Bagian 5

1512 Kata
Johana selalu melakukan rutinitasnya selama satu bulan belakangan ini, yaitu memeriksa email dari perusahaan yang sedang ia tunggu terkait lamaran pekerjaan yang telah ia kirimkan beberapa hari yang lalu. Ya, belakangan ini gadis itu memang tidak bekerja alias pengangguran. Kalian pasti tahu sendiri kan, kalau melamar pekerjaan akhir-akhir ini sangat sulit. Kalau tahu begini Johana tidak akan menolak tawaran Candra. Huh, sekarang ia percaya kalau menyesal memang selalu datang belakangan. Namun di sisi lain, Johana enggan bekerja di bawah naungan Candra. Terlebih lagi setelah apa yang telah terjadi antara keduanya. Hati Johana belum pulih sepenuhnya, mendapatkan kenyataan seperti itu. Johana memutuskan untuk beristirahat sejenak di kursi panjang dekat toko kecil setelah berjalan sampai kakinya pegal. Ia menghela napas lelah dan mengusap peluh yang turun mengalir dari dahi menuju pipinya. Hari ini panas sekali ―matahari punya dendam apa dengan Johana? Mencari pekerjaan seusai kuliah memang sulit seperti yang orang-orang bilang. Hal ini bahkan lebih sulit dari mengupas kacang kulit yang baru terbuka separuh atasnya. Ini tak boleh dibiarkan terjadi. Krisis keuangan keluarganya terancam. b******a dengan Chocolate Milkshake pun menjadi taruhannya. Terlebih lagi kondisi Tio, ayah Johana sudah tidak memungkinkan bekerja seperti dahulu kala. Pria itu mulai menua dan renta, tenaganya pun tak sekuat saat Johana masih remaja. Johana mendengus pelan. Pekerjaan apapun itu yang penting ia bisa dapat uang! Jadi pelayan kafe pun tak masalah, hanya saja di tempat manapun itu lowongan pekerjaannya pasti sudah penuh. Entah mengapa juga semua lamaran pekerjaan yang Johana kirimkan ke berbagai perusahaan tak kunjung mendapat panggilan. Sesulit itukah mencari pekerjaan di suatu kantor? Ketika harapan semakan menipis, matanya menangkap secercah harapan. Kertas yang tertempel di dinding toko kecil terlihat sangat menarik di mata Johana. Kertas itu memberitahukan informasi kalau Resto Chestplate membuka lowongan pekerjaan. Johana sempat menyesal dulu ia suka memakai kertas iklan untuk membuat pesawat terbang atau perahu atau topi, sekarang ia sadar betapa pentingnya kertas iklan. Oh, Johana tahu Restoran itu. Restoran mahal bintang lima yang jadi popular sejak pembukaan pertamanya. Sekitar dua tahun yang lalu kalau tidak salah. Iya, Johana tahu, tapi ia tak pernah makan di sana. Ia ingin berkunjung kesana sebagai pelanggan, tapi apalah daya ketika dompet menampar keras realita. Mungkin kali ini ia akan berkunjung sebagai pegawai. Dengan langkah cepat Johana segera kembali ke rumah dan menyiapkan berkas untuk meletakkan lamaran pekerjaan di restoran tersebut. *** "Kamu yakin melamar pekerjaan disana?" Tanya Dafa dari balik helmnya. Johana berdehem meskipun tak terlalu didengar oleh Dafa. Tekatnya sudah bulat, dia benar-benar akan melamar pekerjaan di Resto Chestplate itu, urusan diterima atau tidak itu nomor dua. Dafa menghentikan motornya tempat di depan bangunan besar yang berarsitektur ala ala eropa tersebut. Kemudian melepaskan helm yang dikenakan Johana. "Kamu yakin? Tinggi kamu gak masuk dalam persyaratan, tau?" "Coba aja dulu ya kan." Balas Johana optimis. "Baiklah, semoga berhasil!" Seru Dafa menyemangati. Johana membalasnya dengan tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Kemudian ia bergegas menuju meja resepsionis dan menyerahkan map cokelat pada wanita yang sepertinya sebaya dengannya. "Anda bisa langsung menuju ruang sebelah kanan itu." Ujar wanita itu menunjukkan jalan. "Terima kasih." Balas Johana. Wanita itu hanya tersenyum simpul. "Selamat datang di Resto Chestplate. Saya Jonathan, kepala pengurus restoran ini." Seorang pria berusia sekitar 30 tahunan menyambut para pelamar termasuk Johana dengan senyum ramahnya, membuat kekaguman orang-orang itu sejenak harus terhenti karena suara Jonathan. "Kami akan melakukan seleksi tahap pertama. Seperti yang sudah kalian ketahui syarat-syarat untuk menjadi pegawai sudah kami jelaskan pada brosur yang kami sebarkan ke seluruh Kota. Jadi, bagi mereka yang tidak memenuhi persyaratan umum seperti yang tertulis di brosur, saya harap kalian segera meninggalkan tempat ini." Pria itu berujar sopan namun cukup membuat mental breakdown bagi siapa saja yang tidak memenuhi syarat, termasuk Johana. Gadis itu seketika merasa menyesal, seharusnya dia mendengarkan ucapan Dafa dan tidak nekat datang. Hasilnya sudah jelas, dia bahkan sudah kalah sebelum perang. Nyali Johana mulai menciut, haruskah ia langsung pulang saja? Satu persatu pelamar menunggu giliran untuk dipanggil. Selang 2 orang lagi saat giliran Johana, namun gadis itu mengurungkan niatnya untuk melamar kerja di sini karena ia cukup tahu diri bahwa tinggi badannya tidak masuk dalam kriteria. "Halo mbak! Mau kemana?" Langkah Johana terhenti saat beberapa orang memusatkan perhatian mereka pada dirinya. "Tinggi saya tidak memenuhi persyaratan, Pak." "Tidak apa, coba saya cek dulu CV kamu." Alhasil Johana memberikan map yang berisikan data diri serta surat lamaran kerjanya. Pria itu membolak-balikan kertas lusuh yang tak semulus masa depan Johana tersebut, kemudian menghela napas panjang. "Baiklah, kamu bisa bekerja mulai besok." Johana sontak membulatkan matanya dengan sempurna. "Serius, Pak?" "Serius, jangan terlambat ya!" "Baik, Pak. Terima kasih banyak." Ucap Johana sambil membungkukkan badan berulang kali. Seolah keajaiban benar-benar terjadi hari ini. Entah malaikat mana yang telah mencatat amal kebaikannya di masa lampau hingga ia mendapat keberuntungan saat ini. Dengan hati yang besar, Johana segera menelpon Dafa dan mengabarinya berita baik ini. Tak lupa ia juga segera pulang dan menceritakan pada ayahnya jikalau ia sudah tidak pengangguran lagi. Malamnya, Dafa dan Johana berencana merayakan keberhasilan Johana mendapatkan pekerjaaan. "Traktir dong." "Idih! Belom juga mulai kerja, udah ditagih traktiran." Ketus Johana pada Dafa. Dafa terkekeh pelan, "bercanda, —yaudah sini aku yang traktir malam ini. Selamat sudah melepas tittle penganggurannya ya!" "Kamu ngejek ya?" Ujar Johana mendengus. "Enggak lah, justru aku seneng. Akhirnya aku bisa minta traktiran tiap kali kamu abis gajian." Johana memutar kedua bola matanya malas. "Hadeh, masih itu yang dipikirin." *** "Baik, semua pegawai sudah berkumpul?" "Sudah, Pak." Ujar mereka serentak. "Termasuk pegawai baru juga?" "Iya, Pak." Sahut Johana dan beberapa pegawai baru lainnya. "Hari ini kita akan kedatangan tamu istimewa. Pemilik Restoran ini akan mengadakan acara pertemuan klien penting perusahaan. Maka dari itu, kalian harus bekerja sebaik dan semaksimal mungkin. Dan —untuk pegawai baru, jika kalian belum terlalu mengerti dengan bagian pekerjaan kalian, bisa langsung tanyakan pada senior saja. Jangan sampai mengacau, mengerti?" "Siap, Pak!" Seru semua pegawai sigap. Kemudian, mereka membubarkan diri dan mengambil alih bagian pekerjaan mereka masing-masing. "Baru juga awal masuk, udah didatengin pemilik restorannya." Johana menyenggol Saskia pelan. "Hust! Jangan ngeluh! Ntar senior denger, malah kena marah." Tukas Johana mengingatkan pada teman barunya. Saskia hanya menghela napas berat dan merapikan kain penutup meja. 2 jam setelah menyiapkan semuanya. Mereka berjajar rapi untuk menyambut para tamu penting tersebut. Beberapa mobil mewah terparkir di depan restoran yang menampakkan para pria bersetelan kemeja hitam dengan dalaman putih polos turun dari mobil. Mereka tampak seperti orang yang memiliki masa depan cerah tanpa adanya baru krikil yang menghalanginya. Begitu indah dibayangkan, menjadi salah satu dari pemegang saham di beberapa perusahaan. Sekilas terbesit dalam pikiran Johana, apakah mereka pernah mengisi air pada botol shampo yang jelas-jelas sudah habis? Atau mungkin menggoreng nasi sisa kemarin yang sengaja didinginkan terlebih dahulu dalam kulkas? Sepertinya hal itu tidak pernah terjadi dalam hidup mereka. Johana melamun memikirkan hal tidak penting hingga ia mendapatkan aba-aba dari Pak Jonathan untuk memberi salam kepada para tamu penting itu dengan membungkukkan badan. "Selamat datang di Restoran Chestplate. Kami akan melayani anda dengan senang hati." Ujar semua pegawai kompak. Kemudian mereka kembali ke posisi semula dengan sigap. Beberapa dari mereka juga menarikkan kursi untuk ditempati para tamu. Seperti kata pepatah, tamu adalah raja. Johana, Saskia, dan sisanya bertugas untuk tetap berdiri di posisi masing-masing, jikalau ada tamu yang membutuhkan bantuan. Mereka lah yang harus siap sedia melayani. "Selamat datang, Pak. Sudah lama tidak berkunjung kemari." "Saya juga ada keperluan. Jadi sekalian mengajak para klien singgah di sini sebentar." Sahut pemilik restoran itu terdengar sopan. Johana ingin sekali melirik meskipun hanya sekilas untuk melihat siapa sosok pemilik restoran ini. Namun ia tahu, tugasnya jauh lebih penting daripada rasa penasarannta tersebut. "Kamu baru saja merekrut pegawai baru karena beberapa pekan ini restoran cukup ramai hingga membutuhkan tambahan pegawai." "Begitu ya, atur saja sebisamu." Ucap pria itu santai pada Pak Jonathan. Beberapa menit berjalan cukup tenang. Sampai terdengar derap langkah mendekat pada Johana. "Apakah dia juga pegawai baru?" "Iya, Pak." Sahut Johana tersenyum ramah dan senyum itu langsung menghilang di detik berikutnya. Pria yang kini ada di hadapannya tidak lain dan tidak bukan adalah Candra Athanasius. Bagaimana bisa dunia sesempit ini? Tidak adakah belahan dunia yang tidak menampakkan sosok Candra Athanasius? Haruskah takdir terus menerus mempertemukan mereka tanpa Johana minta? "Ca— Candra. Ngapain kamu di sini?" Candra hanya terkekeh pelan. "Apakah pemilik restoran tidak boleh mengunjungi restorannya?" "Apa?!" Johana menganga tak percaya. Jadi, restoran ini milik Candra? "Hana! Kamu tidak sopan sekali!" Ketus Jonathan. "Maaf, Pak. Maaf." Candra menepuk bahu Johana pelan. "Santai saja. Toh hari ini hari terakhir kamu bekerja di sini." "Pecat dia, Pak Jonathan." Imbuh Candra santai. "Baik, Pak." "Tapi Cand— maksudku, Pak Candra. Saya tidak bermaksud tidak sopan kepada anda." "Lalu?" "Hanya sedikit terkejut bahwa anda yang memiliki restoran ini." Sahut Johana pelan. "Setelah menolak penawaran bekerja di perusahaan saya, lain kali perikasalah dimana kamu akan melamar kerja. Mungkin saja tempat itu juga milik saya." Ujar Candra meremehkan. Johana yang baru berbahagia, seketika jatuh hingga ke dasar hanya dalam sehari saja. Menangis pun ia tak bisa, karena ia tahu tempat dan waktu. Dengan kalimat rendahan yang dilontarkan Candra, Johana langsung bergegas meninggalkan restoran itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN