6. Menjadi Istri: Pekerjaan

877 Kata
"Kerja di sini santai, Ra, kalau enggak ada kerjaan ya bergosip ria." kata Khafi membuatku spontan menoleh ke arahnya. "Tapi sekalinya dapat proyek, kerja terus enggak bisa pulang." Khanza menyahut. Dia staff Akunting yang kubikelnya berada tak jauh dari kubikelku. Aku terkekeh kecil. Masih agak kikuk untuk ikut berbaur. Meski mereka terlihat santai, tapi aku sedikit malu untuk menyahuti omongan mereka. Sesuai kata Pak Direktur, kantor cabang tempatku kerja memang tidak besar. Hanya memiliki empat lantai, dan kantorku berada di lantai empat, sementara lantai dua dan tiga adalah kantor teknisi. Pegawai di sini juga tidak banyak, staff administrasi ada tiga termasuk diriku dan Kahfi, serta Kale. Lalu ada Khanza dan Arini sebagai staff akunting. Sementara hanya itu yang aku kenal, karena di sini lebih banyak pegawai teknisinya. "Ra, gue udah bilang ke Pak Hasnu, sementara lo pakai laptop lo dulu aja." Kale datang dan langsung memberi infomasi. Aku lantas mengangguk, tidak keberatan. Ya, komputer di kubikelku mati, jadi sesuai intruksi Kale dan Pak Hasnu, aku akan memakai laptop pribadiku untuk sementara. "Beli lah, Rin, masa pakai punya pribadi," celetuk Kahfi. "'Kan komputernya mau di Service, kalau Savira ada laptop ya gakpapa pakai aja buat sementara. Dari pada ngeluarin anggaran, nanti abis di Service komputernya juga nyala lagi." balas Khanza. Dari nada bicaranya yang cepat, sepertinya dia orangnya sedikit yang bawel. "Bukannya pelit ya, tapi kalau beli laptop nanti jarang di pakai." Arini menambahi. "Lo sih, Kaf, mancing-mancing." celetuk Kale yang sibuk bermain game di ponselnya. Suasananya benar-benar santai. Mereka juga sudah seperti teman, maklum karena kami semua terpaut usia yang tidak begitu jauh. Suasana di sini benar-benar berbeda dengan kantor lamaku. Jangankan saling bergurau dan melempar ejekan seperti yang Khafi DKK lakukan, untuk saling menawarkan makan satu sama lain saja mereka sungkan. Kebanyakan juga saling jilat atasan dan sikut-sikutan untuk naik jabatan atau sekadar perpanjang kontrak. Itulah kenapa hampir satu tahun aku bekerja hanya dapat teman satu aja. Janari. * * * Aku menghentikan langkah ketika melihat sosok perempuan yang berdiri menunggu di depan pintu unit apartemenku. Dia May. Untuk apa dia datang ke sini? Tatapan tajam May yang menghunusku tajam membuatku tersadar dan kembali melanjutkan langkahku yang sempat tertunda. “Dari mana kamu?” May bertanya dengan ekspresi juteknya, lengkap dengan nada suaranya yang ketus. “Kerja,” jawabku jujur. Lagian, pasti Arsen juga sudah cerita ke May kalau aku berniat untuk kerja kembali. Namun saat kulihat ekspresi May yang terkejut, sepertinya dugaanku salah. “Kerja?” Dia nampak hendak protes. Aku hembuskan napas panjang. Sepertinya setelah ini aku akan dihadapkan oleh masalah. Sebelum May mengoceh lebih panjang lagi, aku segera membawanya masuk. Ku persilakan perempuan cantik itu untuk duduk di atas sofa, sementara aku berjalan ke dapur untuk mengambil minuman. “Siapa yang izinin kamu buat kerja?” tembak May begitu kembali dan duduk di hadapannya. “Mas Arsen.” Rahangnya May mengeras. “Aku enggak setuju. Kamu itu lagi program hamil, jadi enggak boleh stress dan kecapean.” “Tapi aku bosen di sini.” May mendengus. “Itu sudah konsekuensi. Lagian nafkah yang mas Arsen kasih udah lebih dari cukup, kamu juga enggak punya tanggungan apapun. Jadi buat apa kerja?” Memang betul, sih. Aku tidak punya tanggungan, dan seharusnya aku santai-santai saja menikmati hari-hari tanpa beban. Tanpa perlu memikirkan ekonomi yang ngepas namun harus pintar putar otak mengatur keuangan agar cukup untuk bayar kosan dan makan sampai hari gajian. Hidupku yang sekarang adalah hidup impian yang dulu pernah aku bayangkan. Menjadi pengangguran tapi banyak uang. Meski harus menanggung derita menjadi istri rahasia. Dulu saat aku membayangkannya, kupikir enak menjalani kehidupan tanpa bersusah payah mencari pundi-pundi rupiah, tapi setelah aku jalani, rupanya membosankan. “Pokoknya besok kamu enggak boleh kerja lagi, Ra.” Aku langsung melotot, menatap May tak terima. “Enggak bisa dong, Mbak. Aku baru masuk, masa udah resign.” “Loh, siapa suruh kamu kerja?” May terlihat tidak peduli dengan pilihanku. “Aku udah izin ke mas Arsen, dan mas Arsen izinin kok!” Bola mata May memutar jengah. “Harusnya kamu izin ke aku juga. Toh, jadi istri kedua juga seperti pekerjaan buat kamu, kan? Kamu dikasih nafkah tanpa harus melakukan apa-apa. Tugasmu cuma perlu melahirkan anak untuk aku dan Arsen. Setelah itu terserah kamu mau ngelakuin apa aja.” Deg. Jantungnya seakan tertusuk belati mendengar kalimat yang May uraikan lewat bibir tipisnya itu. Sangat tajam hingga menimbulkan rasa perih di hati. Aku tertampar fakta, tidak bisa mengelak apalagi membantah. May benar, menjadi istri adalah sebuah pekerjaan. Dan memberi mereka anak ada tugasku. Menyedihkan. Namun itu adalah keputusan yang telah aku ambil. “Ekhm,” May berdehem, menyadarkanku yang melamun panjang. “Bagaimana rasanya tidur dengan suamiku?” Lagi. Kata-katanya berhasil membuat hatiku perih. Sehina itulah kehadiranku bagi May? Kenapa dia menatap dan berbicara kepadaku seolah aku wanita yang merebut suaminya. Ya, kami memang berbagi suami. Namun bukan berarti aku mencintai Arsen. Aku hanya menjalani apa yang keluarganya Arsen inginkan. Bukankah sepatutnya May berbuat baik dan mengucapkan terimakasih? Aku menarik senyum miring. Menyamarkan rasa sesak yang merambat di d**a. Aku tidak boleh memperlihatkan kelemahanku di depannya. “Nothing special. Aku menjalaninya karena terpaksa, jadi Mbak enggak perlu takut kalau aku menikmatinya.” Seharusnya jawabanku membuat May merasa tenang bukan? Namun kenapa wanita itu mengepalkan tangannya dan terlihat kesal?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN