Bab 15

1801 Kata
“Tolong revisi warna birunya, ini terlalu terang, terlalu mencolok. Buat agak soft tapi bukan yang pudar gitu,” kata Nayaka menatap lembar kertas di tangannya yang berisi desain kardus yang nantinya akan membungkus botol parfum. “Warna lainnya dibikin senada.” “Baik, Pak. Nanti akan kami revisi.” Nayaka melirik ke arah jam di pergelangan tangannya yang saat ini sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore. “Oke, nanti hasil revisinya bisa diserahkan langsung ke Farhan ya,” katanya menunjuk ke arah sekretarisnya yang duduk di samping. “Kalau begitu saya sudahi meeting kali ini. Selamat sore dan terima kasih.” Nayaka bangkit dari posisi duduknya lalu keluar dari ruangan. Farhan mengikuti di belakangnya. “Pak, katanya sample parfumnya sudah dikirim ke ruangan Bapak,” kata Farhan seraya menatap tablet di tangannya. “Oke,” jawab Nayaka mengangguk mengerti. “Habis ini apa ada meeting lagi?” “Tidak ada, Pak. Tapi masih ada beberapa dokumen yang harus Bapak tinjau dan juga tandatangani,” kata Farhan. “Oke,” kata Nayaka lagi. Mereka berdua berjalan memasuki lift lalu naik ke lantai sepuluh di mana ruangan Nayaka berada. Ketika melewati lobi di lantai tersebut, Nayaka melihat seorang perempuan yang tengah duduk sambil menatap sepatu kets berwarna putih dipadu warna pink. Perempuan itu mengenakan topi warna soft pink yang mengingatkan Nayaka akan seseorang. “Ada apa, Pak?” tanya Farhan yang ikut berhenti di samping Nayaka. “Kayak kenal,” gumam Nayaka masih mengamati perempuan itu. Tiba-tiba saja perempuan itu mengangkat kepalanya sambil menghela napas dalam. Lalu, dia menoleh ke arah Nayaka. Sontak saja perempuan itu bangkit berdiri sambil melambaikan tangan ke arah Nayaka. “Ini saya,” kata perempuan itu tanpa suara sambil menunjuk dirinya sendiri. “Bukankah itu Nona Alinka Evans, Pak?” tanya Farhan pelan kepada Nayaka. Nayaka menganggukkan kepala. Ia masih mengamati perempuan itu dengan tatapan heran dan tak percaya. “Iya. Itu Alinka.” “Bapak ada janji temu dengan Nona Alinka?” “Sepertinya begitu,” balas Nayaka sambil memberi sinyal dengan tangannya agar Alinka mendekat ke arahnya. “Kamu duluan aja, Farhan,” katanya kepada sekretarisnya. “Baik, Pak. Saya permisi,” ucap Farhan undur diri. Alinka berjalan mendekat ke arah Nayaka dengan cengiran lebar. Mendadak saja Nayaka merasa curiga dengan gerak-gerik Alinka yang tampak ganjil. “Halo, Pak Nayaka,” sapa Alinka ketika sudah berada di depan Nayaka. Sebelah alis Nayaka naik. “Kenapa tiba-tiba kamu ada di sini?” tanyanya kepada Alinka. “Katanya suruh kasih kabar segera,” jawab Alinka santai. Nayaka menelengkan kepalanya. “Kamu nggak akan repot-repot ke sini hanya untuk menolak tawaran saya. Jadi, akhirnya kamu menerima tawaran saya?” katanya dengan seulas senyum di bibirnya. “Saya repot-repot ke sini karena Anda nggak angkat panggilan dari saya,” ucap Alinka. “Lagian belum tentu juga saya akan menerima tawaran dari Anda. Semuanya tergantung Anda.” “Ponsel saya dalam mode hening. Tadi saya habis rapat,” kata Nayaka. “Maksud kamu tergantung saya bagaimana?” “Tergantung apakah Anda akan menyetujui permintaan saya atau tidak.” “Oke, sebaiknya kita bahas hal ini di ruangan saya. Ayo,” ajak Nayaka seraya berjalan mendahului Alinka. Alinka mengekor di belakang Nayaka seraya mengamati sekitar. Dilihatnya kubikel-kubikel yang sepanjang jalan menuju ruangan Nayaka. Tampak orang-orang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka di balik kubikel-kubikel itu. Namun, beberapa di antara mereka yang saat ini terlihat penasaran dengan sosok Alinka yang tiba-tiba ada di sini. Pakaian yang dikenakan Alinka agaknya terlalu santai jika dipakai ke kantor, yaitu celana jins biru muda dan kemeja garis warna pink dan putih. Hal inilah yang membuat sosok Alinka tampak mencolok. “By the way, dapat salam dari Bu Claudya,” kata Alinka yang berada di belakang Nayaka. Nayaka melirik sekilas ke arah Alinka dari balik bahunya. “Kamu hari ini bimbingan skripsi?” Alinka mengangguk di belakang Nayaka. “Iya,” jawabnya. “Berkat Anda, sih.” Ucapan Alinka itu membuat Nayaka berhenti untuk menatap ke arah Alinka. “Berkat saya?” “Karena saya adalah kenalan Anda, Bu Claudya jadi baik banget sama saya sampai nawarin sendiri mau bimbingan hari apa. Untuk itu, saya ucapkan terima kasih banyak, Pak,” kata Alinka yang membuatnya cukup malu. Mengucapkan terima kasih kepada Nayaka sama artinya mengakui jika peran Nayaka itu cukup penting bagi kelangsungan skripsinya. Dan hal ini bukanlah hal yang mudah untuk dikatakan. “Akhirnya kamu tahu kan sehebat apa saya,” kata Nayaka menyombongkan diri. Alinka yang mendengarnya hanya bisa memutar bola mata bosan. Ia mengingatkan diri untuk tidak lagi-lagi memuji Nayaka. Bisa tambah besar kepalanya nanti. “Ayo masuk,” kata Nayaka lagi yang saat ini sudah membuka pintu ruangannya dan menahan pintu itu untuk Alinka. Alinka berjalan memasuki ruangan Nayaka yang tampak sangat luas. Jendela besar mengelilingi ruangan tersebut, menampilkan pemandangan gedung-gedung tinggi di sekitar gedung ini. Meja kerja Nayaka berada di tengah-tengah ruangan. Beberapa rak buku dan lemari berderet di dekat meja Nayaka. Di sisi kanan terdapat beberapa sofa yang membentuk huruf U dengan meja kaca di tengahnya. “Silakan duduk,” kata Nayaka menunjuk arah sofa. Alinka mengangguk lalu mengambil duduk di sofa terdekatnya. Nayaka sendiri duduk di sofa yang berada di seberang Alinka. “Jadi, kamu punya permintaan apa?” tanya Nayaka memulai. “Saya akan setuju dengan tawaran yang Anda berikan asalkan Anda mau mengabulkan daftar keinginan saya.” “Daftar keinginan apa?” “Tunggu,” kata Alinka seraya membuka tas punggungnya lalu mengeluarkan jurnal miliknya. “Saya punya bucket list yang akan sulit untuk saya wujudkan tanpa bantuan Anda.” Alinka membuka halaman di mana ia menulis bucket list di halamannya. Kemudian Alinka meletakkan jurnal itu ke atas meja. “Boleh saya lihat?” tanya Nayaka. Alinka menganggukkan kepala. “Silakan. Memang saya ingin menunjukkannya kepada Anda.” Nayaka mengambil jurnal milik Alinka itu lalu membaca deretan tulisan di dalam halaman yang terbuka. Sebelum benar-benar membaca daftar keinginan Alinka, Nayaka mengamati gambar-gambar yang tersebar di halaman itu. Ada pola bintang, bulan, love dan beberapa gambar menghiasi lembar halaman tersebut. Entah mengapa jurnal itu seperti milik gadis remaja tujuh belas tahun. “Sekadar mewarnai rambut apa perlu bantuan saya?” tanya Nayaka membaca salah satu daftar keinginan Alinka. “Atau jangan-jangan kamu pengen saya yang mewarnai rambut kamu? Saya nggak bisa. Lebih baik ke salon aja. Saya bayarin.” “Kalau itu, saya hanya nggak sempat aja, Pak. Maksud saya, daftar keinginan yang lain. Yang lebih sulit untuk saya capai.” Alinka menunjuk jurnalnya, mengisyaratkan Nayaka untuk membaca bagian lain dari list tersebut. “Guling-guling di salju?” “Salah satunya,” balas Alinka. “Saya juga pengen datang ke konser Taylor Swift. Terus saya juga pengen jalan-jalan ke kebun bunga, yang entah ada di mana. Saya rasa Bapak tahu kebun bunga yang bagus ada di mana. Kemudian saya juga pengen cobain varian rasa baru di kedai storbak kalau mereka kolab sama artis luar entah siapa. Biasanya kalau kolab gini sering kehabisan, mungkin dengan the power of Nayaka, kali aja saya bisa kebagian. Selain itu, pengen nonton di bioskop sendirian, biar sepi nggak ada orang berisik. Nggak mungkin saya nyewa bioskop karena saya kan tidak sekaya Anda. Saya juga pengen pergi ke rooftop gedung yang tinggi buat lihat langit penuh bintang. Itu pasti indah banget. Kemudian saya—” “Kalau uang aja gimana?” tanya Nayaka memotong ucapan Alinka. Bagi Nayaka daftar keinginan Alinka terlalu merepotkannya. Nayaka mana punya waktu untuk melakukan semua itu untuk Alinka. Alinka menggelengkan kepala. “Uang bisa saya cari, Pak,” katanya. “Saya butuh sesuatu yang nggak bisa saya peroleh sendiri. Jadi, bagaimana?” “Kalau jadi BA produk saya aja gimana?” Nayaka kembali bernegosiasi. “Saya maunya list itu,” kata Alinka menunjuk jurnal yang masih berada di tangan Nayaka. “Tidak boleh ditawar.” Nayaka menghela napas dalam seraya mengamati list panjang milik Alinka. Bagaimana caranya Nayaka mengabulkan semua permintaan Alinka ini? Lebih mudah bagi Nayaka untuk memberi Alinka uang, dan terserah Alinka mau apakan uang itu daripada mengabulkan permintaan Alinka di list ini. “Kenapa kamu pengen foto sama monyet, sih?” tanya Nayaka dengan bingung membaca salah satu list milik Alinka. “Namanya juga pengen.” “Ke kebun binatang sendiri kan bisa.” Nayaka menatap Alinka dengan kernyitan di dahi. “Nggak perlu minta bantuan saya.” “Nggak ada temennya nggak seru,” kata Alinka. “Selain itu kan saya sibuk kerja, Pak. Saya juga nggak ada duit.” Nayaka menghela napas dalam. “Bagaimana kalau saya kabulkan tiga hal dari daftar keinginan kamu? Lihat salju, ke kebun bunga, sama lihat bintang?” “Kalau begitu saya akan menjadi pacar pura-pura Anda dalam tiga kali kesempatan saja.” Alinka tersenyum lebar Nayaka menatap Alinka dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana bisa malah Alinka yang membuat tawaran seperti ini? Tampaknya harga diri Nayaka sudah benar-benar jatuh di depan Alinka. Tiba-tiba saja pintu ruangan Nayaka terbuka. Seorang pria bertubuh tinggi tegap berjalan masuk ke dalam ruangan dengan santai. Kedatangan pria itu membuat Nayaka kaget hingga membuatnya secara otomatis bangkit dari duduk. “Kak Naraya,” sapa Nayaka dengan nada terkejut. “Ada apa ke sini? Nyari gue? Atau ada kerjaan di sini?” Benar. Pria yang baru saja masuk ke dalam ruangan Nayaka adalah Naraya, kakak Nayaka. “Hanya mampir,” jawab Naraya seraya melirik Alinka yang saat ini juga tengah menatap ke arah Naraya. Ekspresi yang ditampilkan Naraya saat ini seolah dia tahu siapa perempuan yang berada di depan Nayaka. Hal ini membuat Nayaka kembali panik. Gawat! Padahal kan Nayaka belum selesai negosiasi dengan Alinka. “Alinka,” kata Nayaka memberi Alinka isyarat untuk bangkit dari posisi duduknya. “Kenalin ini Kak Naraya, kakakku,” tambah Nayaka. “Ah,” balas Alinka yang saat ini sudah dalam posisi berdiri. Badannya secara otomatis menghadap ke arah Naraya. “Halo,” sapa Alinka dengan sopan. “Benar, dia yang ada di foto,” ucap Naraya mengabaikan sapaan Alinka. Pria itu saat ini sedang mengamati Alinka dari atas ke bawah dengan tatapan menilai. “Iya, ini cewek gue,” kata Nayaka berjalan mengelilingi meja untuk berdiri di samping Alinka. Tangan Nayaka kini sudah memeluk pinggang Alinka dengan kikuk. “Dia habis pulang kuliah terus mampir ke sini.” “Nggak nanya,” balas Naraya singkat tak acuh. “Iya memang lo nggak nanya, tapi gue tahu kalau lo penasaran. Makanya gue kasih lo informasi itu,” sahut Nayaka terdengar sebal. Naraya mengangkat kedua bahunya. “Ya udah, gue balik,” ucapnya melambaikan tangan singkat kepada Nayaka. “Oke, bye.” Nayaka balas melambai dengan ekspresi capek. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Naraya berjalan keluar dari ruangan Nayaka. Setelah kepergian Naraya, Alinka buru-buru melepaskan tangan Nayaka dari pinggangnya lalu menjauhkan diri dari Nayaka. “Nggak boleh pegang-pegang sembarangan, Pak!” sembur Alinka segera. “Sori,” kata Nayaka tidak benar-benar merasa bersalah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN