2. Li Bai Memohon

1118 Kata
Udara kota Guangzhou semakin dingin setelah diguyur hujan lebat seharian. Kota yang minim polusi itu memiliki jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak dan sekitar 3 juta saja. Li Mei, yang sudah siap dengan seragam merah muda untuk siswi di sekolah Qinteng dan biru laut untuk laki-laki. "Sarapan dulu. Biar nanti di sekolah jadi semangat belajarnya. Kakak udah siap? Apa masih tidur?" tanya Lien Hua pada Xiao Mei yang mengolesi roti dengan selai stroberi pilihannya. "Iya ma? Aku siap. Dingin banget ya airnya? Apalagi kemarin hujan terus," Li Mei duduk bergabung dengan Xiao Mei. Adiknya itu selalu bangun lebih awal karena lapar ingin makan. Dasar tukang makan memang, kebiasaan Xiao Mei. "Kakak juga kenapa hujan-hujanan? Kalau sakit? Mau minum obat pahit?" tanya Xiao Mei jahil, kakak-nya itu sangat enggan dengan obat pahit tentunya sangat susah jika disuruh meminumnya. "Menunggu Li Bai," jawab Li Mei malas dan tidak berminat, wajahnya berubah datar. Sampai nafsu makannya mendadak hilang jika nama Li Bai disebutkan lagi. Xiao Mei menahan tawanya. "Kakak, jangan terlalu berharap dengan Li Bai. Dia itu hanya mempermainkan perasaan kakak. Fokus saja kak dengan sekolah dan belajar, seperti aku yang selalu bahagia dan emm-" ucapan Xiao Mei terhenti karena Li Mei menyuapinya roti hingga mulut sang adik penuh dengan pipi chubby-nya. "Makan saja itu cinta roti rasa stroberi," Li Mei kesal, adiknya itu selalu mengutamakan belajar dan menyuruhnya berhenti berpacaran di sekolah. Lien Hua hanya menggeleng melihat tingkah kedua anak perempuannya yang selalu asik dan ramai di rumah. Berbeda jika semuanya sudah pergi dengan kesibukan masing-masing rumah menjadi sepi. Jiazen keluar dari kamarnya, sedikit lama karena mencari jas kantornya yang terselip diantara bajunya di lemari. Lien Hua memang suka menaruhnya sembarangan tanpa perlu dipisahkan. "Ayah!" pekik Xiao Mei ceria. Jiazen adalah sosok ayah yang baik, suka menghibur semuanya dan tidak pernah menunjukkan lelah dan sedihnya. Xiao Mei sangat beruntung mempunyai ayah seperti Jiazen. "Selamat pagi. Ramai sekali ya, sampai suaranya terdengar di kamar ayah," Jiazen duduk berdampingan dengan Lien Hua. "Kamu semakin cantik saja. Apalagi bangun tidur, lepas saja kacamatamu. Jadi aku bisa melihat istri cantik ini sepuasnya," tangan Jiazen melepaskan kacamata Lien Hua istrinya, memiliki rabun sudah lama dan tidak bisa disembuhkan. Namun Jiazen tak mempermasalahkannya, menerima Lien Hua dengan segenap hatinya. Lien Hua salah tingkah, kedua pipinya bersemu merah. "Kamu bisa saja merayuku. Jangan di depan anak-anak," ujarnya sedikit tidak suka, Jiazen selalu romantis di depan kedua anaknya. Jiazen mengangguk. "Baiklah ratuku." Selesai sarapan, Jiazen mengantarkan kedua anaknya ke sekolah dengan mobilnya. Xiao Mei dan Li Mei memakai seragam yang berbeda, Xiao Mei menggunakan pakaian bebas atau lebih tepatnya baju biasa. Xiao Mei menyukai hal memasak, untuk otaknya tidak terlalu cerdas ke dalam akademik berbeda dengan Li Mei. Selama menyetir, Jiazen memikirkan suatu hal membuatnya tidak tenang. Tentang hutangnya yang belum bisa terlunasi. 'Semoga saja keluarga Chen tidak menuntutku,' batin Jiazen gelisah. Selain memikirkan hutang, juga masa depan kedua anaknya yang ia takutkan terkena imbasnya. Li Mei berpamitan pada Jiazen dan Xiao Mei, sudah sampai di sekolahnya. "Kakak jangan berpacaran lagi dengan Li Bai. Aku sudah muak melihatnya, terlalu pandai memasang topengnya untuk menipu kakak," ujar Xiao Mei sebelum pergi, kakak-nya itu hanya mengangguk patuh apa yang dikatakan olehnya. Xiao Mei kesal. Tidak ada respon. "Awas saja ya kau kak, aku ambil boneka padamu nanti," ancamnya. Li Mei menggeleng heran, untuk apa dengan ancaman adiknya itu? Xiao Mei terkadang melupakannya. Saat langkahnya memasuki halaman luas Qinteng, tangannya ditarik oleh seseorang. Li Mei terkejut saat menyadari orang itu adalah Li Bai. "Aku ingin berbicara denganmu Li Mei. Kumohon, beri aku waktu sebentar ya?" wajah Li Bai yang memelas itu membuat hati kecil Li Mei iba dan tidak tega. Li Mei mengangguk. "Ok, tapi waktumu tidak banyak." Akhirnya Li Bai di berikan kesempatan. "Sebenarnya Ling Ling itu adalah sepupuku. Kamu jangan salah paham dulu. Kenapa dengan mudahnya kamu mengatakan putus kemarin?" Li Mei berdecak kesal. "Karena yang aku pikirkan Ling Ling itu selingkuhan gelapmu. Hatiku sakit Li Bai, adikku sendiri yang bilang kalau kamu punya pacar baru di sekolah. Benar kan? Adikku tidak mungkin berbohong," Li Mei sangat percaya pada Xiao Mei, adiknya selalu jujur. Begitulah yang selalu Jiazen ajarkan agar selama hidup dengan sifat jujur jauh lebih tentram daripada menutupinya dengan kebohongan. Li Bai terdiam. Ini salahnya sendiri karena tidak pernah mengenalkan Ling Ling sebelumnya. Jadi wajar saja kesalahpahaman ini terjadi. "Aku mau kita kembali," pungkas Li Bai cepat, keputusan terakhirnya hanyalah ingin kembali lagi dengan Li Mei, gadis pujaan hatinya yang sudah membuatnya jatuh cinta pertama kalinya. Li Mei tersenyum remeh. "Apa katamu? Kembali?" Karena keduanya mengobrol di gerbang Qinteng, siswa-siswi yang melihatnya ikut penasaran. Terutama Li Mei, gadis populer yang di kenal baik dengan prestasi keunggulan nya. Li Bai menyadari sekitarnya yang mulai memperhatikan obrolannya dengan Li Mei. "Kamu jangan terlalu keras mengatakannya. Bisa kau kecilkan sedikit suaramu? Mereka melihat kita," Li Bai merasa tidak nyaman diperhatikan, terutama tatapan sinis yang diberikan murid Qinteng seolah menunjukkan kebencian pada dirinya. "Biarkan saja mereka tau bagaimana sikap burukmu itu," Li Mei berlalu pergi, sudah cukup sampai disini ia berurusan dengan Li Bai selebihnya akan menjauhi mantan kekasihnya itu. *** Di kelas unggulan 12 A. Dengan langkah lesunya Li Mei berjalan menuju tempat duduknya. Xia Er yang melihat itu heran. "Kau ini kenapa? Pagi-pagi sudah kehilangan semangat." Chu Yinyin mengangguk. "Biasanya juga menyapa dan tersenyum secerah bunga matahari. Tapi wajahmu diselimuti mendung yang akan turun hujan," lalu ChuYinyin melanjutkan memakan keripik singkongnya. Hobi makan adalah kesukaannya, tapi yang membuat semua orang heran Chu Yinyin memilih Qinteng daripada Nanfang dengan alasan tidak masuk akal, ingin belajar bukan makan tapi hobinya tetap makan. Membingungkan. Li Mei menjadikan tasnya sebagai bantal. Kepalanya menghadap Xia Er dan Chu Yinyin yang duduk di sebelahnya. Terpisah memang, semuanya satu bangku tidak ada yang berpasangan karena Qinteng menerapkan peraturan kemandirian dalam mengerjakan tugas. Sudah semestinya karena semuanya berprestasi. "Aku putus dengan Li Bai," dengan lesunya Li Mei mengatakan itu, semuanya tidak luput dari teman sekelasnya yang ikut mendengarkan. Terlihat semuanya menoleh ke arahnya. "Kau putus dengan Li Bai?!" "Bagus!" "Seharusnya begitu. Karena tidak ada persahabatan Qinteng dengan Nanfang, Li Mei." Sahutan dari teman-temannya itu membuat Li Mei tau, memang inilah resikonya. "Pasti Li Bai menangis darah dan berlutut memohon padamu kan?" tanya Xia Er memicingkan matanya. Chu Yinyin mencubit lengan Xia Er. "Tidak mungkin! Apakah ada laki-laki seperti itu?" tanya Chu Yinyin kesal. Xia Er tersenyum kikuk. "Itu menurut khayalanku saja," jawabnya ragu-ragu takut terkena amarah besar dari Chu Yinyin. "Sudahlah, lebih baik single daripada berurusan dengan cinta yang bisa membuat sakit hati. Seperti aku, selalu makan dan menyenangkan," ujar Chu Yinyin bangga, sangat ceria di setiap harinya. Seisi kelas hanya tertawa melihatnya. Chu Yinyin tidak pernah menunjukkan kesedihannya, gadis itu pandai mengulas senyuman bulan sabitnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN