13

1194 Kata
Setelah dari apartemen Aref. Arga dan Kristal langsung pulang karena tiba-tiba Lita menghubungi Arga. Kristal masih tinggal di rumah orangtua Arga. Setelah mengantar Kristal sebenarnya Arga ingin langsung pulang ke apartemennya tapi karena Lita yang meminta jadi dia tidak bisa menolak. Saat sampai di rumah, Arga dan Kristal melihat Lita dan Wisnu sedang mengobrol di ruang tv. Arga ikut bergabung. "Ada apa, Ma?" Kristal duduk di sebelah Arga. Lita langsung mengecilkan volume televisi dan segera menatap Arga. "Besok kalian siap-siap fitting baju." Arga membulatkan matanya, begitupun juga Kristal. "Fitting baju?" Arga mengulangi perkataan Mamanya. "Iya, Ga. Sebentar lagi kalian akan menikah." Arga menghembuskan napasnya kasar. "Arga gak akan menikah dengan Kristal!" Wisnu ikut bersuara. "Umur kamu sudah matang untuk berkeluarga, kamu sudah mapan. Lalu apa lagi yang kamu tunggu? Lagipula Kristal adalah perempuan yang baik untuk kamu." "Yang tahu perempuan yang terbaik buat aku itu bukan Mama dan Papa tapi aku sendiri!" Tegas Arga. "Dan kamu tahu, Ga. Mama sendiri yang minta Kristal untuk balik ke Indonesia agar menikah denganmu." Lita menjeda ucapannya. "Asal kamu tahu Mama dan Mamanya Kristal sudah menjodohkan kalian sejak kecil." Arga menatap Kristal. "Apa kamu tahu tentang ini?" Kristal mengangguk. "Tante Lita meminta aku pulang karena hal itu, aku tahu. Awalnya aku mau karena aku gak tahu kalau kamu udah punya pacar. Tapi setelah aku tahu kamu udah punya Vanilla, maka aku menolak." Arga beruntung mendapatkan sahabat seperti Kristal, dia tidak mengambil kesempatan dalam situasi ini padahal Arga tahu bagaimana perasaan Kristal. "Arga tidak akan menikah dengan Vanilla!" tegas Wisnu. "Aku cinta Vanilla," ujar Arga. Wisnu menatap Arga tajam. "Menikah bukan hanya menyatukan kamu dan Vanilla tapi juga menyatukan dua keluarga, Papa tahu betul bagaimana latar belakang keluarga itu!" Dia melanjutkan ucapannya. "Andra bukan pria yang baik, ia bisa melakukan apa saja dalam hal bisnis asal dia bisa mendapatkan apa yang dia mau, apalagi dia itu menikah dengan remaja saat itu dan akhirnya keluarganya berantakan!" "Kenapa kamu harus mencari perempuan yang keluarganya berantakan? sementara di samping kamu ada perempuan dari keluarga baik-baik." Lita ikut berkomentar. Arga mengacak rambutnya frustasi. "Pa, Ma. Meskipun Vanilla anak dari Andra tapi dia gak tinggal dengan Papanya, dia tinggal dengan Abangnya." "Mau dia tinggal dengan siapapun, dia tetap anaknya Andra dan Papa tidak akan pernah setuju!" Setelah hanya mendengarkan, akhirnya Kristal ikut berbicara. "Maaf Om, Tante. Kristal juga gak akan pernah mau menikah dengan pria yang mencintai perempuan lain. Kristal jujur, dari dulu memang mencintai Arga tapi aku gak bisa bersama Arga kalau hati dia untuk perempuan lain dan kalau dia menolak pernikahan ini maka Kristal juga menolak." "Arga itu juga cinta sama kamu, cuma dia gak sadar aja. Dulu waktu kamu pindah ke LA, Arga sangat terpukul dan galau berhari-hari," ujar Lita. "Tapi setelah aku bertemu dengan Vanilla, rasa itu menguap entah ke mana!" Arga bangkit dari tempat duduknya, langsung naik ke lantai dua ingin bertemu dengan Agas karena dari dulu Agaslah yang menjadi teman curhat Arga. Dulu mereka sangat akrab, ketika tumbuh dewasa keakraban itu sedikit berkurang karena kesibukan masing-masing, apalagi mereka yang sudah tidak tinggal bersama. Arga merebahkan badannya di kasur empuk milik Agas, adiknya itu sedang mengerjakan sesuatu di meja belajarnya. "Lagi kerjain tugas?" tanya Arga. Agas mengangguk. "Iya, power point buat presentasi besok," balasnya tanpa mengalihkan matanya dari laptop. "Gas, menurut kamu Vanilla itu seperti apa? Kalian 'kan udah kenal lama daripada aku sama dia!" Agas mengalihkan pandangannya dan menatap Arga, kemudian berbaring di samping Arga."Vanilla itu dulu bad girl, tapi aku salut sama Kak Arga, dia udah banyak berubah semenjak kalian pacaran." "Kamu gak marah kalau aku sama Vanilla suatu saat nanti menikah?" "Mungkin aku gak akan sanggup datang ke pernikahan kalian." Arga langsung membelalakkan matanya. "Canda! Bohong kalau aku bilang udah move on, sampai sekarang aku masih belum melupakan Vanilla." Agas menghembuskan napasnya. "Tapi aku sadar selama kami pacaran, aku terlalu memprioritaskan pelajaran daripada pacar aku sendiri." Arga menatap ke langit-langit kamar. "Mama sama Papa gak setuju hubungan aku sama Vanilla." Agas menatap Arga. "Kalau Kak Arga benar cinta sama Vanilla, yakinkan Mama dan Papa kalau Vanilla adalah yang terbaik. Jangan patah semangat, cinta itu harus diperjuangkan!" "Kamu gak mau berjuang?" Agas menggeleng. "Aku bisa merasakan hidup Vanilla lebih berwarna semenjak sama Kak Arga." *** Vanila sedari tadi menangis tanpa suara di kamar seorang diri, dia benci dirinya yang seperti ini. Dulu dia paling benci menangis, sekarang air matanya menetes tanpa diperintah. Banyak kesakitan yang dia rasakan dalam hidup ini, rasanya untuk bernapaspun Vanilla tak sanggup. Dia rasa hidupnya tidak ada artinya lagi, Andra tidak pernah peduli terhadapnya, Tania sudah bunuh diri serta Arga, pria yang meyakinkan Vanilla bahwa cinta sejati itu nyata, kini telah mematahkan keyakinan itu. Vanilla menyeka air matanya dengan kasar kemudian turun dari kasurnya lalu ke dapur untuk meraih benda yang bisa menyakiti dirinya sendiri. Setelah menemukan apa yang dia cari, Vanilla tersenyum kemudian mengarahkan benda itu ke tangannya, tentu saja dengan menghindari nadi. Goresan demi goresan melukai tangannya, dia meringis kesakitan. Dia senang melakukan itu karena ini bisa sedikit meringankan bebannya. Rasa sakit hatinya tergantikan oleh rasa sakit goresan pisau tersebut. Aref yang hendak ke dapur untuk mengambil air minum terkejut melihat adiknya yang seperti itu. Aref langsung merampas benda itu dan membuangnya ke sembarang arah. Tangan Vanilla kini sudah berlumuran darah. Jarinya belum sembuh, kini dia sudah melukai tangannya sendiri. Aref menuntun adiknya duduk di meja makan setelah itu ia mengambil P3K, dulu Aref adalah anak pramuka jadi tahu bagaimana cara mengobati luka karena anak pramuka harus bisa mengobati dirinya sendiri atau temannya yang terluka ketika berada di hutan atau gunung. Saat Aref membersihkan lukanya dengan alkohol, Vanilla meringis kesakitan. Setelah itu ia menetesi obat merah dan ditutupi dengan kain kasa. "Kamu mau coba bunuh diri?" Vanilla menggeleng. "Lalu apa?" "Kalau aku mau bunuh diri, udah dari tadi aku gores ke nadi. Cuma self-injury." Mata Aref langsung melotot mendengar ucapan sang adik. Ia paham apa itu self-injury. Tindakan yang dilakukan tidak dengan tujuan bunuh diri tetapi sebagai suatu cara untuk melampiaskan emosi-emosi yang terlalu menyakitkan untuk diekspresikan dengan kata-kata. Dan ini hal ini termasuk gangguan psikologi. "Astaga, Dek. Kenapa kamu lemah seperti ini? Kamu jangan melukai diri kamu sendiri, Abang mohon." Aref menghela naps sejenak. "Dek, kita ke psikolog ya." "Gue gak gila! Gue cuma pengin bahagia. Gue cuma pengin punya keluarga yang utuh, kisah cinta yang indah seperti remaja kebanyakan. Umur gue 18 tahun tapi kenapa hidup gue semenderita ini?" ujar Vanilla dengan emosi. Vanilla mengeluarkan semua emosi yang terpendam. "Gue cuma pengin bahagia, gue lelah terlihat baik-baik saja padahal hati gue menangis!" Aref menatap adiknya. "Dek, gak ada masalah yang gak bisa diselesaikan. Mama bunuh diri itu udah pilihannya, Papa seperti itu udah jalan yang ia pilih. Tugas kita sekarang adalah bagaimana caranya agar kita bangkit dari keterpurukan. Life must go on." Aref memeluk adiknya. "Abang gak mau kamu kayak tadi lagi, apapun alasannya. Jangan terus meratapi kesedihan." Aref sama halnya dengan Vanilla, dia juga terluka atas kehancuran keluarganya tapi tidak boleh terlihat sedih, dia harus bisa menjadi sandaran Vanilla, lagipula pria jauh lebih tegar daripada perempuan. Aref melepaskan pelukannya kemudian mencium kening adiknya. "Ayo ke kamar, Abang temani kamu tidur." Vanilla tidak menjawab tapi dia mengikuti langkah Aref.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN