14

1358 Kata
Pagi-pagi sekali sebelum ke rumah sakit, Arga datang ke apartemen Aref setelah dihubungi oleh pria itu bahwa semalam Vanilla melukai dirinya sendiri. Arga duduk di tepi ranjang, menatap Vanilla yang tidur dengan damainya. Perempuan rapuh yang selalu mencoba terlihat kuat. Tangan Arga terulur membelai lembut pipi Vanilla sembari mendengar deruan napas Vanilla yang teratur begitu menenangkan. Perempuan ini lah yang telah berhasil masuk ke hati Arga dan enggan beranjak pergi, Arga mencintai segala yang ada pada diri Vanilla. Perlahan mata itu terbuka dan orang pertama yang dilihatnya adalah Arga, refleks Vanilla langsung mengganti posisinya menjadi duduk. "Ada apa?" tanya Vanilla dengan nada tak suka melihat wajah Arga. Arga tersenyum tipis, lalu membelai rambut Vanilla dan perempuan itu berusaha menepisnya. "Aku ke sini karena kangen kamu, kamu tahu 'kan kalau rindu itu berat?" ujar Arga dengan kekehan pelan. Vanilla membuang wajahnya dan tangan Arga meraih wajah Vanilla agar menatapnya. "Aku minta maaf ya sayang, kalau ada salah sama kamu." Arga menatap lembut wajah Vanilla. "Meskipun dunia menolak, aku hanya ingin kamu. Jadi, jangan cemburu lagi tentang Kristal." "Siapa yang cemburu?" "Susah banget ya bilang 'iya, aku cemburu, Mas Arga'...," Vanilla tetap mempertahankan egonya. "Gak ya gak!" Arga menghela napas pelan kemudian ia memegang tangan Vanilla yang terluka, lalu menciumnya. "Jangan sakiti diri kamu lagi, kamu gak sendiri. Ada aku dan Aref yang selalu sayang sama kamu." Vanilla tertegun mendengar ucapan Arga. Setetes air mata yang turun dari pelupuk matanya langsung ia tepis, Arga menarik Vanilla ke dalam pelukannya seraya membelai lembut rambutnya. "Jangan peluk, aku belum mandi." "Iler kamu aja wangi vanila kok." Vanilla tertawa pelan mendengar gombalan Arga yang garing. "Aku senang kamu ketawa," ujar Arga. Arga melepaskan pelukannya dan menatap mata Vanilla. "Aku moodbooster kamu ya?" "Dikit." "Mau ikut aku kerja gak? Sekali-kali ikut calon suami kerja gak masalah 'kan?" Bohong kalau Vanilla bilang tidak baper diperlakukan seperti ini oleh Arga, dia tetap perempuan yang mudah terbang ke atas angin jika dibaperi terus-terusan. "Ih bosan nanti." "Nggak sayang, nanti aku ada operasi jam 10. Sambil tunggu aku selesai bisa ngobrol sama perawat di sana atau duduk di ruangan aku. Asal gak tebar pesona ke dokter lain aja." "Tapi kalau lebih ganteng dari dokter Arga gak masalah." Arga mencubit pipi Vanilla. "Gak boleh, Vanilla hanya milik dokter Arga." Vanilla tertawa kemudian ia turun dari tempat tidurnya. "Ya udah aku mandi dulu ya." Vanilla masuk ke kamar mandi yang ada di kamarnya ini dan Arga langsung ke ruang tamu menemui Aref yang sudah rapi. "Mau berangkat kerja?" Aref mengangguk. "Iya, Vanilla mana?" "Lagi mandi." "Yaudah gue berangkat dulu, jagain Vanilla." Arga mengacungkan jempolnya dan Aref keluar apartemen. *** Vanilla masih di sini duduk di ruangannya Arga, ia malas bertemu perawat-perawat, lebih baik ia duduk manis di ruangan Arga sambil memandangi wajah tampan Arga di akun i********: miliknya. Vanilla terkadang heran dengam Arga. Dia tampan, kaya dan seorang dokter tetapi justru memilih perempuan 18 tahun yang mempunyai keluarga berantakan. Apalagi Vanilla hanya lulusan SMA. Seharusnya Arga bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari Vanilla, Kristal misalnya. Ini anugerah atau musibah? Tak lama kemudian muncul seorang perempuan yang tak asing, perempuan itu tersenyum ke arah Vanilla. "Hai, Vanilla," sapa Kristal. Ternyata dia juga seorang dokter. Kristal menarik kursi yang ada di situ kemudian duduk di samping Vanilla. "Kamu gak usah takut Vanilla, aku itu bukan pelakor, aku sahabatnya Arga dan tentu kita juga bisa menjadi seorang sahabat, bukan?" Vanilla masih bergeming, dia tidak tahu harus menanggapi seperti apa. "Kamu beruntung mendapatkan hati pria sebaik Arga, jangan sia-siakan dia." "Aku yakin Kak Kristal juga cinta sama Arga." Tebakan Vanilla tepat sasaran. Kristal terkekeh pelan. "Iya, tapi bukan berarti aku berambisi mendapatkannya, apalagi pilihannya adalah kamu." Vanilla menatap mata Kristal, tidak ada kebohongan yang dia dapatkan dari sana. "Aku dan Arga sudah bersahabat sejak lama, dan aku gak ingin menghancurkan persahabatan kami hanya karena ambisiku. Jadi, tenang aja." Kristal mengulurkan tangannya. "Salam kenal, kita bisa berteman, bukan?" Vanilla menatap tangan itu dan sedetik kemudian ia membalas uluran tangan itu seraya mengangguk. "Tentu." Kristal tidak seburuk yang Vanilla pikir. "Kak Kristal kerja di sini?" Pertanyaaan yang bodoh sebenarnya, sudah jelas-jelas pakaian yang dikenakan Kristal lengkap dengan stetoskop yang menggantung di lehernya, sudah menjelaskan semuanya. "Iya, sejak kecil aku dan Arga mempunyai cita-cita yang sama yaitu jadi dokter, tapi aku gak sampai spesialis cuma dokter umum. Gak mudah ambil spesialis." Vanilla menjadi pendengar yang baik. "Aku sebelumnya kerja di LA terus pas balik, Arga rekomendasi buat lamar di sini dan ternyata diterima." "Sekarang lagi free?" "Iya, abis visit ke ruangan pasien tadi langsung kesini, soalnya di-chat sama Arga suruh temani kamu." Kristal melirik jam di pergelangan tangan kirimnya. "Aku masih ada pasien, mau lihat dulu keadaannya. Aku keluar ya." Kristal berdiri lalu berkata, "semangat Vanilla, jangan pikirkan tentang orangtua Arga. Sekarang tugas kamu meyakinkan mereka kalau kamu pantas menjadi pendamping Arga." Tanpa menunggu respon dari Vanilla, Kristal langsung keluar dari ruangan. *** Selesai kerja Arga mengajak Vanilla quality time berdua, Arga membawa Vanilla ke puncak untuk menyaksikan sunset yang indah dengan angin sepoi-sepoi yang menerpa tubuh mereka. Di sinilah mereka duduk di atas rumput liar yang tumbuh di sekitar puncak ini, kepala Vanilla bersandar ke pundak Arga seraya menatap langit senja yang sebentar lagi akan menampakkan sunset yang indah. Matahari terbenam yang tampak indah. Keduanya menampilkan senyuman bahagia seraya menatap sunset tersebut. "Terima kasih," ujar Vanilla dengan kepalanya masih nyaman bersandar ke pundak-able itu. Arga mengacak gemas rambut Vanilla. "Gak perlu berterima kasih karena tugasku adalah membahagiakanmu." "Aku bukan cewek yang baik, tentu kamu tahu gimana masa laluku, gimana latar belakang keluargaku, dan juga psikis-ku yang bisa buruk kapan aja." Arga mengangkat kepala Vanilla dan menatap Vanilla-nya itu dengan penuh kasih sayang. "Kita saling melengkapi sayang, aku jatuh cinta pada kekurangan dan kelebihanmu." Vanilla tersenyum tipis. "Kamu sempurna." "Aku gak sempurna, tapi kehadiranmu menyempurnakan hidupku," Arga mencium kening Vanilla, menyalurkan seluruh cinta yang dimiliki untuknya. Vanilla menenggelamkan wajahnya ke d**a Arga, d**a yang menjadi kesukaanya. "d**a-able," Vanilla terkekeh. "Ralat, suami-able," Vanilla meralat ucapannya. Mereka saling berpelukan, saling memberikan kehangatan dan kenyamanan atas perasaan yang mereka miliki. Setelah itu mereka beranjak dari tempat itu, turun dari puncak karena cuaca semakin dingin. Arga ingin menebus kesalahannya yang gagal kencan dengan Vanilla pada saat itu. Sekarang Arga sudah menyusun strategi untuk mengajak Vanilla ke suatu tempat. Vanilla mengedarkan pandangannya ke segala arah, kafe ini sepi padahal kafe yang bernuansa romantis dan seperti di desain khusus agar terlihat menarik. Tak lama kemudian datang pelayan yang membawakan mereka makanan dengan berbagai menu yang lezat. "Kok sepi?" "Malam ini kafenya khusus untuk kita." "Kok bisa?" "Kafe ini milik Alvaro, sahabatku. Dia punya cabang kafe di beberapa kota dan salah satu di Bogor ini." "Kamu booking?" Arga mengangguk. "Untuk mengganti makan malam kita yang tertunda waktu." Arga menggenggam tangan Vanilla. "Maaf ya kalau gak romantis." "Ini udah lebih dari cukup, makasih ya." "I love you." Sepersekian detik Arga menunggu jawaban Vanilla. "Jawab dong." "Pasti udah tahu jawabannya." "Maunya dengar langsung." Vanilla mengerucutkan bibirnya kemudian ia berkata, "i love you too." Tangan Arga terulur mengacak rambut Vanilla, setelah itu ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Terlihatlah sebuah kotak beludru merah yang menampilkan cincin yang indah. Jangan bilang Arga mau lamar gue. Mama Vanilla baper. "Will you marry me?" Nikah? Secepat ini dia lamar gue? Astaga. "Vanilla, jawabannya?" Vanilla masih bergeming. Arga meletakkan kotak itu di atas meja, kemudian dia bangkit dan mengambil gitar yang sudah disiapkan. Ia mulai memetik gitarnya dan bernyanyi di hadapan Vanilla. Dengarkanlah wanita pujaanku Malam ini akan kusampaikan Hasrat suci kepadamu dewiku Dengarkanlah kesungguhan ini Aku ingin, mempersuntingmu Tuk yang pertama dan terakhir Jangan kau tolak dan buatku hancur Ku tak akan mengulang tuk meminta Satu keyakinan hatiku ini Akulah yang terbaik untukmu Vanilla langsung berdiri dan menatap Arga. "Yes, i will." Arga tersenyum bahagia lalu ia mengambil cincin tersebut dan dia sematkam di jari manis Vanilla, setelah itu mereka berpelukan. "Mine," bisik Arga. Ini adalah harapan setiap perempuan di dunia ini, dilamar oleh sang pujaan hati. Meski tidak romantis tapi cukup membahagiakan. Sekarang mungkin mereka bisa tertawa lepas, saling memeluk erat dan menikmati waktu yang ada, tetapi kita tidak bisa menebak takdir seperti apa yang terjadi ke depannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN