7. Sudah Punya Pacar?

963 Kata
Selepas kepergian May, aku masih terpaku sofa, menatap paperbag pemberian May yang tergelatak di atas meja. Kuraih paperbag itu dan mengintip isinya, ternyata suplemen penyubur. Aku menghela napas panjang. Ya, setidaknya May memiliki sedikit rasa perhatian. Setelah negosiasi dengan sedikit perdebatan, akhirnya May mengizinkan aku untuk bekerja. Tentu saja tidak lepas dari syarat, kalau dalam waktu cepat aku hamil, aku harus resign dari kantor dan kalau sudah tiga bulan aku tidak hamil juga, aku juga harus resign. Karena katanya stress dan kelelahan bisa menghambat penyuburan. Aku bangkit dan berjalan masuk ke dalam kamar. Sejenak aku merebahkan diri di ranjang, melepas pikiran dari perdebatanku dengan May. Setelah lelah melewati hari pertama kerja, aku malah harus berhadapan dengan May yang keras kepala. Cukup menguras habis tenagaku sebetulnya. Mataku terpejam, selaras dengan deru napas berat yang perlahan aku hembuskan. Dan tanpa sadar, di detik-detik selanjutnya aku terlelap. Aku terbangun dengan setelan kerja yang masih melekat di badanku, bahkan aku belum sempat bersih-bersih dan menghapus make-up di wajah. Kulirik jam di pergelangan tangan, ternyata sudah jam 5 pagi. Sambil meringis aku menegakan badan, efek jarang olahraga badanku jadi mudah rentan. Dengan langkah berat aku berjalan masuk ke dalam toilet, sejenak aku merendam. Masih banyak waktu sebelum jam kerja di mulai, jadi aku bisa sedikit bersantai sambil berpikir menu sarapan apa yang enak untuk aku makan pagi ini. Meski salad dan beberapa menu sarapan lain sudah terbayang-bayang di kepalaku, nyatanya kemalasan tidak bisa aku lawan. Alhasil oatmeal yang simple ku bikin dan aku makan dengan cepat. Tepatnya jam tujuh pagi mobilku keluar dari basement apartement. Lalu lintas ibu kota tanpa kemacetan adalah suatu hal yang mustahil terjadi. Kulirik ponsel yang baru saja bergetar, ada satu pesan masuk dari Khafi. Khafi: Dimana, Ra? Gue sama Kale mau meeting sama vendor lain. Lo bisa datang cepet nggak? Aku meringis. Sudah setengah jam lebih mobilku terjebak dikemacetan. Sepertinya besok aku harus berangkat lebih pagi lagi. Savira: Aku harus ikut ya, Kaf? Khafi: Ya kalau mau dikantor aja juga gakpapa sih. Savira: Kayaknya aku masih lama Kaf, ini macetnya parah banget:( Khafi: Oh yaudah. Gue sama Kale aja yang berangkat. Semoga Khafi mengerti dengan keadaanku. Karena aku bukan Presiden atau Pejabat penting di negeri ini yang bisa membuat mobil-mobil berjejer itu menyingkir untuk memberiku jalan. * * * "Savira," Aku spontan mendongak, menatap Pak Seno yang memanggilku. Beliau adalah atasan disini. "Iya, Pak?" "Proposal mengajuannya udah dikirim belum?" tanyanya menatapku serius. Pembawaan Pak Seno memang tegas dan kelihatannya lumayan galak. "Ini baru mau dikirim, Pak," jawabku cepat. "Hold on. Tunggu Kale datang. Biar dia cek dulu sebelum dikirim." Aku mengangguk dan segera duduk. Aku paham Pak Seno sedikit khawatir kalau aku membuat kesalahan, karena aku masih pegawai baru. Kesalahan sedikit saja diproposal yang aku kirim, maka kami akan gugur ditahap selanjutnya. Suara langkah kaki membuatku spontan mendongak, Kale dan Khafi muncul secara bergantian sambil membawa beberapa box donat dan cup kopi di tangan masing-masing. "Siang, all!" sapa Khafi dengan riang. Dia meletakan box dan kopi yang dibawa ke mejanya pak Seno. "Kal, coba kamu cek proposalnya sih Savira," kata Pak Seno ke Kale yang baru saja mendaratkan b****g ke atas kursi. Tapi sedetik kemudian dia bangun lagi dan menghampiri mejaku. "Mau duduk, Kal?" Aku hendak bangkit, memberikan kursiku ke Kale, tapi Kale menahanku untuk tetap duduk sementara dia berdiri di sebelahku dengan pandangan mengarah lurus ke layar komputer. Aku melirik Khafi yang sedang memberi laporan ke Pak Seno atas meeting yang baru saja dia hadiri. Tampak begitu serius, berbeda dengan Kahfi yang biasanya suka bercanda. "Udah oke nih, udah bener semua. Langsung send aja." perintah Kale sambil manggut-manggut. Aku tersenyum, lantas mengindahkan perintah yang Kale bilang. Setelah itu aku pura-pura sibuk dengan komputer, begitu pun dengan yang lainnya. Hari ini suasana kantor tidak seramai kemarin karena ada Pak Seno di sini, tentu saja mereka tidak berani saling melempar celotehan. Hingga pukul lima sore tiba, satu per satu dari mereka mulai meninggalkan mejanya, diawali dengan Pak Seno lebih dulu, lalu Khanza dan Arini menyusul. Tersisa aku dan dua pemuda yang masih sibuk menyiapkan berkas-berkas serta membuat materi untuk presentasi lusa nanti. Ya, kami bertiga satu posisi, staff administrasi. "Lo lusa ikut ya, Ra, terjun langsung ke lapangan. Biar lo juga lebih gampang bikin laporan nanti." kata Kale yang sudah bersiap untuk pulang. Aku menghela napas lega sebelum menutup laptop. Materi untuk presentasi sudah selesai dibuat. Jadi sekarang waktunya untuk pulang. "Iya, siap, Kal." Kami bertiga berjalan keluar dari kantor dengan beriringan. Aku masuk ke dalam mobil, sementara Kale dijemput oleh pacarnya. Melihat Khafi yang berdiri di depan gerbang, aku lantas menurunkan kaca jendela dan menegurnya. "Nunggu siapa, Kaf?" "Nunggu gojek, Ra," "Bareng aja yuk," ajakku, lagipula kami tinggal di satu gedung apartement yang sama. "Boleh?" tanya Khafi. Aku mengangguk dan membuka kunci mobil, membuat Khafi segera masuk dan memakai seatbeltnya. "Kamu memang biasanya naik gojek, Kaf?" Aku bertanya agar suasana tidak canggung. Khafi menggelengkan kepalanya. "Mobil gue lagi dibengkel," jawabnya. "Lo udah punya pacar, Ra?" imbuh Khafi membuat kepalaku detik itu juga menoleh ke arahnya. Aku tertawa kecil, "Kenapa memangnya?" Dia ikut tertawa, tangannya bergerak gelisah menggaruk tengkuk. "Gakpapa, nanya aja. Info aja kalau Kale lagi nggak ada cewek." Sepasang alisku terangkat. Terus apa hubungannya dengan status Kale? "Loh, terus kenapa?" tanyaku masih dengan tawa yang tersisa. Aku hanya merasa lucu dengan informasi dari Khafi. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba nanya soal pacar. Bawa-bawa nama Kale pula. "Siapa tahu lo cocok sama Kale, soalnya dia ada niat buat nikah tahun ini, tapi calonnya belum ada." Kepalaku menggeleng, selaras dengan tawaku yang makin mengencang. Haduh, dasar Kahfi! Padahalkan ada Arini dan Khanza, kenapa harus aku yang notebene anak baru di kantor. "Aku udah punya pacar, Kaf." Bukannya aku tidak mau mengakui Arsen sebagai suamiku, aku hanya sadar akan statusku sebagai istri rahasia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN