk di samping kakak laki-lakinya itu. Namun, tiba-tiba saja Nayana menarik tangan Nayaka dan memaksanya untuk duduk di kursi sampingnya yang kosong ketika Nayaka lewat di belakang kursi Nayana. Tanpa bisa menolak, akhirnya Nayaka menurut dan duduk di sana. “Kenapa cewek baru lo nggak diajak, sih? Gue kan penasaran,” kata Nayana menoleh ke arah Nayaka. “Kami semua penasaran.” Nayana menunjuk semua orang di meja makan. Nayaka melirik kakaknya yang tampak damai meminum minuman kaleng. Naraya tampak tak peduli dengan kebisingan di sekitarnya. “Kayaknya yang penasaran lo doang,” balas Nayaka melirik sebal ke arah Nayana. “Gue juga penasaran,” sahut Anjana mengangkat tangannya. “Pacar baru lo itu beda dengan orang yang kemarin itu lo kasih surprise?” “Itu pacar baru Kak Nayaka, a***y,” kata Nayana. “Nama gue Anjana, Yanto!” balas Anjana. “Yanto pala lo! Enak aja ganti nama gue. Gue bilangin bokap gue lo,” timpal Nayana. Papa dan mama Nayaka terkekeh pelan melihat pertengkaran kecil di antara Anjana dan Nayana. Naraya sendiri hanya melirik Nayana dan Anjana tanpa ekspresi. “Lo balik sini kapan? Nggak ngabarin?” tanya Nayaka kepada kakaknya. “Tadi pagi,” jawab Naraya. “Gue ngabarin papa.” “Gue adik lo, kabarin kek kalau pulang.” “Oke, lain kali,” balas Naraya enteng. “By the way, lo beneran putus sama Rosalia?” “Kenapa lo jadi ikutan Nayana nanyain hal begituan, sih?” tanya Nayaka heran sendiri. Naraya mengangkat kedua bahunya. “Penasaran. Kalau iya kan, mungkin gue harus ucapin selamat.” “Rosalia nggak buruk-buruk amat,” kata Nayaka mendadak merasa tidak suka jika Naraya ataupun keluarganya yang lain tidak menganggap Rosalia. “Apanya nggak buruk-buruk amat! Dia tuh, buruk banget! Lo udah berapa kali diabaikan sama tuh wanita? Lo udah berapa kali ngemis cinta ke dia?” omel Nayana tampak kesal. “Hubungan asmara gue nggak ada urusannya sama lo,” kata Nayaka memandang Nayana sinis. “Adalah! Gue adik lo, gue nggak suka lo diperlakukan kayak gitu.” “Udah-udah, jangan berantem,” tegur papanya. “Ayo makan, nggak usah bahas sesuatu yang bikin suasana nggak nyaman.” “Iya, jangan berantem. Mama jadi sedih kalau lihat kalian berantem kayak gini.” “Nggak berantem kok, Ma,” kata Nayaka dan Nayana bersamaan. Sontak keduanya saling lirik karena perkataan mereka yang sama. “Ya udah kalau gitu ayo makan,” ucap mamanya. “Ini tadi mama yang masak semuanya.” “Mama sendiri?” tanya Naraya mengambil satu potong ayam bakar bagian paha. “Dibantu sama Mbok,” jawab mamanya. Naraya mengangguk mengerti. “Yang masak Mbok.” “Mama yang masak,” kata mamanya. Naraya tersenyum kecil. “Iya, Mama yang masak,” ucapnya entah kenapa terdengar menyebalkan. *** Setelah selesai makan malam yang sangat jauh dari kata damai, Nayaka langsung pergi ke taman belakang. Tak lama kemudian kakaknya datang menghampiri dan duduk di sampingnya sambil membawa es krim di tangannya. Nayaka sudah mengira jika makan malam kali ini akan penuh cecaran tentang hubungannya dengan Rosalia. Meskipun sudah tahu, tapi tetap saja rasanya tidak nyaman ketika mendengarnya secara langsung. “Lo beneran putus sama Rosalia?” tanya Naraya seraya menyendok es krim ke dalam mulutnya. Nayaka tampak terkejut dengan pertanyaan kakaknya itu. “Lo beneran penasaran dengan hal itu?” Naraya mengangguk. “Iya. Lo putus sama Rosalia, lalu jadian sama perempuan muda yang gue nggak tahu namanya?” “Hah?” balas Nayaka mengernyitkan dahi bingung. Naraya merogoh ponselnya di saku jaketnya. Lalu pria itu menunjukkan sebuah foto kepada Nayaka. “Ini,” katanya singkat. Nayaka mengenali foto itu. Itu adalah foto Alinka ketika salah masuk ruangan dulu. “Dari mana lo dapat foto itu?” “Dari adik lo,” jawab Naraya singkat. “Dia adik lo juga tahu.” “Sayangnya iya,” kata Naraya menganggukkan kepala seraya menoleh ke arah jendela yang menampilkan ruang keluarga. Di sana ada Mamanya, Nayana serta Anjana. Tak lama kemudian papanya bergabung dengan mereka bertiga sambil membawa sebuah kamera analog. “Keluarga kita memang seramai ini? Berisik?” tanyanya lagi dengan tatapan masih mengarah pada ruang keluarga. “Lo doang yang sepi,” jawab Nayaka. “Orang-orang ngira lo bisu.” Naraya menoleh ke arah Nayaka dengan kernyitan di dahi. “Nggak ada yang ngira gue bisu.” “Ada,” jawab Nayaka menyebalkan. Naraya menganggukkan kepala. “Oke,” jawabnya tak ambil pusing. “Jadi, perempuan di ponsel ini siapa?” tanyanya lagi. Nayaka menarik napas dalam lalu mengembuskannya segera. Saatnya Nayaka berbohong. “Alinka,” katanya. “Cewek gue yang baru. Dia masih kuliah. Lagi skripsi. Oh, dosen pembimbingnya itu mantan lo.” “Mantan gue siapa?” “Emangnya mantan lo ada berapa?” Naraya mengangkat kedua bahunya. “I don’t know. Mungkin tiga,” katanya. “Dari ketiga orang itu yang jadi dosen siapa?” “Mana gue tahu,” balas Naraya terdengar menyebalkan di telinga Nayaka. Nayaka kembali menarik napas dalam. “Kak Claudya,” katanya dengan embuskan napas panjang. “Ah, gue punya mantan namanya Claudya.” “Pantas aja lo jomblo, nyebelin gini. Gue yakin nggak ada cewek yang sanggup deket sama lo.” “Nggak masalah,” jawab Naraya tak acuh. “Yang penting gue nggak harus ngemis-ngemis cinta sama wanita yang gue nggak yakin juga suka sama gue,” tambahnya menyindir Nayaka. “Gue nggak pernah ngemis cinta ke Rosalia,” ucap Nayaka dengan tegas. Naraya menganggukkan kepala. “Oke,” jawabnya tampak sekali tidak mempercayai ucapan Nayaka. “Lagian hubungan kami sudah berakhir,” kata Nayaka lagi. “Bagus.” “Gue udah punya cewek baru.” “Wish you all the best, little brother,” kata Naraya menepuk pundak Nayaka dengan ekspresi datarnya yang memang sangat menyebalkan. Nayaka menatap Naraya dengan ekspresi putus asa. “Gue punya kakak menyebalkan, adik gue pun menyebalkan,” gerutunya. Naraya kembali memakan es krim rasa cokelatnya. “Kedua adik gue menyebalkan, Nayaka,” katanya enteng. Nayaka geleng-geleng kepala. Ia benar-benar tidak sanggup berhadapan dengan kakaknya ini. Naraya membuatnya capek sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN