Ada banyak kesialan dalam hidup. Salah satu kesialan yang paling mengesalkan adalah fakta bahwa kau harus dipecat dari pekerjaanmu di hari pertama masuk kerja. Tapi terkadang kesialan tidak melulu berujung pada sesuatu hal bernama penderitaan. Kerap kali kesialan justru jalan menuju sebuah kebahagiaan. Entah kebahagiaan apa yang sedang menanti di masa mendatang. Namun satu hal yang pasti dilakukan sekarang ialah merutuki kesialan.
Seharusnya kini Johana berhenti sejenak untuk merenungkan kesialan yang menimpnya itu. Lalu saat ia mendapatkan sebuah penjelasan logis tentang kesialan tersebut, ia akan tersenyum, kembali b*******h dalam menjalani hidup.
Akan tetapi sebagaimana caranya ia memikirkan penjelasan yang logis, ia hanya menemukan kesialan di dalamnya.
Memang benar, tidak ada yang namanya beruntung jika tidak ada yang sial. Tidak ada bahagia jika tidak pernah merasakan sedih sebelumnya. Sebelum menenggelamkan diri dalam rasa sedih karena begitu banyak hal buruk menimpa, maka ada baiknya membuka mata dan bersyukur dengan apa-apa yang sedang dimiliki daripada terus mengeluh untuk apa yang tidak bisa miliki.
Pengecualian untuk masalah ini.
Johana dipecat hanya karena mantan kekasihnya memiliki dendam sebab ia tidak menerima penawaran kerja pada bulan lalu.
Hari ini musim panas yang menyengat. Matahari tanpa ampun mencurahkan panasnya yang menggelegak ke permukaan bumi. Johana, seorang gadis biasa saja. Bedanya hari ini dia baru ditimpa sebuah kesialan. Kesialan yang membuatnya berpikir bahwa hidupnya amat buruk.
Johana berjalan dengan sisa-sisa tenaganya di sepanjang jalanan yang ramai. Kemeja kusut, jeans belel, sepatu kate usang dan rambut acak-acakan menggambarkan betapa kacaunya gadis itu. Sedangkan matahari seolah juga tidak mau bekerjasama. Pusat tata surya itu justru semakin gencar membakar bumi, membuat kepalanya semakin panas dan nyaris meledak. Bagaimana tidak? Dia baru saja dipecat dari pekerjaannya. Bahkan di hari pertama ia mulai kerja.
Johana menghembuskan napasnya kasar, mengigiti bibirnya lalu duduk di sebuah bangku panjang yang kebetulan ditemuinya di jalan. Gadis itu memutuskan untuk mendudukkan diri disana, sekadar melepas lelah mengingat dia sudah berjalan tanpa arah selama dua jam.
"Katanya kerja, kok malah disini?"
Sebuah suara berhasil membuat Johana tersentak. Detik berikutnya, ia mendengus kesal. "Aku dipecat."
"Apa? Kok bisa? Kamu bikin kesalahan?"
Johana menggeleng cepat, "kesalahanku adalah melamar di restoran punya Candra."
"Rill kah?"
"Rill cuy. Ih apaan sih! Ini serius ya. Kemana pun aku melamar pekerjaan, kayaknya semua tempat beratas namakan Candra Athanasius. Di belahan bumi mana lagi aku harus mencari kerja, Fa?" Teriak Johana frustasi.
"Kamu juga ngapain disini? Bukannya kamu kerja?" Imbuh Johana.
"Udah pulang, gak terlalu banyak kerjaan. Bisa diserahin ke junior."
"Dasar manusia penganut senioritas! Amit-amit ketemu senior kayak kamu." Ujar Johana memukul kepala Dafa pelan.
Dafa mengernyit, "eh aku gak sekejam itu ya."
"Aku cuma ngajarin mereka cara kerja cerdas." Imbuh Dafa tersenyum bangga.
"Dih."
Johana menghela napas berat. "Kemana lagi ya aku cari kerja yang gajinya sesuai? Banyak sih lowongan kerja, tapi aku butuh yang agak banyak dikit gitu, biar bisa biayain ayah rawat jalan."
Mereka berdua terdiam sejenak.
"Na?"
"Hmmm."
"Kamu gak pengen nerima tawaran Candra aja? Aku udah berusaha nyariin kamu kerjaan, tapi kamunya gak cocok. Giliran kamu udah dapet yang cocok, eh ternyata tempat itu punya Candra lagi. Mending kamu kerja di perusahaannya sekalian. Mana tau tiba-tiba dapet jabatan yang lumayan." Saran Dafa membuat Johana terdiam membisu tanpa merespon.
Dafa yang menyadari hal tersebut langsung meminta maaf, "sorry kalo saranku gak ngebantu."
Tiba-tiba Johana bangkit dari tempat duduknya sambil mengangkat tangan kanannya yang mengepal.
"Oke! Sudah diputuskan. Aku bakal minta bantuan ke temen kos dulu. Kalo gak berhasil, kita jalankan rencanamu, Fa."
"Nerima tawaran Candra?"
"Iya! Tapi aku harus berusaha dulu cari kerjaan yang lain." Seru Johana bersemangat kembali.
Dafa yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum lalu memalingkan muka ke samping, "bilang aja gengsi."
"Kamu ngomong apa tadi, Fa?"
"Gak ada kok, emang aku ngomong apa?" Sahut Dafa panik.
"Sorry, salah denger."
***
"Sorry, Dek. Gue cuma bisa bantu sebates ini." Ucap Angga dari balik telpon.
Sudah hampir 2 minggu ini, Angga memberikan informasi lowongan kerja untuk Johana. Pria itu juga tidak segan-segan meminta tolong pada rekan kerjanya. Johana yang sedari awal berniat mencari kerja apapun selagi sesuai untuk menghidupi kehidupan keluarganya, tak henti-hentinya melamar kesana kemari tanpa rasa putus asa. Akan tetapi setelah mendengar keputusan Angga yang menyerah, Johana pun tak bisa berbuat apa-apa. Toh ia juga sadar diri sudah merepotkan banyak orang, terutama Dafa.
"Yaudah Kak, gapapa. Makasih banyak ya udah bantuin."
"Gue minta maaf banget, Dek. Cuma bisa nolong sebates ini doang."
Johana menghela napas panjang. "Aku yang seharusnya minta maaf, Kak. Udah banyak ngerepotin kamu."
"Enggak kok, santai aja. Kalo misalkan ada informasi lowongan kerja yang lain, aku bakal ngasih tau kamu."
"Iya kak, siap. Makasih ya." Ucap Johana dengan nada rendah. Kali ini ia benar-benar menyerah. Rencana yang dikatakan Dafa tempo hari tidak terlalu buruk menurut Johana. Hanya egonya saja yang menahan itu semua. Jika sedari awal ia menggubris egonya yang sebesar gunung itu, mungkin kini ia tidak akan kebingungan mencari pekerjaan.
Dan disinilah Johana siang ini, menunggu seseorang sedari pagi di lobi.
Ia hanya mengenakan celana kain hitam polos dan blazzer yang senada dengan kaos dalam yang ia pakai. Dandanannya tidak terlalu mencolok, namun tetap terlihat cantik. Dirasa sudah lama menunggu, Johana berjalan menuju meja resepsionis kembali.
"Permisi."
"Iya, ada yang bisa saya bantu?" Sahut wanita bagian resepsionis itu tersenyum ramah.
Johana celingak-celinguk ragu, "apakah kedatangan Pak Candra masih lama?"
"Kurang lebih 15 menit lagi, ia akan segera datang. Apakah anda sudah membuat janji pertemuan terlebih dahulu?" Tanya wanita itu memastikan.
Johana hanya menggeleng pasrah.
"Tidak perlu ada janji untuk gadis itu!" Sebuah suara menggelegar memenuhi ruang lobi yang kini mendadak senyap. Seluruh orang langsung menatap sumber suara tersebut lalu membungkukkan badan sopan, kecuali Johana yang hanya mematung di tempat setelah mengetahui siapa dibalik suara itu.
Bagaimana bisa ia hampir lupa suara itu?
Apakah pria itu sudah melakukan operasi pita suara?
Johana hanya bisa terdiam saat Candra mulai datang menghampiri dirinya. "Ada yang bisa dibantu?" Tanya Candra tersenyum puas.
Johana tersentak, "saya ingin bicara serius dengan anda."
"Mari ikut saya." Tukas Candra memberi isyarat pada Johana untuk mengikutinya. Candra berjalan menuju lift, namun ia sempat mencegah asisten pribadinya untuk ikut bersamanya. Alhasil, hanya ada ia dan Johana yang berada di dalam lift tersebut.
Candra berdehem pelan seolah membuka pembicaraan. "Apakah kamu sudah berpikir ulang menerima penawaran saya?"
"Bisakah kita bahas saat di ruangan saja?" Johana balik bertanya.
"Baiklah." Balas Candra menyetujui.
Sesampainya di ruangan milik Candra, pria itu langsung melepas jasnya dan menyisakan kemeja putih yang kedua lengannya kini ia tekuk beberapa kali. Pria itu masih tampak keren.
Johana menggelengkan kepala cepat, "sadar, Jo!" Ujar ia dalam hati.
Kini mereka duduk berhadapan. Johana berusaha menetralisir rasa gurunya, sedangkan Candra hanya tersenyum puas sedari di lobi tadi. Pria itu sudah mengira bahwa Johana pasti akan kemari dan menerima tawarannya.
Candra berusaha keras agar Johana tidak diterima di perusahaan mana pun, selain perusaan miliknya ini. Licik memang.
Dimana Johana mati-matian mencari apa yang ia butuhkan, Candra justru menghambat jalannya. "Jadi apa alasanmu datang lagi kesini?"
"Saya ingin bekerja di bawah naungan perusahaan anda." Sahut Johana formal.
"Tidak perlu seformal itu, Jo."
Johana menggeleng cepat, "saya kemari untuk melamar di bagian mana pun yang sekiranya masih kosong dan saya juga siap bekerja di bawah tekanan. Saya akan lebih sopan lagi pada anda, Pak. Maafkan kelakuan saya beberapa bulan yang lalu. Tapi kali ini, saya benar-benar butuh pekerjaan." Pinta Johana memelas.
Candra hanya diam tanpa merespon.
"Anggap saja kita tidak pernah kenal dan saya adalah orang asing yang akan menjadi karyawan anda."
"Orang asing?" Tanya Candra mengernyitkan dahi bingung.
Johana mengangguk pelan. "Saya akan melupakan apa yang sudah terjad—
"Cukup!" Tiba-tiba Candra berdiri sambil menggebrak meja.
Johana sontak terkejut, terlebih lagi saat Candra berjalan menuju ke arahnya lalu memutar kursi yang diduduki Johana agar menghadap ke arahnya. "Bukan ini yang pengen akudengarin dari mulutmu. Kamu nyuruh aku ngelupain semua yang pernah terjadi pada kita dan menganggap kalau kita hanyalah orang asing, kamu bercanda? Bukannya aku udah bilang, kamu itu masih kekasihku."
"Tapi kita sudah putus seja—
"Sejak kapan?"
"Sejak kamu amnesia." Ucap Johana menundukkan kepala.
Candra menghela napas berat lalu berlutut di depan Johana seraya meraih kedua tangan gadis itu. "Maaf soal itu, tapi aku ngelakuin itu supaya aku bebas dari tekanan papa aku. Kamu ngerti kan?"
"Aku ngerti banget, tapi bukan dengan cara itu." Kini Johana tidak kuasa menahan tangisnya. Candra berusaha menenangkan Johana. Mereka terdiam beberapa saat hingga Candra mengatakan suatu hal yang selama ini ia pendam.
"Aku pengen kita mulai lagi dari awal, Jo. Aku bakal lebih baik dari dulu. Aku gak bakal bohongin kamu. Aku bakal—
Dengan segera Johana menutup mulut Candra, "Cukup, mas! Aku gak perlu janji-janji itu lagi."
"Tolong, tolong terima aku kerja disini. Aku butuh banget. Aku gak mau bikin ayah makin sengsara. Kita akhiri dengan baik disini. Hanya ada aku sebagai karyawanmu dan kamu sebagai atasanku." Johana menjelaskan dengan tegas apa yang ia mau.
"Kalau aku tidak mau?"
"Kalau kamu mau mulai dari awal. Kita harus menjadi orang asing seperti dahulu kan?" Johana balik bertanya. Candra mengeraskan rahangnya berusaha menahan egonya.
"Baiklah kalau begitu, besok datanglah kemari jam 6 pagi."
Setidaknya Johana tetap di sisinya meskipun gadis itu meminta jarak.