Keesokan harinya pun telah tiba. Alger sangat bahagia ketika mengikuti ajang lomba menggambar bulan ini, dikarenakan mamanya sendiri yang akan menghadiri acara itu.
Acara perlombaan akan segera dimulai, namun Gyzell tidak kunjung menampakkan diri di tempat perlombaan. Alger yang sudah duduk di barisan peserta pun menunggu mamanya dengan perasaan cemas.
“Mama kemana sih?” gumamnya pelan sembari menatap pintu masuk perlombaan dengan cemas.
“Padahal Mama udah janji mau dateng kesini.” Wajah Alger semakin terlihat sedih. Bocah malang itu sungguh memprihatinkan sekarang.
Waktu hanya tersisa 15 menit lagi sebelum acara lomba dimulai. Alger semakin pasrah kepada keadaan yang tidak akan pernah mendatangkan mamanya ke acara tersebut. Kedua matanya sudah berkaca-kaca saat melihat semua teman-temannya didampingi oleh orang tua masing-masing.
“Om Nick.”
Wajah Alger seketika berbinar saat melihat lelaki gagah dan tampan itu sudah duduk di antara bangku wali murid. Senyum Alger terpancar begitu jelas. Bocah lelaki itu melambaikan tangannya untuk menyambut kedatangan Nick dan lelaki dewasa itu pun membalasnya dengan lambaian tangan pula diiringi dengan senyuman.
“Semangat!” ucap Nick tanpa suara, tetapi Alger masih bisa mengerti apa yang sedang Nick ucapkan.
Waktu berjalan begitu cepat, kini perlombaan pun akan segera dimulai. Namun, tidak ada tanda-tanda Gyzell akan menghadiri acara putranya.
Alger benar-benar pasrah. Dia tidak marah kepada mamanya, hanya sedikit rasa kecewa. Permintaanya sederhana, tetapi selalu saja tidak bisa dikabulkan karena Gyzell merupakan wanita yang sibuk bekerja.
“Apakah Al harus membeli waktu Mama dulu agar Mama mau menemani Al?” tanyanya di dalam hati sembari tangannya aktif menggambar. Tanpa yang lain sadari, air mata Alger sudah menetes. Berkali-kali bocah lelaki itu menghapusnya, tetapi tidak berhasil untuk menghentikan cairan bening itu mengalir.
Nick yang duduk di seberang sana memandang Alger dengan rasa bangga. Entahlah, rasa yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya selalu hadir saat menatap mata bulat Alger. Batinnya bergejolak dan ingin terus ingin melindungi bocah lelaki itu.
Awalnya Nick tidak tahu jika Alger akan mengikuti perlombaan di sekolahnya. Niat awal lelaki itu datang hanya ingin melihatnya apa kah Alger baik-baik saja atau tidak. Namun, sebuah tulisan perlombaan menggambar disertai dengan nama-nama pesertanya membuat Nick tergerak untuk melihat perlombaan itu. Ditambah lagi ada Alger di dalamnya, pastilah Gyzell juga ikut menemaninya. Akan tetapi, kenyataan tidak sesuai dengan apa yang Nick pikirkan. Gyzell tidak ada tempat itu membuat Nick sangat kecewa.
Nick tidak habis pikir dengan Gyzell yang sangat tega membiarkan Alger seorang diri di perlombaan itu. di saat semua murid-murid yang lainnya ditemani kedua orang tuanya. Sedangkan Alger, bocah lelaki itu berjuang seorang diri tanpa ada yang memberinya semangat. Di dalam hati, Nick bertanya-tanya, kemana kah orang tua Alger? Mengapa selalu saja Gyzell yang mengantar dan menjemputnya?
***
“Saya ada urusan yang lebih penting daripada ini!” ucap Gyzell kepada sekretarisnya yang baru saja datang membawa sejumlah dokumen yang harus dia tanda tangani hari itu juga.
“Maaf Bu, tapi dokumen ini harus Ibu tanda tangani hari ini juga. Karena saya mau mengirimkan copy-an berkasnya ke cabang,” jelasnya.
Gyzell memijat kepalanya yang sedari tadi terasa berdenyut. “Ambil kembali berkasnya. Saya sedang buru-buru.” Lalu Gyzell beranjak dari duduknya meninggalkan ruangan dan sekretarisnya.
Ini lah yang dia tidak inginkan. Mengecewakan Alger adalah hal paling menyakitkan untuknya. Berjanji akan menemani Alger mengikuti perlombaan adalah janjinya. Namun, pada kenyataanya Gyzell tidak bisa melaksanakan janjinya dengan benar.
***
Sementara itu di tempat Alger berada. Bocah lelaki itu sangat fokus pada project lomba yang sedang dia kerjakan. Meskipun hatinya sedang resah dan gelisah, tetapi Alger berusaha untuk tetap memenagkan lomba itu agar Gyzell bangga kepadanya.
Sebentar lagi perlombaan akan selesai, namun Gyzell tidak kunjung datang dan Algar pun sudah tidak berharap lebih lagi kepada mamanya.
“Dari mana saja kamu?” tanya Nick kepada Gyzell yang baru saja datang dengan napas terengah.
Gyzell melirik lelaki yang sedang duduk itu dengan pandangan tidak suka.
“Lalu kenapa kamu ada disini? Tidak ada yang menyuruhmu untuk datang ke sini,” ucap Gyzell.
“Kamu memang tidak menyuruhku, tapi hatiku yang memintaku untuk datang ke sini dan ternyata Alger sedang berada di seberang sana.” Nick menunjuk Alger dengan pancaran matanya. “Dia sedang mengikuti perlombaan dan tidak ada satu pun keluarga yang datang. Sebenarnya orang tua kalian berdua kemana sih?”
“Urusi saja urusanmu sendiri.”
Lalu Gyzell duduk di salah satu bangku yang kosong sedikit berjarak dengan bangku Nick. Lelaki itu mengikuti Gyzell lalu duduk di samping wanita itu yang kebetulan bangkunya sedang kosong.
“Alger membutuhkan dukungan orang tua dan kamu sebagai kakaknya kenapa tidak menemaninya?”
Gyzell semakin menatap Nick dengan pasangan yang sengit.
“Aku pun berusaha untuk tetap datang ke acara ini. Sebaiknya kamu diam, karena kamu tidak mengerti apa-apa tentang masalah keluargaku.”
Nick menghela napasnya pelan. “Aku hanya ….”
“Kakak!”
Suara itu membuat Gyzell menatap putranya. Hatinya kembali tercubit saat Alger memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’ tapi itu bukan yang Gyzell inginkan saat mereka sedang berada di luar?
“Sudah selesai sayang?” tanya Gyzell kepada putranya.
Alger mengangguk dengan senyum palsunya. Lalu Alger menatap Nick.
“Om Nick, makasih yah udah mau nemenin Al di sini,” ucapnya lalu Alger mencium punggung tangan Nick.
Hati Nick berdesir perih seolah ada sesuatu yang tergores di dalam sana. Sebenarnya ada apa ini? batinnya selalu bertanya demikian.
“Sama-sama. Om juga sangat senang bisa menemani Alger di sini. Kamu hebat sekali.”
Alger tersenyum lalu dia menatap mamanya. Tidak ada kata yang bocah itu ucapkan, hanya sekedar tatapan lalu dia kembali lagi ke tempat perlombaan.
Tibalah pada acara yang paling inti setelah perlombaan. Semua murid yang melaksanakan lomba sudah berdiri di depan. Alger pun di sana juga sedang berdiri dengan kepala terangkat dank e dua pancaran matanya menatap Gyzell penuh dengan keyakinan.
Satu persatu pemenang sudah diumumkan dan sang pemenang maju satu langkah untuk menerima piala dan piagam sebagai penghargaan. Alger hanya berharap cemas di sana, biasanya bocah itu mendapatkan juara tiga, tetapi kali ini diambil alih oleh temannya. Di dalam hatinya berharap cemas, dia takut akan mengecewakan Gyzell.
“Saatnya mengumumkan juara pertama di perlombaan menggambar kali ini.” begitulah pemandu acara berucap.
Alger semakin menunduk, dia sudah berkecil hati bahwa perlombaan kali ini dia tidak akan membawa apa-apa untuk pulang.
“ALGER ZEROUN EGERTON!”
Sorak gembira dari seluruh penonton terdengar riuh memenuhi ruangan itu. Gyzell bangkit dari duduknya sembari bertepuk tangan. Kedua matanya mengeluarkan cairan bening sebagai tanda harusnya.
Alger maju satu langkah untuk menerima piala dan piagam sebagai penghargaanya. Ke dua sudut bibirnya tidak henti memancarkan sebuah senyuman indah yang dia pamerkan ke semua orang yang berada di sana.
“Mama sangat bangga sama kamu, sayang,” ucap Gyzell di dalam hati. “Terima kasih telah hadir di kehidupan Mama sebagai penyemangat hidup Mama. meskipun banyak orang yang menganggap kehadiranmu adalah sebuah kesalahan. Tapi bagi Mama, kehadiranmu adalah sebuah anugrah terindah untuk Mama,” sambungnya masih berbicara di dalam hati.