Tak berselang lama, Gala akhirnya tiba di rumah sakit. Begitu menuju ke ruang administrasi, matanya langsung tertuju pada Sasha yang tengah berjongkok di lantai, sambil menangis.
Gadis itu seolah berubah menjadi sosok yang berbeda. Sikap berani, nekad, dan ceplas-ceplos yang tergambar pada diri Sasha, seolah langsung luntur ketika menangis seperti ini.
Gala menjadi iba, saat melihatnya seperti ini. Ia segera hampiri Sasha. “Sha?” panggilnya sambil menepuk pundak Sasha.
Saat Sasha mendongak, matanya ternyata sudah merah dipenuhi air mata. Sadar jika Gala yang memanggilnya, Sasha langsung berdiri dan memeluk tubuh Gala. “Om … Bapak, Om … Sasha gak mau Bapak kenapa-napa,” ucapnya sambil sesenggukan.
Gala terperanjat. Ia terdiam sejenak, merasakan ada desiran aneh dalam dirinya ketika Sasha memeluknya. Hanya saja, bukan itu fokusnya saat ini. Dia berusaha menepis pikirannya dan melepaskan pelukan Sasha dengan perlahan. “Iya, kita urus administrasinya, ya. Biar Bapak kamu segera bisa dioperasi.”
Entah kenapa, Gala mendadak bertutur halus kepada Sasha. Ia bahkan membiarkan gadis itu menempel pada tubuhnya. Padahal, Gala selalu menolak setiap sentuhan wanita yang berusaha mendekatinya. Bisa dibilang, Sasha adalah wanita pertama setelah Karin yang diperbolehkan Gala menyentuhnya.
“Makasih, Om.” Sasha melepas pelukannya.
Melihat Sasha, membuat Gala merasa iba. Tangannya bahkan hampir terangkat untuk menghapus air mata yang masih membasahi pipinya. Namun, dia berhasil menahannya.
“Maafin Sasha kalau repotin Om Gala,” ucap Sasha sambil mengusap air matanya dengan punggung tangannya.
Gala buru-buru mengangguk. Dia jadi salah tingkah dengan perasaannya sendiri.
Tak ingin Sasha menyadari keanehan sikapnya, Gala buru-buru berkata. “Iya. Lagian, semua enggak gratis. Kamu tahu harus bayar pakai apa, kan?” ucapnya ketus, berusaha menutupi.
“Iya, Om. Sasha tahu kok. Sasha mau nikah kontrak sama Om.”
“Oke, kalau begitu. Sekarang kita urus administrasi dulu.”
***
Sasha duduk dengan gelisah di depan ruang operasi. Matanya tak lepas dari pintu di depannya yang tertutup rapat. Ia memang merasa lega karena ayahnya bisa dioperasi. Namun, banyak sekali kekhawatiran yang menggelayuti pikirannya.
Sasha jelas tahu jika hidupnya akan berubah drastis setelah menikah dengan Gala. Menikah di usia yang sangat muda, jelas tidak pernah terpikirkan sama sekali dalam pikiran Sasha. Namun, hanya ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan nyawa ayahnya.
“Nih, makan dulu!”
Suara Gala yang tiba-tiba berada di samping Sasha sambil menyodorkan roti, jelas mengejutkan Sasha. Lamunannya langsung buyar. “Om Gala? Aku kira Om udah pulang.” Sasha sendiri tidak menyangka jika laki-laki itu masih berada di sini.
“Tadinya emang mau pulang, sih,” ucap Gala sambil duduk di sebelah Sasha. “Tapi … inget kalau kamu harus makan sesuatu.”
Bibir Sasha spontan tersenyum meski samar. “Tumben perhatin, enggak ngeselin,” batin Sasha.
“Soalnya, kalau kamu sakit, entar siapa yang jadi pengantin wanitanya? Ingat! Pernikahan kita tinggal beberapa hari lagi. Aku udah terlanjur bilang ke Karin seperti itu.”
Senyum Sasha seketika luntur mendengar ucapan Gala barusan. “Dasar Om,Om! Kirain udah gak ngeselin,” batin Sasha lagi.
“Iya, Sasha tahu kok, Om,” jawab Sasha dengan nada datar.
“Bagus! Kalau gitu cepetan makan biar gak sakit!” perintah Gala.
***
Setelah menunggu berjam-jam, pintu ruang operasi akhirnya terbuka. Sasha seketika berdiri, mendekat ke Dokter dan meminta penjelasan darinya. “Bagaimana dengan Bapak saya, Dokter?” tanya Sasha tidak sabar.
Meski terlihat sangat lelah. Namun, sang Dokter dengan sabar menjawab, “Operasinya berjalan lancar. Kami sudah melakukan yang terbaik. Namun, kami perlu waktu beberapa jam untuk melihat apakah kondisi Pak Hendra benar-benar stabil. Kami akan terus memantaunya," jelasnya.
Sasha merasakan beban di dadanya sedikit berkurang. Meski begitu, perasaan cemas belum sepenuhnya hilang. "Tapi Bapak pasti sembuh, kan, Dok?" tanya Sasha lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah, penuh harap.
"Kita pasrahkan sama yang di atas. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Selebihnya, takdir berada di tangan Tuhan. Kamu jangan lelah berdoa buat kesembuhan Bapak kamu.”
Sasha menarik napas panjang, berusaha menahan air mata yang kembali menggenang. "Terima kasih banyak, Dokter."
Dokter itu tersenyum samar. "Kami akan terus memantau kondisi Pak Hendra. Kamu tenangin diri dulu, ya. Bapak kamu akan dipindahkan ke ruang ICU untuk perawatan intensif."
Sasha mengangguk, dan dokter itu pun beranjak pergi menuju ruang lain.
***
Beberapa waktu kemudian, saat Hendra sudah sadar dari pengaruh obat bius, ia membuka matanya dan melihat Sasha di sampingnya. Wajahnya masih terlihat lemah, tapi senyum tipis terukir di bibirnya.
“Syukurlah Bapak udah sadar,” ucap Sasha sambil memegangi tangan renta Hendra. Dia tersenyum lega karena akhirnya Bapaknya sudah sadar.
Senyum Hendra terlihat samar saat berkata, “Bapak seneng masih bisa lihat kamu, Sha. Bapak kira Bapak bakalan pergi untuk selamanya.”
“Bapak ngomongin apa, sih? Jangan bilang kayak gitu!”
Hendra kembali tersenyum. Namun, matanya menangkap sosok laki-laki yang beberapa hari lalu ditemuinya itu. “Nak Gala, ya?” ucap Hendra ragu.
“Iya, Pak, ini saya.” Gala mendekat ke ranjang Hendra.
Sasha menatap Gala sejenak, lalu kembali ke arah ayahnya. “Pak, Om Gala yang udah biayain semua biaya Bapak selama di rumah sakit ini,” ucap Sasha.
“Terima kasih Nak Gala,” ucap Hendra masih lemah.
“Sama-sama, Pak. Manusia memang harus saling membantu,” ucap Gala lagi.
“Idih! Saling membantu? Sok baik banget si Om?” batin Sasha sambil menaikkan sudut bibirnya.
“Lagi pula, Sasha bakal jadi istri saya. Jadi saya harus berbakti juga kepada Bapak,” ucap Gala lagi.
Sasha memutar bola mata dengan malas. “Pencitraan! Padahal nikah juga karena ada maunya,” batin Sasha kesal.
Hendra tersenyum, meskipun tubuhnya tampak lemah. “Iya, Nak Gala, terima kasih bantuannya. Bapak titip Sasha ke kamu, ya. Tolong didik dia biar jadi istri yang baik. Soalnya usinya masih muda, dia belum ngerti gimana jadi istri.”
Gala mengangguk tanpa ragu. “Tentu, Pak. Bapak jangan khawatirin masalah itu. Serahin ke saya saja.”
“Syukurlah. Bapak jadi lega kalau begini.”
Ketika asyik berbincang, ponsel Gala terdengar berbunyi. Ternyata Nadia telah menghubunginya. “Maaf, Pak. Saya keluar dulu, mau angkat telepon dari Mbak Nadia.”
“Iya, Nak Gala. Titip salam buat Mbak kamu ya. Tolong sampaikan kalau saya sangat berterima kasih dengan semua kebaikannya.”
“Iya, Pak.” Gala lantas keluar ruangan setelah mendapat ijin.
Tinggal Sasha dan Hendra di dalam ruangan. Hendra ganti menatap Sasha dengan penuh kasih. “Sha, kamu sudah siap untuk menikah?”
Meski berat, namun Sasha mengangguk. “Yakin, Pak. Ini jalan yang Sasha pilih sendiri.”
Hendra mengulurkan tangan, meraih tangan Sasha. “Bapak yakin Nak Gala itu baik. Kamu pasti bahagia hidup sama Nak Gala. Meskipun awal pertemuan kalian kurang baik. Tapi, Bapak yakin kalian punya akhir yang bahagia.”
Sasha memaksakan senyum saat menjawab, “Iya, Pak.”
Bagaimana bisa bahagia jika pernikahan mereka hanyalah sebuah pernikahan pura-pura. Tidak ada rasa cinta dalah hubungan mereka. Melainkan sebuah perjanjian yang saling menguntungkan. Sasha tentu tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya kepada bapaknya.